64 | Total Eclipse [Part 2]

564 127 51
                                    

"Kita tidak bisa memprediksi masa depan dan tidak bisa berandai-andai akan sesuatu yang telah terjadi."

*****

Dua hari kemudian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua hari kemudian

Tadashi berdiri di lapangan berumput yang cukup luas. Jajaran batu nisan tersebar di area tersebut. Cahaya matahari berada tepat di atas kepalanya, menghasilkan kalor yang membuat rambut hitamnya terasa hangat jika disentuh. Ia berdiri di tepat di antara Andrian dan Kagumi. Di kanan kiri mereka, terdapat jajaran pria dan wanita dari berbagai usia dengan pakaian berwarna putih. Warna kulit mereka sangat dekat dengan milik kakeknya. Kebanyakan dari mereka berambut panjang dan lurus, entah dikepang, diikat buntut kuda, atau digerai begitu saja.

Tadashi melirik barisan orang-orang berpakaian putih di seberangnya. Akando mengenakan pakaian terusan berwarna putih gading dengan topi bulu-bulu binatang di kepalanya. Rambut pria itu dikepang satu. Salah satu tangannya menopang tubuh dengan tongkat kruk ketiak. Di sampingnya, Kele pun mengenakan pakaian yang sama. Pria kekar itu sedang duduk di kursi roda dengan gips di tangannya. Luka yang ada di tubuhnya sama parah seperti pejuang yang lain. Hanya saja, karena hari ini adalah hari yang cukup penting, dirinya bersikeras keluar dari rumah sakit lebih cepat untuk hadir bersama anggota suku yang sehat.

Sejajar dengan mereka, Tadashi juga melihat Noah yang mengenakan kemeja putih dengan celana terusan hitam. Meskipun hari ini langit begitu cerah, awan mendung meliputi ketiganya. Wajah mereka tampak sendu, begitu pula anggota suku lainnya.

Bunyi tabuhan gendang dan puji-pujian kuno mengiringi jasad para pejuang suku Indian yang gugur menuju rumah keabadian. Seumur hidup, Tadashi belum pernah mengunjungi kampung halamannya dan bertemu dengan anggota suku leluhurnya. Pemuda itu bisa saja merasa bersemangat. Namun, sayangnya kali ini ia berkunjung bukan untuk berlibur.

Setelah menyaksikan anggota suku mengantarkan peti-peti milik pejuang yang gugur, kini giliran Dakota tiba. Beberapa saat sebelumnya, Tadashi meletakkan tomahawk milik sang kakek di dalam peti untuk ikut beristrahat bersama pemiliknya. Kagumi meyakinkan putranya untuk mengucapkan selamat tinggal pada Dakota, tetapi Tadashi menolak. Tadashi tahu bahwa inilah kesempatan terakhirnya untuk melihat Dakota lagi, tetapi ia memutuskan untuk tidak melakukannya.

Maka, ditutuplah peti tersebut. Lima anggota suku membawa Dakota jauh ke dalam tanah. Semua yang mengelilingi jasadnya menunduk, turut mengucapkan doa-doa kuno. Tiga anggota suku yang mengenakan pakaian seperti Akando mengiringi kepergian Dakota dengan tabuhan gendang. Ketika sedikit demi sedikit tanah menutup peti mati kakeknya, rasa sesak yang begitu menyiksa kembali meliputinya. Di dalam sana, hanya kegelapan yang menemani pria itu, dan Tadashi tidak sanggup membayangkan seperti apa rasanya. Apakah Dakota akan kedinginan di dalam sana? Apakah pria itu akan merasa begitu kesepian?

Sepasang maniknya menatap kosong lubang di hadapannya. Peti mati sang kakek kini telah seluruhnya tertutup tanah, dan Tadashi sadar bahwa ia tidak akan lagi bisa melihat pria itu. Meskipun begitu, ia tidak menyesali keputusannya untuk tidak mengucapkan selamat tinggal.

Dream Walker [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang