PROLOG

70 13 7
                                    

[Disarankan untuk membaca 404 NOT FOUND lebih dulu bagi pembaca baru, mengingat bahwa cerita ini merupakan spin-off]



Ada setumpuk harap yang membekas, mengenai hidupnya agar baik-baik saja namun nyatanya tidak. Seorang gadis memejam, dengan segenap tekat kuat ia hentakkan kakinya untuk keluar dari rumah, tanpa sempat menjelaskan apa-apa bahkan mengucapkan selamat tinggal pada jenjang sarjana yang harusnya tahun itu ia mulai. Harus ia relakan mimpinya menjadi seorang dokter karena hal-hal yang mengujinya dalam hidup telah ia anggap keterlaluan. Sejak saat itu, Nada tidak pernah pulang.

Nada telah banyak berubah, mungkin kecuali rambut hitamnya yang ia pertahankan tetap panjang dan lurus. Gadis yang dulu menangis saat meninggalkan rumah, sekarang berubah jadi wanita mandiri yang tak lagi butuh keluarga. Bukan apa-apa, tapi menurutnya, tidak ada seorang pun yang bisa melindunginya kecuali dirinya sendiri. Kejadian yang melatarbelakanginya untuk pergi, selalu ia anggap bukanlah kesalahannya. Itu salah keluarganya yang tidak bisa menjaga dan melindunginya. Nada selalu menyalahkan orang lain sebagai bentuk dari pembangunan benteng yang amat tinggi bagi dirinya sendiri. Tak ada lagi yang dapat ia percaya dalam hidup ini, termasuk menjalankan toko kue nya sekarang, semua kecuali pelayanan, adalah bagian yang harus dipegangnya sendiri.

Pernah ada seorang pria yang datang ke tokonya untuk duduk sejenak sambil makan biskuit dan teh, sembari membuka lembaran-lembaran dokumen yang entah apa. Setelah sempat berbincang dengan Nada beberapa hari sebelumnya, berkata, "Mungkin, duniamu nggak akan bisa baik-baik saja karena kamu nggak percaya siapa-siapa."

Kala itu Nada tak menjawab, dan pergi ke teras untuk menyirami tanaman monstera di depan tokonya. Tak banyak orang yang ia ajak bicara, mungkin kecuali laki-laki bernama Addri itu yang beberapa hari ini selalu datang menjelang petang ke tokonya. Tapi Nada selalu menyesalkan tiap kali ia telah bicara berlebihan soal hidup yang selalu ia salahkan.

"Jadi toko ini sudah berjalan lima tahun, ya?"

"Iya, harusnya, toko ini bisa makin besar dan membuka cabang di mana-mana, tapi ya begitu."

"Begitu gimana?"

"Bos nggak mau. Katanya, dia cuma nggak mau ke mana-mana."

Seseorang yang sejak beberapa saat tadi melirik pada dua perempuan di mana salah satunya mengenakan seragam warna biru, dan yang satu lagi merupakan pelanggan, tampaknya sudah tidak sabar untuk menghentikan keduanya. Wanita dengan kemeja abu-abu yang lengannya disingsingkan tersebut datang dan menyahut. "Sudah ngobrolnya? Banyak orang datang dan kamu cuma mengurusi satu orang saja?"

"Oh, maaf, Bos." Buru-buru pekerja paruh waktu di toko kue itu pergi sambil nyengir sesaat. Tak berani dia menatap langsung kedua mata bosnya. Benar memang yang dibilang para pegawai lain. Bosnya meskipun masih muda dan cantik, suka marah-marah seperti orang tua.

Nada hanya memerhatikan saja pekerja paruh waktunya pergi, dengan masih bersidekap. Tak ia hiraukan pelanggan di depannya mengajaknya tersenyum. Baginya, tak ada urusan membalas senyum dari seseorang yang pasti sedang mengatainya di dalam hati. Tepat saat berbalik, tiba-tiba seseorang sudah berada di hadapannya, memandangnya sambil menggelengkan kepala, lantas melewatinya dan mencari tempat duduk lain karena tempat yang selalu ia pakai saat ke toko kue tersebut sedang digunakan pelanggan lain. Nada mengikutinya. "Seperti biasa?"

Pria dengan jaket hitam itu mengangguk singkat. "Ya."

Karena meja layanan berikut etalasenya tak jauh dari tempat Addri duduk, Nada dapat menyiapkan pesanan pria itu sambil bicara dengan leluasa. "Sebenarnya pekerjanmu apa sih?" tanyanya karena Addri begitu duduk langsung mengeluarkan lembar berkas-berkas seperti biasanya. "Lintah darat, ya? Catatanmu banyak sekali."

PAST, PRESENT, & 338 [On Going]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon