03. Kamera dan Ponsel

792 103 2
                                    

Nandra mengernyit bingung saat melihat mobil Ayah terparkir di garasi, bukankah Ayah bilang akan pulang minggu depan? Tak ingin banyak menebak, Nandra segera memarkirkan motornya dan berlari masuk ke rumah, memastikan Ayah sudah pulang atau belum. Keantusiasannya ini bukan karena ia rindu Ayah, tapi karena oleh-oleh yang Ayah janjikan.

Benar saja, Nandra melihat Ayah tengah duduk santai di ruang tengah dengan Bunda dan Abang di sampingnya. Ah, dia memang pulang sedikit terlambat karena ada rapat extrakulikuler tadi.

Buru-buru Nandra menghampiri anggota keluarganya, dengan tangan merentang Nandra menubrukkan tubuh ke Ayah. "Ayaaahh kangeennn!" ucapnya manja.

Ayah terkekeh. "Kangen Ayah atau oleh-olehnya?"

Nandra cengengesan ditanya begitu, Ayah tau saja. "Hehe, Ayah gak lupa 'kan?"

Sang Ayah menunjuk 2 paper bag di meja dengan dagu. "Punya kamu yang kanan, yang kiri punya Abang."

Nandra lantas turun dari pangkuan Ayah, mengambil oleh-oleh miliknya dengan suka cita. Sedangkan Harsa tampak bingung, ia ingat sekali tidak meminta apapun saat Ayah pergi, kenapa dibelikan?

Ayah yang melihat putra sulungnya itu bingung, mengusak surai Harsa. "Kenapa gak diambil? Ayah belikan saat beli hadiah Nandra kemarin, Ayah teringat kamu."

Harsa tersenyum, Ayah selalu saja begitu, selalu adil dalam memberi sesuatu ke anaknya. Jika si bungsu dibelikan, maka si sulung pun akan dibelikan, begitupun sebaliknya. Harsa langsung membuka oleh-oleh dari Ayah, betapa terkejut dirinya saat melihat ponsel keluaran terbaru dengan harga 36 juta itu berada dalam paperbag miliknya. Ia menatap Ayah dengan mata yang membola.

Ayah tersenyum. "Suka?"

Harsa mengangguk, lalu menghambur ke pelukan Ayah sebagai rasa terima kasih.

Kembali pada si bungsu yang kini sibuk mengotak-atik kamera barunya. Dengan mata berbinar takjub Nandra terus memandangi oleh-oleh dari Ayah itu. Memang benar dia minta dibelikan kamera, tapi tentunya Nandra tak berekspektasi akan dibelikan kamera mahal dengan harga 50 juta ini. Ia berpikir Ayah akan membeli kamera dengan harga di bawah 10 juta, mengingat kamera ini memang hanya digunakan untuk ekskul atau hobi Nandra saja.

"Ayah, kameranya bagus! Aku suka-" Nandra menghentikan ucapannya saat melihat ponsel yang ia impikan berada di tangan Abang.

"Kok Abang dibeliin handphone baru? Kemarin aku minta sama Ayah tapi gak boleh!" protesnya.

Memang benar, sebelum Ayah pergi ia sudah minta dibelikan ponsel dan kamera baru. Alasannya karena Rendi dan Novan sudah mempunyai ponsel keluaran baru itu, selain itu Novan juga mengatakan kalau ponsel ini sangat nyaman digunakan bermain game. Nandra yang memang maniac game tentu tergiur. Kalau untuk kamera, itu karena kamera lamanya rusak dan ia butuh untuk ekskul fotografi. Namun sayang, saat itu Ayah hanya mengizinkan memilih salah satu, yang akhirnya membuat Nandra memilih kamera, karena memang itu yang ia butuhkan saat ini. Tapi melihat Abang yang dibelikan ponsel tanpa harus merengek, tentu membuatnya kesal.

"Kamu kan sudah Ayah belikan kamera," jawab Ayah.

"Tapi aku juga mau itu!"

"Punya kamu masih bagus 'kan? Pakai dulu, nanti dibelikan kalau sudah rusak," jelas Ayah.

"Punya Abang juga belum rusak, kenapa dibelikan?" ucap Nandra tak terima.

Ayah dan Bunda hanya mampu menghelas nafas, akan susah memberi pengertian pada Nandra jika sudah begini.

"Nandra, kamu baru ganti ponsel delapan bulan yang lalu, sedangkan punya Abang itu udah dari dua tahun lalu, apa salah kalau Abang dibelikan yang baru? Ingat kalau Ayah hanya membelikan barang yang kalian butuh? Nandra sekarang belum butuh ponsel baru, kamu lebih butuh kamera, maka dari itu Ayah hanya membelikan kamera. Sedangkan Abang butuh ponsel baru, ponsel Abang kan sudah tidak ganti selama dua tahun. Jangan iri ya? Nanti pasti dibelikan, tapi nanti, kalau Nandra sudah butuh," jelas Bunda, mencoba memberi pengertian.

Nandra mendengus, masih tak terima dengan jawaban Ayah maupun Bunda. Baginya ini tak adil, dia yang sudah merengek berhari-hari, malah Abang yang dibelikan, itupun Abang tak meminta sama sekali! Menyebalkan!

"Terserah! Ayah Bunda pilih kasih!" Nandra bangkit, membanting kameranya di sofa dan bergegas menuju kamar.

"DINANDRA! astaga, anak itu." Ayah hanya mampu mengusap dada melihat kelakuan anak bungsunya.

Harsa menatap punggung sang adik dengan perasaan bersalah. Nandra tampaknya sangat menginginkan ponsel ini, tapi Ayah justru membeli untuknya. Pasti adiknya itu kecewa sekali.

°°°°

Sedangkan di dalam kamar, si bungsu kesayangan kita ini sedang merutuki kebodohan yang baru saja ia lakukan, membanting kamera barunya. Berbagai kemungkinan buruk menyerangnya, bagaimana kalau kamera itu rusak? Bisa mampus dia! Selain akan diceramahi Ayah dan Bunda, ia juga mana mungkin ikut extrakulikuler fotografi nanti tanpa kamera! Terlebih lagi lusa mereka akan melakukan hunting foto. Jika kamera itu sungguh rusak, tamat sudah riwayat Dinandra.

"Bodoh! Bodoh! Bodoh!" umpatnya pada diri sendiri.

"Tapi gak mungkin rusak 'kan Gue bantingnya ke sofa bukan lantai, tapi siapa tau 'kan? Arrrgh bodo amat Nandra goblok!" Nandra menendang-nendang udara sebagai bentuk kekesalannya. Bersamaan dengan itu, pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.

"Nandra, boleh Ayah masuk?"

"Gak!"

"Bisa kita bicara sebentar?"

"Gak, Ayah! Nandra gak mau!"

"Oke, Ayah tunggu tiga puluh menit lagi ya."

Setelahnya terdengar langkah kaki menjauh. Nandra mencebik, sebenarnya ia ingin bertanya kepada Ayah tentang bagaimana nasib kamera yang baru saja ia banting, tapi dia gengsi!

Saat sedang asik mendumal, Nandra mendengar suara pintu kamar dibuka. "Ayah kok masuk! Katanya tiga puluh menit lagi!"

Nandra mendengus saat menoleh yang ia temukan bukanlah Ayah, melainkan Abang dengan membawa ponsel barunya. Hal itu tentu saja membuat Nandra semakin memberengut. Apa-apaan membawa ponsel baru ke sini, mau pamer kah? Cih, dasar tukang pamer!

Abang berhenti di hadapan Nandra yang membuang muka, ia menyodorkan ponsel barunya. Nandra menoleh, sebelah alisnya terangkat tanda tak mengerti. Harsa lantas mengetikkan sesuatu di ponsel miliknya lalu menunjukkan pada Nandra.

"Ambil, ini buat kamu aja, Abang gak terlalu butuh." Begitu isi kalimat yang Harsa ketik.

"Gak mau! Aku juga gak butuh!" Ah, rupanya bungsu kita ini sedang jual mahal.

Harsa terkekeh tanpa suara, ia kembali mengetikkan sesuatu dan menunjukkannya lagi pada Nandra. "Kalau gitu Abang balikin ke Ayah saja deh, biar dijual lagi saja. Soalnya Abang lebih suka hp yang ini."

Setelah membaca isi pesan yang Abang kirim, Nandra langsung merebut ponsel baru di tangan Harsa. "Jangan dibalikin, itu namanya gak menghargai pemberian Ayah. Yaudah, aku terpaksa ambil kalau Abang gak mau, daripada Ayah kecewa," ujarnya dengan kalimat seolah Harsa memaksa, padahal tidak sama sekali.

Harsa tersenyum melihat Nandra yang kini fokus mengagumi ponsel barunya. Tangannya terangkat untuk mengusap rambut Nandra, tapi baru saja tangannya hinggap, Nandra sudah menepis.

"Ck, jangan pegang-pegang!" ketus si bungsu. Mata yang memincing kesal itu berubah menjadi tatapan malas saat melihat si sulung menampilkan raut sedih.

"Huh! Yaudah, sebagai rasa terima kasih Abang boleh usap rambutku, tapi sebentar aja!" katanya.

Kepalanya ia sodorkan ke arah Harsa, yang disambut senyum senang oleh sang Abang. Tak lama elusan lembut Nandra rasakan, sebentar memang hanya beberapa detik saja. Namun entah mengapa, saat usapan sayang itu berakhir, Nandra menginginkannya lagi.

°°°°

Hai, bagaimana part ini?

Jangan lupa vote and coment ya!( .◜‿◝ )

Abang, Maaf [Jaemin ft Haechan]Where stories live. Discover now