05. Balas Budi Nandra

900 119 6
                                    


Suasana sarapan kali ini benar-benar mencekam, walaupun biasanya memang sepi tanpa obrolan, yang kali ini berbeda. Aura permusuhan menguar dari Ayah dan si bungsu, keduanya bahkan saling melempar tatapan tajam. Bunda dan Harsa pun hanya bisa diam saja, percuma menasehati dua orang yang keras kepala ini, mereka tak akan mau mendengar.

"Aku selesai." Nandra bangkit setelah menyelesaikan sarapannya, berjalan ke arah kursi Bunda tak lupa untuk menyalimi tangan Bunda sebelum berangkat sekolah. Setelahnya Nandra hanya menatap sinis Ayah dan melengos begitu saja, dasar bocah pemarah.

Ayah pun tampaknya juga sudah selesai sarapan. "Selesaikan dengan cepat, Harsa. Kita akan ke sekolah."

Harsa memandang bingung Ayah, bukannya hari ini ia harus libur untuk memulihkan luka-lukanya? Kenapa Ayah malah mengajak ke sekolah?

Paham akan raut kebingungan si sulung, Ayah kembali berucap. "Kita selesaikan masalah luka-lukamu," jelasnya.

Harsa dengan kuat menggeleng, ia tak ingin masalah ini diperbesar. Harsa yakin jika Ayah sampai datang ke sekolah, Juan dan antek-anteknya itu bukan malah kapok melainkan dendam padanya, Harsa sangat yakin.

"Ayah bilang bersiap sekarang, Harsa!" tekan Ayah.

"Ayah, sudah ya? Jangan diperbesar masalahnya, Harsa baik-baik saja." Dengan jari-jari yang gemetar Harsa berusaha berkata.

Ayah geram melihat respon yang diberikan anaknya, memang benar ia dan sang istri mengajarkan untuk saling memaafkan, tapi dalam situasi sekarang para bajingan kecil itu tak pantas untuk dimaafkan! Lihatlah wajah Harsa, punggung, dada, kaki, tangan semuanya lebam! Orang tua mana yang akan memaafkan setelah anaknya dibuat babak belur seperti ini? Tentu semua orang tua ingin hukuman yang setimpal bagi pelaku.

Karena terlanjur kesal, Ayah langsung menyeret Harsa menuju mobil, membawa anaknya itu menuju sekolah. Selama perjalanan Harsa hanya memandang jalan, keduanya tangannya saling meremat. Takut, itulah yang Harsa rasakan sekarang. Juan dan teman-temannya bukanlah orang yang mudah sadar, Harsa yakin mereka akan membalas yang lebih parah nanti.

Namun walaupun begitu, meminta Ayah untuk berhenti sekarang pun akan sia-sia, Ayah itu keras kepala dan tak mau dibantah. Apalagi jika Harsa memberitahu alasannya, bisa makin panjang urusan ini Ayah bawa.

Harsa menghembuskan nafas berat saat mobil yang ditumpanginya memasuki gerbang sekolah. Sial, tak bisakah seseorang menculiknya sekarang? Tapi untuk sementara saja.

Dengan perasaan gugup setengah mati, Harsa mengikuti langkah lebar Ayah menuju ruang kepala sekolah. Kepalanya terus menunduk, sepanjang koridor semua murid memandanginya dengan berbagai macam tatapan. Jelas saja, bagaimana tidak? Piyama tidur yang sedikit lecek, sandal rumahan ditambah lagi dengan wajah yang babak belur, sudah pasti ini menarik perhatian warga sekolah.

Saat mereka sampai di dekat ruang kepala sekolah, secara tak sengaja Ayah dan anak itu berpapasan dengan Nandra. Tentu saja si bungsu melengos pergi tanpa menyapa, masih marah rupanya.

Harsa menghela nafas sekali lagi sebelum memasuki ruangan kepala sekolah, tak lupa berdoa untuk masa depan yang kemungkinan buruk. Namun saat memasuki ruang kepala sekolah Harsa dibuat terkejut dengan keberadaan Juan dan kelima temannya, sedang duduk rapih berhadapan langsung dengan sang kepala sekolah yang bernama Herlambang itu.

"Loh, Harsa sudah datang? Baru saja bapak akan menghubungi kamu dan orang tuamu," ucap pak Herlambang yang tentunya membuat bingung, baik Harsa maupun Ayah.

"Silakan duduk dulu pak, Harsa." Pak Herlambang mempersilahkan.

Harsa dan Ayah segera duduk, tepat di samping keenam orang ini.

"Maaf, Pak. Apa maksudnya dengan menghubungi saya?" tanya Ayah. Sepertinya rasa penasaran berhasil mengalahkan tujuan awal mereka.

Ya memang siapa yang tak bingung? Seharusnya kan yang dipanggil itu orang tua para pembully anaknya, bukan malah dia.

"Bapak bisa lihat langsung." Pak Herlambang menyodorkan ponselnya.

Ayah mengernyit melihat video yang diupload oleh akun sekolah dengan tagline "pembullyan yang dilakukan 6 orang murid Negri Bakti."  Ayah memperhatikan video dengan durasi 2 menit itu. Matanya melotot, tangannya terkepal melihat sang korban pembullyan adalah anak sulungnya, Harsa.

"Enam orang pelaku di dalam video itu adalah enam anak yang berada di sini sekarang, orang tua mereka sudah dipanggil dan sebentar lagi akan datang," jelas pak Herlambang.

Mendengar itu Ayah langsung menolehkan kepalanya, menatap satu per satu wajah orang yang sudah membully si sulung. Matanya menatap tajam, dengan wajah memerag dan gigi bergemelatuk, Ayah berusaha menahan marah. 6 orang yang dimaksud sontak menundukkan kepala tak berani menatap mata Ayah, mereka takut. Kecuali satu orang, Juan.

Ia masih duduk santai dengan pandangan lurus ke depan dan dagu yang didongakkan, tak lupa juga tangan yang bersedekap, tak menunjukkan rasa takut ataupun bersalah sama sekali.

Sedangkan Harsa sedari tadi masih bingung, siapa yang menyebarkan video itu? Seingatnya kemarin tak ada orang di sana kecuali Nandra dan kedua temannya. Tunggu... tidak mungkin Nandra 'kan? Saat itu memang Harsa sempat mendengar jelas Nandra mengatakan ia merekam, tapi bukankah itu hanya ancaman belaka? Atau seseorang merekam diam-diam?

Ah, entahlah. Siapapun orang itu Harsa sangat berterima kasih, setidaknya penyebab kasus bully ini terungkap bukan karena kedatangan sang Ayah. Harsa bisa merasa lega untuk sekarang, semoga mereka terutama Juan tak menyimpan dendam padanya, sebab bukan Harsa yang melapor.

"Siapapun kamu dan apapun alasan serta tujuanmu mengunggah video itu, aku sangat berterima kasih," gumam Harsa dalam hati.

°°°°°

Obrolan dan negosiasi antar wali murid itu berlangsung cukup lama, sampai menghabiskan waktu 3 jam, dengan hasil bahwa keenam anak itu diskorsing selama 2 minggu dan untuk biaya pengobatan, para orang tua akan membayarnya.

Sebenarnya bukan ini hasil yang Ayah inginkan, ia hanya mau mereka dihukum dengan berat, kalau bisa dikeluarkan dari sekolah. Namun apa boleh buat, peraturan dan keputusan pihak sekolah bukanlah wewenang Ayah. Terlebih lagi ini baru pelanggaran pertama mereka (lebih tepatnya pelanggaran pertama yang ketahuan). Dengan perasaan marah dan kecewa yang masih tersisa, Ayah langsung membawa Harsa pulang.

"Masalah ini gak akan selesai sampai sini, Ayah akan bawa masalah ini sampai ke ranah hukum," ucap Ayah.

Harsa menoleh, Ayah ini kenapa sih? Kenapa masih belum puas dengan hukuman mereka? Kenapa suka sekali memperumit keadaan!

"Ayah, jangan memperpanjang masalah, mereka sudah dihukum dan masalah sudah selesai." Harsa menggerakkan jarinya dengan lihai, memberitahu ketidaksetujuan atas keputusan Ayah.

"Masalah memang selesai, tapi belum tuntas! Hukuman skorsing 2 minggu tak sebanding dengan waktu dua menit di dalam video itu," kekeuh Ayah.

"Ayah, Harsa mohon. Jangan lagi dipermasalahkan, Harsa sudah tidak apa-apa sekarang, hukumannya juga pasti membuat mereka kapok," bujuk Harsa.

"HARSA!- Ck, kita bicarakan lagi di rumah." Ayah melangkah mendahului Harsa, emosinya sudah memuncak dan siap meledak. Dia membela sang anak, tapi kenapa putra sulungnya ini justru membela para pembully itu? Ya, Jenandra tau semua orang tua tentu menginginkan anak yang baik, tapi tidak sebaik ini juga!

Harsa menundukkan kepala, dengan lunglai mengikuti langkah Ayah menuju parkiran. Sial, suara tinggi Ayah lagi dan lagi membuat mereka menjadi pusat perhatian.

°°°°

Dari lantai dua, Nandra bersandar pada tembok pembatas yang langsung mengarah pada pemandangan 6 orang anak beserta orang tuanya keluar dari ruang kepala sekolah. Senyum miring tercetak di bibir tipisnya, hasil yang sesuai dengan yang ia prediksi.

Nandra merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya yang menampilkan laman akun instagram yang menunjukkan video pembullyan terhadap Harsa, dengan Nandra sebagai pengunggahnya.

"Ini bukan karena aku belain Abang, tapi sebagai rasa terima kasih atas ponsel barunya."

Abang, Maaf [Jaemin ft Haechan]Where stories live. Discover now