49. Rapotan

692 95 2
                                    

Jadi ges, sekarang aku bakal update agak suka-suka. Ya, walopun udah sejak lama sih kayak gini

/insert jeno crying sticker/

Kek, mungkin sekarang aku agak rajin update (soalnya lelah batin adinda :")), tapi besok-besok bisa jadi slow-updateee banget.

Mohon dimaklumi ya, saya baru menjalani kehidupan waras setelah jadi manusia goa selama 2 tahun :)

Thank you and,
Happy reading 💕
.

.

.

Bisa dikatakan, Jeno cukup terkejut. Pagi ini, waktu dia masuk ke sekolah untuk membantu pelaksanaan pembagian rapor, dia cukup terkejut. Dia pernah sekali bertemu ayah Jaemin, waktu anak itu berkelahi dengan alumni. Dan cukup hapal dengan wajah pria itu. Bukan hanya karena tampan (seperti--ekhem--anaknya), tapi lebih ke-'mempunyai aura berwibawa'-nya, tapi juga ramah. Jadi dia bingung.

Terlebih, berbincang santai dengan pria itu selama 15 menit tak membuatnya bisa membaca karakternya sedikit pun. Hanya kata ramah, ramah, ramah, dan ramah yang muncul selama mereka berbincang sebentar. Apalagi, pikirannya juga sedikit-sedikit teralihkan oleh mata Jaemin yang mendelik-mendelik, memberikan kode tak jelas padanya.

"Kok tumben ayah kamu yang dateng?" bisik Jeno sebelum pasangan ayah-anak itu pulang. Jaemin sendiri hanya menggeleng-geleng bingung sambil ikut berbisik. "Aku juga nggak tau! Tadi pagi turun dari kamar udah ada Ayah!"

Lalu percakapan itu dilanjutkan dengan saling melempar tatapan bingung. Sampai akhirnya Jaemin dipanggil oleh sang Ayah untuk segera pulang. "Nanti aku chat, kak," ucap Jaemin sebelum benar-benar meninggalkan Jeno yang masih kebingungan.

•••

"Yang tadi gurumu atau temen kamu?" tanya ayah Jaemin sambil menyetir mobilnya. Tapi sang anak tak kunjung menjawab dan malah terfokuskan pada buku rapor yang berbuka lebar di atas pahanya.

"Kamu kenapa--"

"AYAH! KOK NILAIKU BAGUS-BAGUS SEMUA?!" dan secara mendadak, ayah Jaemin langsung menginjak rem sampai anaknya hampir terpental ke depan.

Hal yang dikatakan anaknya itu merupakan suatu keajaiban. Hampir setiap kali dia pulang, istrinya akan mengeluh soal nilai akademik Jaemin yang buruk, anjlok, tak menjanjikan, dan berbagai macam kata yang memilili arti sama. Dia pikir ucapan tadi hanya prank dari sang anak agar dia terkejut. Tapi setelah menepi dan melihatnya secara langsung, pria itu juga ikut terkejut.

"Kamu ngapain? Kayaknya dulu nyontek juga nggak setinggi ini," tukas pria itu sambil membolak-balik halaman buku rapor milik anaknya. "Jangan-jangan kamu 'nyuap' guru kamu tadi ya?" tuduh sang ayah sambil mengembalikan buku rapor milik Jaemin.

Anak itu sontak menggeleng-geleng panik. Dari rautnya kelihatan jika dia khawatir kalau ayahnya curiga soal mereka berdua. Pasalnya, Jeno tadi sebenarnya hanya lewat dan mendatangi Jaemin saat melihat anak itu. Niatannya mengajak Jaemin untuk nonton pertandingan bulu tangkis nanti malam. Tapi tanpa diduga, ternyata anak itu justru mengenalkan ayahnya dengan raut wajah yang canggung.

"Nggak, yah! Aku bahkan sekarang nggak nyontek!" sanggah Jaemin. "Lagian, kak Jeno mana bisa disogok kayak gitu? Yang ada aku langsung ditendang sambil suruh lari keliling lapangan!"

"Beneran? Terus kenapa kalian kayak deket banget tadi?" timpal ayah Jaemin. Kali ini ekspresinya lebih kelihatan seperti menuntut jawaban dibanding menekan. Remaja itu sendiri hanya bisa memutar-mutar bola mata dan menghindari tatapan sang ayah. "Kamu nggak kongkalingkong sesuatu kan sama gurumu itu? Soalnya dia keliatan kayak agak berandal, ayah nggak begitu percaya sama dia--"

"Kok gitu?!"

Kali ini ayah Jaemin yang bingung. Reaksi sang anak ketika dia mengatai guru yang mengobrol dengannya tadi, ayah Jaemin agak lupa orang tadi guru apa, membuat pria itu semakin yakin kalau mereka memang bersekongkol. "Oke lah, kalo memang itu bikin nilai kamu bagus. Tapi kalo bisa jujur, Jaem."

"Emang aku nggak jujurnya di mana, yaah?" kembali ke topik awal, soal nilai Jaemin yang mendadak bagus. "Aku ituuu, belajar seminggu sebelum ujian sama kak Jewno. Terus latihan soal, dipaksa ngerjain tugas juga sama kak Jewnoo! Gak ada, yah, yang namanya kongkalingkong."

"Ayah yakin, kalian kongkalingkong. Guru kamu tadi nggak keliatan meyakinkan," tukas ayah Jaemin lagi.

Pada akhirnya Jaemin hanya cemberut, diam, sambil bersedekap dada. Berpura-pura mengambek seperti dirinya sewaktu kecil, lupa usia kalau dia sudah hampir 17 tahun. Kalau dulu, ayahnya akan luluh dan mulai membujuknya agar tidak marah, sekarang pria itu langsung menertawai Jaemin.

"Jaem, kamu tu udah gede! Nggak pantes ngambek-ngambek kayak anak TK, gini," ucap sang ayah masih sambil tertawa dan mengacak-acak rambut anaknya.

"Abis ayah kayak nggak suka banget sih sama kak Jewn!" timpal Jaemin, lalu memalingkan wajah ke arah luar jendela.

Di dalam hati, Jaemin merasa lega. Dia pikir hari ini akan berakhir canggung seperti dia pergi dengan orang asing. Ada sisi yang menginginkan ayahnya sadar kalau dia marah dalam beberapa bulan terakhir, tapi juga dia senang karena dapat menghabiskan waktu dengan pria itu.

Mungkin karena acara tangis-menangisnya di depan sang ibu kemarin, ayahnya jadi terpikir hal itu. Merayakan ulang tahun anaknya, tak sekedar lewat video call. Sekali-dua kali tak masalah 'kan dia egois? Toh ini ulang tahun ke-17-nya. Seharusnya spesial sampai membekas dalam ingatan.

"Yaudah, buat hadiah karna kamu nilainya bagus, kita jalan-jalan besok. Sekalian sama ibu kamu," ucap ayah Jaemin sambil mulai menghidupkan mobil lagi. Remaja itu sendiri berusaha untuk tidak terlihat terlalu excited dengan rencana esok hari. Dia hanya tersenyum setipis mungkin, lalu berkata, "Ok."

Hellaw Pak Jewno Semwok [JAEMJEN]Where stories live. Discover now