Bab 5: Hati yang Disakiti

6 1 0
                                    

Semuanya kembali berjalan dengan normal. Kenapa bisa seperti itu? seminggu selepas Mama Bang Dika memintaku secara langsung untuk menunggu anaknya satgas di Papua suasana hatiku berlangsung membaik sampai hari ini, bahkan aku terlalu bahagia sampai sering melihat foto bang Dika di sosial media dan selalu menyukai setiap postingannya dan juga cerita yang selalu ia update akhir-akhir ini. Aku juga tidak menuntut bahwa bang Dika harus mengirim kabar padaku, aku tahu diri bahwa bang Dika saat ini memang sedang sibuk, urusan abdi negara menjadi tuntutan utama baginya untuk selalu melakukan yang terbaik demi menjaga keutuhan NKRI. Apalagi menjadi seorang prajurit negara itu bukanlah suatu tugas yang mudah melainkan berat dimana harus siap di tugaskan dimana saja bahkan siap untuk mengorbankan diri untuk menjaga negara dari mara bahaya.

Keluargaku tahu tentang niat baik keluarga om Winanta yang ingin mendekatkan salah satu putranya padaku walaupun saat ini hanya melalui Mamanya Abi saja tetapi om Winanta dan Papaku merupakan teman dekat yang aku baru tahu tiga hari yang lalu saat aku tengah keluar berdua saja bersama Papa. Papa menjelaskan kalau om Winanta dan Papa sering duduk berdua diluar saat mereka selesai kerja, kedekatan mereka berawal saat om Winanta baru saja pindah ke asrama tempatku tinggal dan Papa yang menjabat sebagai kepala pemuda. Saat mereka pindah ke sini, Papa lah yang selalu beramah tamah dengan om Winanta sampai mereka menjadi dekat.

Aku tentu saja merasa senang, baik keluargaku dan keluarga bang Dika sudah saling mengenal dengan baik. Bahkan aku saja sudah mengenal semua abang-abangnya bang Dika yang akhir-akhir ini juga mereka sering melihat setiap cerita yang aku posting bersama teman dekatku di media sosial. Ini juga menjadi salah satu jalan mudah bagiku bila memang kami bisa menjadi dekat, keluarga sudah sama saling tahu menahu dan aku tidak perlu mengulang dari awal untuk kenal dengan keluarga laki-laki yang aku suka.

"Nay? Gimana? udah selesai bimbingan terakhir gak sama Bu Ani? lo udah daftar sidang?" Suara dari arah samping membuyar lamunanku yang sejak tadi hanya duduk diam di depan ruangan dosen pembimbing yang kebetulan sedang ada jadwal bimbingan lain dengan temanku. Aku menoleh kearah samping dan menemukan Yuri yang tiba-tiba saja menunjukkan batang hidungnya.

"Loh? Kampus juga lo? gak bilang-bilang?" Tanyaku tidak mengindahkan pertanyaan sebelumnya.

"Mau konsul materi PPT sama dosen, lo sendiri gitu juga?" Tanya Yuri, tangannya memeluk tas laptop sama denganku juga.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, tubuh agak mencondong ke depan mengintip di dalam apalah sesi konsul sudah selesai, berhubung hari ini aku sedang tidak ingin berlama-lama di kampus tercinta. Kasur di dalam kamar membayang di otak seolah-olah memanggilku untuk terlelap di atasnya, dan sepertinya bu Ani masih lama di dalam karena aku sayup-sayup mendengar omelan di dalam sana. Pasti teman sepeminatan seperti ku jarang bimbingan sampai muka Bu Ani menjadi kusut seperti itu.

"Udah daftar sidang?" Tanya Yuri lagi.

Aku menggeleng lemas. "Takut gue, liat muka penguji aja bikin blank semua, apalagi waktu sidang?" Keluhku yang memang menjadi alasan mengapa aku sering menyembunyikan diri dari dosen pembimbingku padahal aku beberapa hari yang lalu sudah di ingatkan dengan tegas untuk segera naik sidang.

Yuri menunjukkan ekspresi yang sama sepertiku. Kami berdua sama-sama takut menghadapi sidang dan juga pertanyaan penguji nanti.

"Tapi kalau kita lama naik yang ada kita gak bisa ikut ukom, Nay." Kata Yuri lagi. Aku langsung menepukkan kepalaku baru teringat dengan ujian penentu kami para perawat. Aku menghela nafas panjang, mau tidak mau hari ini dengan terpaksa aku harus mendaftar sidang. Bisa-bisa aku terkena omelan kedua orang tua ku kalau sampai tahu aku ketinggalan ujian tersebut.

"Yaudah hari ini gue daftar sidang," Kataku dengan lemas. Tubuhku meluruh di atas lantai karena merasa pegal terlalu lama berdiri sejak tadi.

Yuri menepukkan tangannya di atas bahuku seperti memberi energi semangat. Aku hanya tersenyum simpul saat ia mengikutiku untuk duduk. "Kita daftar bareng, Yur? biar enakan naiknya sama hari kan? lo udah pesan selempang?"

Dua Hati untuk NayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang