Bab 7 : Kurma

6 1 0
                                    

Niat baik dari Bramantyo masih membuatku bingung. Bingung dengan hatiku saat ini dan juga lagi-lagi takdir. Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa. Pesan yang ia kirim kemarin itu hanya aku balas dengan jawaban iya saja. Setelah itu aku tidak membalas lagi. Diriku sendiri masih terkejut dengan sikap Bramantyo yang begitu frontal mengenai maksud nya untuk mendekatiku. Aku sendiri tahu niat nya sebelum mengatakan hal itu hanya saja untuk laki-laki lain pasti tidak sejujur itu mendekati perempuan. Proses lah yang menjelaskannya. Berbeda dari Bramantyo. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku di dekati oleh laki-laki yang sifatnya seperti itu.

Selama hidupku persoalan cinta akulah yang menjadi pihak yang mencintai duluan, selalu berjuang di awal. Namun, karena aku sudah terlalu lelah dengan hubungan aku terakhir kali di mana mantan aku berubah sikap membuatmu tersadar bahwa mencintai seseorang terlebih dahulu harus siap juga menggenggam luka. Dan itu terjadi lagi padaku yang memiliki perasaan sepihak pada Andika yang sampai sekarang namanya masih bersarang di dalam hati.

Padahal aku sudah berdoa pada Tuhan agar dihilangkan rasa ini, bukannya hilang malah semakin lengket sehingga susah untuk di lupakan.

Hari ini kegiatan ku sedikit lenggang, senyumku juga mengembang karena revisi sidang ku tidak selama sewaktu aku seminar waktu itu. Saat ini aku hanya siapkan cetak skripsi dan juga fokus belajar untuk menyambut ujian kompetensi seminggu lagi. Saat ini pun aku sedang bersantai di teras di temani dengan Mama yang ikutan duduk  menemaniku. Ia saat ini tengah mengupas buah semangka kesukaan ku. Kebetulan saat ini hanya kami berdua saja di rumah di karenakan yang lainnya di sibukkan dengan dunia pekerjaan.

Sejak tadi beberapa tetangga selalu menyapa kami, dan tentu saja yang menjawab adalah Mama, bukan karena aku sombong tidak menjawab, hanya saja aku tidak terlalu kenal. Senyuman saja yang menjadi respon terbaik kepada tetangga.

Mama memberikan sepotong semangka dingin yang baru saja ia potong padaku. Rasa manis dan dingin melebur menjadi satu di dalam mulut apalagi cuaca saat ini tengah panas, makan semangka menjadi pilihan yang terbaik untuk menyegarkan tenggorokan yang kering. Apalagi Mama juga membuat minuman jeruk peras yang lagi-lagi mendapatkan reaksi kegirangan dariku.

"Kamu di rumah aja dek hari ni? Gak bosan kamu? Healing sekali kan gak apa-apa. Kamu punya banyak teman, kan?" Celetuk Mama yang mempersulit posisi ku saat ini, apalagi Mama mengatakannya seolah-olah aku ini begitu menyedihkan karena selalu menghabiskan waktu di rumah dan jarang bersenang-senang dengan teman.

Aku masih sibuk mengunyah tanpa peduli dengan air semangka yang mungkin berantakan di sekitar mulut. "Keluar kemana? Temannya Naya sibuk semua kayak Naya. Pacar? Boro-boro punya pacar gebetan aja aku gak punya."

"Sedih kali hidup kamu? Dulu aja waktu Mama masih muda, selalu ada tuh yang datang cowok yang mau dekati Mama ke rumah, yang pilih cowoknya itu paman kamu." Duh, Kenapa sih Mama mengaitkan kisah ku dengan kisahnya saat masih muda dulu? Ini sama saja Mama mengejek putri nya yang gak di sukai sama laki-laki. Semakin menyedihkan sekali posisiku saat ini.

Aku butuh Papa. Setidaknya dengan ada Papa sekarang Papa pasti membelaku.

"Mama buaya betina ya waktu muda dulu?" Ucapku gitu aja dan tangan Mama mendarat di lengan ku memberikan cubitan kecil tapi tetap saja rasanya sakit teman-teman.

Aku mengaduh. Kasihan sekali diriku.

"Sembarangan kamu kalau ngomong. Mama dulu gak liar ya, Mama anak baik-baik. Setiap keluar rumah aja selalu di kawal sama paman-paman kamu," Jelasnya lagi. Di keluarganya, Mama itu adalah anak perempuan satu-satunya, ia memiliki empat saudara laki-laki yang memang selalu menjaganya. Apalagi abang-abang Mama begitu sayang sama Mamaku dan itu sampai sekarang.

Dua Hati untuk NayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang