43. Flashback •Aku tahu

266 42 10
                                    

"Izin ke toilet," ujar Jeno setelah berapa saat. Setelah mendapatkan izin, Jeno segera keluar. Tentu untuk mengejar Karina yang gerak geriknya mencurigakan.

Tanpa di sadari, Soobin menatap bingung kejadian ini. Terlebih pada Jeno yang tadi sempat memerhatikan Karina dalam waktu yang cukup lama. Tentu ia curiga karena sebelumnya mereka berdua sama sekali tak dekat, bahkan bisa dikatakan tak saling kenal.

Jeno memelankan langkah kakinya, saat sudah mendapati sosok Karina. Dari jarak yang tak dekat, ia melihat Karina sedang bertanya pada guru yang sedang lewat dimana letak toilet di sekolah ini.

Setelah mengetahuinya, ia segera berlari. Dengan tangan yang tersumpal di mulutnya, takut-takut jika ia malah kelepasan dan muntah di tengah jalan. Karina meremas perutnya yang sakit, ia berpikir apakah setiap orang hamil akan mengalami hal ini?

Setelah sampai, Karina langsung masuk. Dan dari luar, Jeno mendengar jelas muntahan-Muntaha dengan disertai ringisan-ringisan kecil dari Karina. Jeno paham apa yang sedang terjadi, ia tahu.

Jeno mencoba menenangkan hatinya sendiri. Ia menjadi gugup ketika tanda-tanda yang diberitahukan oleh Irene padanya beberapa waktu yang lalu. Kini di alami oleh Karina. Jeno jadi takut jika harus mengetahui kebenarannya.

"Apa benar, dia h-hamil?" gumam Jeno pelan dengan pandangan kosong.

"Nak, tolong udah ya.. Eomma udah lemas banget ini, kepala eomma sakit nak," ujar Karina dari dalam sana. Ia sudah cukup lama menghabiskan waktu hanya untuk memuntahkan isi perutnya yang sama sekali hanya berupa air yang tak ia tahu.

Jeno masih setia berada diluar. Ia menundukkan dirinya sendiri di lantai, hatinya hancur ketika apa yang ia takutkan malah terjadi. Karina hamil, dan itu karena dirinya.

Setelah beberapa saat, Karina telah selesai. Dengan langkah yang begitu lemas dan lelah, ia menghentikan langkahnya saat melihat kehadiran Jeno yang duduk di depan pintu toilet. Jeno mengetahui tentang kehamilannya, Karina begitu takut. Apalagi melihat wajah kesedihan juga air mata dari Jeno.

Karina sama sekali tak berniat, Jeno mengetahui tentang ini. Cukup, masa depannya yang hancur, jangan Jeno.

"J-jeno.."

Laki-laki itu mendongak. Segera menghapus air matanya saat mendapati Karina berdiri dengan wajah pucat.

"L-lo gak papa? Wajah lo pucat banget, mana yang sakit," ujar Jeno khawatir.

"D-dedek bayinya sehat?" meski ragu, ini adalah kalimat yang harus ia pertanyaan.

Karina tersenyum simpul, mendapati respon darinya. Tadinya, Karina berfikir Jeno akan langsung pergi, dan mengabaikan dirinya. Berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi.

"D-dia baik. Kata dokter, bayinya begitu sehat," balas Karina dengan nada pelan, takut jika ada yang mendengar percakapan keduanya.

Jeno hanya terdiam. Tak tahu harus merespon apa. Bahagia karena bayinya sehat? Tentu hal itu masih tak bisa ia lakukan. Ia hanyalah remaja lima belas tahun, yang tentu akan merasa hancur karena fakta ini. Fakta dari kesalahan yang tak di sengaja. Tapi melihat Karina, latar belakang gadis itu, tak mungkin ia hanya diam mengabaikan.

"Mau kerumah sakit, wajah lo pucat banget," tawar Jeno, karena Karina yang seperti sedang menahan rasa sakit.

"Tak perlu. Jangan membuang-buang uang hanya karena aku, Jeno. Meski kamu sudah tahu, tolong berupura-puralah tak tahu apapun," Karina memohon dengan nada lemah.

"Uang bukan segalanya Karina. Lagi pula aku takut jika lo sama bayi itu kenapa-napa. Bagaimana pun juga bayi itu anak gue.. Dan gue harus bisa bertanggungjawab meski-"

"Terimakasih Jeno, udah mau mengakui anak aku. Dia pasti bahagia kamu mengatakan hal itu. Tapi Jeno, jangan memaksakan takdir Tuhan. Aku gak meminta pertanggungjawaban darimu," ujar Karina memotong perkataan Jeno. Ia tahu, apa yang ingin Jeno katakan.

"Setelah pulang sekolah. Lo mau 'kan ikut gue kerumah. Gue ngomong ini ke orangtua gue, gue mau bertanggungjawab. Setidaknya sampai dia lahir."

"Lalu masa depanmu?" tanya Karina menghancurkan keseriusan ucapan yang tadi Jeno ucapkan. Karena ia sendiri tak pernah memikirkan tentang apa yang akan terjadi dari keputusan mendadak yang ia ambil. Masa depannya entah bagaimana, jika bayi itu di biarkan hidup.

"Cukup aku Jeno. Cukup aku yang harus kehilangan. Tolong kamu jangan ikut, bagaimana pun kamu memiliki masa depan yang cerah. Jangan karena masalah ini, kamu malah menderita. Aku gak mau Jeno, kamu mengorbankan dirimu sendiri. Apa lagi, kau sudah tau kan bagaimana kondisi keluargaku. Aku begitu tak pantas untuk meminta sebuah pertanggungjawaban dari keluargamu yang terpandang. Tidak akan pernah terjadi Jeno," ujar Karina dengan air mata yang sudah jatuh membasahi pipinya. Beberapa hari ini, ia menjadi begitu cengeng, gampang nangis. Padahal, sebelumnya ia tak pernah menangis, sesakit apapun yang ia terima.

"Gue akan ngomong pelan-pelan. Sampai mereka ngerti," balas Jeno yang sebenarnya tak yakin, dengan ucapannya sendiri.

"Enggak Jeno. Kalaupun aku menginginkan anak itu untuk terus hidup. Mempertahankannya. Biar aku sendiri yang menanggungnya. Meski, untuk makan saja kami masih kekurangan, tapi aku akan bekerja untuk membiayai kehidupannya. Ia tak akan merasakan apa yang kurasakan selama ini, aku akan berusaha membahagiakannya selalu.
Ia tak akan merasa kekurangan, kamu tak perlu khawatir Jeno. Dia akan hidup dengan baik," ujar Karina dengan penuh linangan air mata. Entah kenapa, kalimat yang ia ucapkan menyakiti hatinya sendiri. apakah ucapannya itu salah? Padahal keputusan itu adalah yang terbaik menurutnya saat ini.

"Itu memberatkan, Karina."

"Please Jeno. Ini jalan yang terbaik. Kamu cukup jalani hidupmu seperti biasanya. Anggap saja masalah ini tak pernah terjadi. Itu yang terbaik, aku tak ingin memberatkan mu Jeno," ungkapnya.

"Meski kau tak ingin melibatkan ku. Tapi aku sudah terlibat sejak malam itu. Aku seharusnya bisa bertanggungjawab. Aku bukan laki-laki pengecut yang hidup bahagia dan membiarkan mu menanggung semuanya sendiri. Aku gak sejahat itu Karina. Meski tahu, kita sama-sama korban, tapi semuanya sudah terjadi. Dan kita berdua harus bertanggung jawab sebagaimana mestinya. Anak itu, darah daging kita berdua."

Tangisan Karina semakin pecah. Ia sendiri bingung apa yang harus ia lakukan kedepannya.

"Tapi-"

"Jika memang kamu ingin membawanya jauh dariku, ingin menjauhkannya. Tapi setidaknya aku akan bertanggungjawab, sampai anak itu lahir. Setelah itu kamu bebas jika mau menjauhkannya atau bahkan tak mengenalkannya siapa aku. Kita berdua sama-sama masih berusia lima belas tahun. Dan hal ini, begitu berat untuk di jalani Karina. Kita butuh bantuan orang dewasa, dan aku ingin mengatakan ini kepada orangtuaku. Setidaknya sampai dia lahir."

Karina menatap lekat mata Jeno, ia sama sekali tak sangka. Jeno orangnya begitu baik. Namun, kembali lagi, ia merasa takut dengan respon orangtua dari Jeno, pasti ia akan sangat marah.

"Sekarang. Aku tanya dengan serius Jeno. Apakah kau ingin mempertahankannya atau menggugurkannya?" sebuah pertanyaan yang tak ingin Karina lontar kan. Namun ia harus mendapatkan keputusan dari Jeno, sebagai ayahnya.

Jeno terdiam kaku. Hatinya bimbang, ia tak bisa memutuskan ini, rasanya begitu sulit. Menentukan antara hidup dan mati pada calon anaknya.

"Keputusan ada di tanganmu. Aku akan ngikut apapun yang akan kau ambil. Karena kau ayahnya, maka pikirkanlah baik-baik. Jangan sampai penyesalan lain yang terjadi," ucap Karina.

"A-aku tak tahu."

17 september 2022

Menikah dengan Duda! (Jeno X Winter Ft. Jisung)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant