45. Flashback •Bertanggungjawab

341 44 26
                                    

Dua bulan berlalu. Selama hari-hari ini, Karina memutuskan untuk tak melanjutkan pendidikannya, ia keluar dari sekolah itu. Rasanya, tak pantas dirinya sekolah dalam keadaan hamil seperti ini.

Ayahnya sudah mengetahui jika dirinya hamil, namun respon yang di berikan nya begitu tak terduga. Ayahnya tak marah, ia hanya berpesan agar dirinya menjaga anak ini, karena kata ayah, ia adalah anugrah yang di titipkan padanya. Anak yang di kandungnya bukankah sebuah kesalahan, dan bukan pula anak yang pantas di sebut sebagai haram. Bayi itu tak bersalah, karena nyatanya orangtuanya lah yang berdosa. Namun sebagian orang, akan menghina anak yang hadir di luar ikatan pernikahan akan menyebutnya sebagai anak haram. Padahal bayi ini sama sekali tak bersalah, ia tak bisa menentukan cara lahirnya bagaimana, Di dalam ikatan pernikahan atau tidak.

Karina sudah berjanji dan memutuskan bahwa ia tak akan pernah membunuh anaknya sendiri. Ia tak setega itu, mengejar mimpinya, dan mengorbankan anaknya. Lagipula, mungkin bisa saja, ia adalah sebuah perantara dimana kebahagiaan Karina yang sesungguhnya.

Dirinya sudah bertekad, akan membesarkan anaknya meski nyawa jadi taruhannya. Sebagai seorang ibu, ia sudah mulai mencintai dan menyayangi anaknya. Kini usia bayi itu sudah memasuki sebelas minggu. Waktu berjalan begitu cepat, begitupun dengan dirinya yang tak pernah bertemu ataupun mendengar kabar dari Jeno lagi.

Mungkin ia sudah menuruti keinginan Karina, agar pria itu hidup tanpa mengetahui apapun, berpura-pura. Dan biarlah Karina sendiri yang membesarkan buah hatinya.

Tentu dalam dua bulan ini, tak berjalan dengan mulus. Ada berbagai cobaan yang harus ia hadapi, terutama hinaan para tetangga yang mencibir tentang dirinya. Karina hanya bisa bersabar mendengar kata-kata hina yang tertuju pada dirinya, pada calon anaknya.

"Tuhan... Aku berharap anak ku kelak, mendapatkan kebahagiaan.. Ia harus bisa selalu ceria, menjalani hari-hari yang menyenangkan," doa Karina mengelus pelan perutnya yang sudah mulai membuncit. Meski sulit di terima, namun segera perlahan-lahan ia sudah mulai menerima keadaannya.

Tok. Tok. Tok.

Suara pintu dari rumah sederhana itu di ketuk dari luar, pertanda ada orang yang datang berkunjung. Jarang sekali ada orang yang datang kerumahnya, biasanya hanya para warga sekitar.

Seorang pria paruh baya, segera membukanya. Terkejut, mendapati orang-orang terhormat datang kerumahnya. Ia tahu, karena mereka di Kawali dengan beberapa bodyguard, juga pakaian mereka yang begitu terlihat mahal.

"Tuan dan nyonya, mencari siapa?" tanya ayah dari Karina itu. Takutnya, mereka tersesat dan ingin berkunjung pada salah satu tetangga daerah sini.

Wanita paruh baya, dengan wajah cantiknya itu menampilkan senyuman ramah. Berbeda dengan pria berjas dengan kacamata hitam yang dipakainya. Ia hanya diam, dengan perasaan kesal.

"Saya mencari Karina, benar ini rumahnya?" Irene memperlihatkan sebuah foto Karina pada pria paruh baya itu yang mengenakan pakaian sedikit lusuh.

Untuk sesaat, sang ayah berdiam diri kaku. Melihat dengan jelas, bahwa Karina yang dimaksud oleh orang-orang ini adalah putrinya. Dalam sesaat, sang ayah paham. Mungkin mereka adalah keluarga dari ayah calon cucunya. Karena kata Karina, ayah kandung dari buah hatinya adalah orang kaya makanya ia tak meminta pertanggungjawaban. Ia ingin menanggung semuanya sendiri, menjaga dan membesarkannya bayinya dimasa yang akan datang.

"S-saya ayahnya."

Semuanya tertekun. Begitupun dengan Jeno yang ikut serta. Ini memang pertama kalinya ia mendatangi daerah tempat tinggal Karina, juga ia belum pernah melihat bagaimana rupa dari orang tuanya.

Melihat banyak tetangga yang mulai datang, dengan mulut yang tak bisa di jaga untuk tak bergosip. Ayah dari Karina segera mengajak mereka memasuki rumah sederhana miliknya. Setidaknya mereka tak mendengar cibiran-cibiran warga yang sudah menjadi makanan setiap hari untuk dirinya, juga putrinya.

"Silahkan duduk, tuan nyonya. Maaf rumahnya-"

"Kotor, kumuh, kecil, sempit-"

"Appa!" peringat Jeno saat ayahnya itu malah memotong pembicaraan ramah dari ayah Karina. Seharusnya Suho dapat menjaga sikap, bagaimana pun juga ia harus ramah pada ayah Karina.

Jeno dan Irene segera menduduki sebuah sofa kecil yang sudah rusak, dan penampilan yang penuh dengan tempelan. Melihatnya, Irene jadi kasihan pada hidup Karina. Anak secantik dan sepintar itu mendapatkan kehidupan yang tak layak, di tambah harus menanggung malu karena hamil.

"Jangan duduk, kalian bisa jatuh. Apakah sofanya gak roboh saat istri dan anak saya mendudukinya?" sindir Suho.

Sang ayah hanya bisa tersenyum sabar. Ia tahu, bagaimana karakter dari ayah Jeno, karena beberapa hari yang lalu Karina memberitahukannya. Ia sungguh tak berharap mereka akan mendatangi rumahnya. Padahal, tentu mereka tak perlu serepot ini hanya karena ingin menemui Karina. Karena orang kaya seperti mereka uang bisa membeli segalanya.

"Mas, tolong jaga sikap," mohon Irene yang jengah dengan perilaku Suho.

Ceklek!

Pintu kamar terbuka, Karina keluar saat samar-samar ia mendengar sebuah suara yang sepertinya tak asing di telinganya. Matanya langsung melotot terkejut mendapati Jeno beserta keluarganya sudah berada di dalam rumahnya. Bagaimana bisa mereka sampai kesini?

Karina berjalan dengan perlahan menghampiri mereka. Ia menunduk hormat pada mereka, terutama pada ayah Jeno. Setelah perkataannya yang tak pantas beberapa waktu yang lalu, Karina di landa rasa bersalah dan penyesalan. Karena itu adalah satu perkataan yang tak sopan pada orang tua.

Irene segera berdiri, ia tersenyum hangat pada Karina. Di lihatnya gadis itu dari bawah sampai atas. Lalu pandangannya berhenti tepat pada perut Karina yang sudah mulai membuncit sedikit, ia merasakan kebahagiaan jika sebentar lagi ia akan berstatus sebagai seorang grand ma. Usianya memang belum cocok untuk menimang seorang cucu, tapi ternyata Tuhan terlalu baik padanya. Hingga dalam waktu beberapa bulan ini, ia akan mendengar tangisan bayi lagi.

"K-karina ibu minta maaf. Tolong maafkan ibu yang tak mendengar penjelasan kalian dulu, ibu terlalu emosi hingga tak bisa berfikir jernih. Maafkan ibu ya nak," Irene berkata tulus. Karina tentu terkejut dengan perkataan Irene. Mengapa harus meminta maaf, padahal disini bukanlah salah wanita paruh baya itu.

"Nggak nyonya. Anda tidak salah. Anda memang berhak marah, kecewa. Dan ini semua adalah murni kesalahan saya. Tolong jangan meminta maaf nyonya," balas Karina dengan tutur yang lembut.

Irene tak menyangka jika gadis di hadapannya ini ternyata se sabar dan sebaik itu. Wajah cantiknya, pikiran cerdasnya, seharusnya mendapatkan kehidupan yang baik. Namun ini berbanding terbalik."

Jeno yang melihat itu, tersenyum kecil. Selama dua bulan ini, ia berusaha mencari bukti dan menjelaskan pada ibunya kejadian yang sebenarnya. Ibunya percaya setelah melihat bukti-bukti yang ia perlihatkan. Begitupun dengan Suho, namun pria paruh baya itu sama sekali tak merasa bersalah, juga harus meminta maaf pada Karina, atas hinaannya dua bulan yang lalu.

"Pak, kedatangan kami kesini ingin melamar putri bapak. Kami ingin menikahkan Jeno dan Karina, agar setelah bayi itu lahir ia mendapatkan orang tua yang lengkap. Kami ingin mempertanggungjawabkan atas kesalahan yang dilakukan Jeno," ujar Karina mengutarakan niat baiknya.

Ayah maupun Karina kembali terkejut. Sangat tak terduga tujuan kedatangan mereka. Karina sama sekali tak berharap, harus nikah dengan Jeno, ia tak berharap pertanggungjawaban dari remaja itu. Tapi, cibiran tetangga, juga ancaman ingin mengusir mereka dari sini, membuat Karina menjadi bimbang.

"Keputusan ada di tangan putri saya, nyonya," ujar ayah Karina. Melempar pertanyaannya pada Karina yang hanya diam, bingung harus jawab apa.

"Nak.. Kamu pengen kan anak kamu terlahir dengan status orangtuanya yang jelas. Dalam ikatan pernikahan. Setidaknya jika kalian memang tak saling cinta, dan tak ingin hidup bersama membesarkan bayi itu. Menikahlah dan kalian jika ingin bercerai setelah bayi itu lahir, maka lakukanlah. Ibu tak akan memaksa kalian hidup tanpa kebahagiaan," jelas Irene meyakinkan Karina yang ragu.

"Baik nyonya. Tapi setelah itu, biarkan Karina yang membesarkannya, dan jangan marah jika Karina tidak memberitahukan tentang ayahnya."

17 september 2022

Menikah dengan Duda! (Jeno X Winter Ft. Jisung)Where stories live. Discover now