CHAPTER 6

3.5K 501 91
                                    

Di tengah-tengah hiruk-pikuk yang nampak sibuk, beberapa orang berlalu lalang terlihat dari pintu kamar. Kepala Doyoung menyembul sekedar melihat-lihat orang-orang beraktifitas. Sedari tadi pun, dua pengawal yang menjaga di depan kamar Doyoung agar terkejut. Mereka bingung harus berbuat apa. Jika biasanya mereka membungkuk memberi salam ketika permaisuri atau Raja keluar kamar, kalau kepalanya saja yang keluar harus bagaimana?

Doyoung kembali masuk, duduk di tepi ranjang dengan perasaan jenuh. Dilihatnya segelas cairan berwarna coklat yang kata tabib merupakan obat agar Doyoung cepat pulih. Doyoung abaikan gelas itu sebab pertama kali dirinya meminum ramuan itu, rasa pahitnya tak hilang seharian, bahkan setelah Doyoung memakan satu kilo anggur.

Baju kali ini berwarna merah muda, apa karena posisinya sebagai permaisuri sehingga warna bajunya selalu warna-warna yang feminim. Tapi anehnya, wajahnya jauh lebih manis—Doyoung akui. Tapi tetap saja ia merindukan kaos dan celana pendek.

Lagipula Mashiho kemana? Lelaki itu belum muncul pagi ini. Padahal seingat Doyoung, Mashiho itu pelayan pribadi Doyoung yang mau disuruh ini-itu. Terkadang Doyoung bingung ingin sedih atau senang.

"Permaisuri, Tuan Takata bersama panglima Kanemoto meminta izin memasuki ruangan." Suara itu dari pengawal pintu kamar Doyoung. Doyoung antusias mendengarnya, setidaknya dirinya bisa meminta keluar untuk melihat istana yang belum sempat ia lakukan sampai sekarang.

Doyoung berdehem dua kali, memastikan suaranya bagus untuk berbicara. "Ya, izinkan mereka masuk." Katanya penuh wibawa. Doyoung mulai menyadari dirinya banyak berubah disini. Jika biasanya memakai baju seadanya, disini ia benar-benar rapi.

Nampaklah dua pria yang berjalan bersisihan. Satu Mashiho dengan kesan ceria dan penurut. Dengan pakaian biru, dan satu lagi panglima dengan balutan hitam dan abu-abu. Sangat kontras, mengingat panglima yang selalu serius.

"Kemana saja kau seharian? Sudah tidak tahan menjadi pelayan ku ya?" Cecar Doyoung dengan mata memicing menatap Mashiho. Kesal dengan kebosanan yang hampir membunuhnya perlahan tadi.

Bahkan Mashiho terkejut, ia menunduk sembari meminta maaf walaupun sekarang masih jam sembilan pagi. Belum terhitung seharian, Doyoung memang hiperbola tapi Mashiho tak berani menegur, nyawanya tidak bisa diisi ulang soalnya.

"Iya ku maafkan karena aku baik hati." Jawab Doyoung dengan nada agak angkuh, ia harus pura-pura marah agar nanti bisa meminta ditemani jalan-jalan. Walaupun Doyoung tak tahu apa gunanya seperti ini. Dia kan permaisuri, tinggal bilang pasti dituruti.

"Terimakasih permaisuri." Balas Mashiho.

"Lalu kenapa kau kemari dengan membawa orang ini?" Tanya Doyoung sambil menunjuk Panglima.

Agak tidak sopan, tapi Doyoung masih sedikit kesal dengan kejadian Mashiho yang baru datang sekarang. Pokoknya biarkan Doyoung kesal dulu baru nanti ia akan meminta maaf.

"Raja memerintahkan kami menemani permaisuri jika ingin berkeliling istana." Kata si baju hitam. Doyoung memicing, dia kan bertanya pada Mashiho. Tapi sedetik kemudian senyumnya mengembang. Ia tak jadi kesal karena kedatangan dua orang ini akan mengajaknya berkeliling.

"Ayo sekarang!" Doyoung bangkit dengan segera.

Yoshinori si panglima dan Mashiho saling bertukar pandang sebentar. Mereka mengangguk kompak tanpa komando membuat Doyoung tertawa kecil.

"Kalian cocok, kenapa tidak berkencan?"

"Maaf?"

























Memutuskan hanya mau ditemani oleh Mashiho dan Yoshi, sekarang agaknya Doyoung sedikit menyesali keputusannya menolak pelayan-pelayan yang berniat membuntuti sang permaisuri. Kini dirinya berjalan di depan, sedangkan Yoshi dan Mashiho berjalan di belakangnya bersisihan, seakan Doyoung ini nyamuk.

Walaupun mereka tak ambil pusing dengan kalimat Doyoung tadi, tapi Doyoung ini terlanjur gemas dengan mereka. Pokoknya harus berkencan atau Doyoung akan meminta Haruto menjodohkan mereka.

Geli sekali.

Doyoung akhirnya sampai pada sebuah tempat, seperti tempat minum teh terbuka yang dihiasi tanaman rambat. Ada meja dan empat kursi dari kayu.

"Ini apa?"

"Ini tempat favorit permaisuri, biasanya anda akan berada disini untuk bersantai di sore hari." Jelas Mashiho seperti tour guide.

Doyoung mengangguk paham, yang ia tak paham adalah fungsi Yoshi disini. Sedari tadi hanya Mashiho yang menjelaskan. Yoshi seperti tak ada gunanya. Tapi Doyoung tak berani mengusir, selain tatapan tajam Yoshi, lelaki itu juga membawa pedang panjang yang Doyoung yakini bukan pedang mainan. Lagipula ia merasa harus mendekatkan Yoshi dengan Mashiho mengingat di masa depan Mashiho setia melajang padahal usianya sudah matang. Setidaknya di dunia yang entah nyata atau tidak ini, Doyoung ingin berbaik hati mencarikan Mashiho pasangan, bayaran karena Mashiho disini baik, tidak cerewet.

"Permaisuri ingin disini? Aku ambilkan teh dan camilan bagaimana?" Doyoung menoleh pada Mashiho. Apakah lelaki itu tidak lihat matahari hampir diatas kepala? Bisa gosong jika disini. Apalagi tidak ada tabir Surya di jaman ini.

Doyoung menggeleng, di lorong istana dirinya kembali berjalan hingga matanya menemukan sebuah objek yang menarik. Tanpa sadar dirinya berjalan agar cepat membuat dua orang yang mengekorinya ikut berjalan cepat.

"HARUTO!" Teriaknya dengan tangan melambai.

Dan saat itu Doyoung langsung membulatkan karena teriakannya membuat Haruto yang tengah berlatih pedang menoleh dan lengah hingga sang lawan latihan tanpa sengaja menggores lengan sang Raja dengan pedangnya.

Semua terkejut termasuk Doyoung.

Jadi, saat dirinya hendak menghampiri Haruto, langkah sang permaisuri kalah cepat dengan panglima yang langsung berlari ke arah sang Raja. Ditatapnya sang lawan latihan Raja dengan tajam.

"Dimana mata mu?" Yoshi berkilat marah.

Sedangkan sang Raja mengisyaratkan jika dirinya baik-baik saja. Lengannya yang tergores mengeluarkan darah lumayan banyak. Ia mengisyaratkan agar sang lawan pergi.

"Hanya luka kecil, panglima." Haruto memperhatikan goresan pada lengannya. Agak dalam sebenarnya. Tapi bagi raja seperti dirinya hal ini lumrah. Haruto pernah terluka lebih parah.

"Yang mulia, saya akan—" ucapan Yoshi terhenti kala dirinya melihat sang permaisuri tiba-tiba datang mengikatkan kain dari hasil menyobek baju nya ke lengan sang Raja.

Disinilah Haruto baru ingat penyebab dirinya hilang fokus. Sebuah teriakan disertai lambaian tangan agaknya sangat berdampak besar baginya. Belum habis keterkejutan Haruto, raut Doyoung yang khawatir membuat Haruto terdiam. Wajah yang tengah serius mengikat kain itu membuat fokus Haruto tertuju hanya padanya. Sepersekian detik waktu seperti hanya berputar pada keduanya.

Melupakan Yoshi yang berusaha mengatur ekspresi saat dirinya tiba-tiba ditarik Mashiho untuk menjaga jarak dari sang Raja dan permaisuri.

"Maafkan Aku." Doyoung melihat darah Haruto banyak sekali membuatnya sangat amat merasa bersalah.

"Kenapa bermain dengan benda tajam seperti itu. Apa tidak ada pistol?" Doyoung rasanya hampir menangis melihat darah sebanyak ini. Dan Haruto kembali mendapat kesadarannya, ia buru-buru menenangkan sang permaisuri.

"Tidak apa-apa, hanya luka kecil." Ucap Haruto. Walaupun ia penasaran dengan apa itu pistol? Tapi sepertinya Kim Doyoung tidak sedang dalam keadaan yang baik untuk menjawab pertanyaannya "Aku benar-benar tidak apa-apa." Lagi-lagi kalimat penenang Haruto berikan. Jauh di dalam hatinya teramat hangat tatkala sang permaisuri mengkhawatirkannya.

"Matamu tidak lihat luka nya sebesar apa? Minimal harus dapat lima jahitan agar sembuh." Doyoung memperhatikan kain bajunya yang perlahan berubah warna terkena noda darah yang lumayan banyak.

Ia tersenyum kecil. "Aku tidak apa-apa." Ucapnya membuat Doyoung mendengus kesal.

"Kau harus diobati."

Doyoung bahkan tak tahu bahwasanya sikapnya yang agak mengejutkan hari ini membuat Haruto rela terluka setiap hari.

REWRITE THE HISTORY | HARUBBY [✓]Where stories live. Discover now