CHAPTER 9

3.6K 486 79
                                    

Di tengah sang senja, kedua pasangan itu tengah berdiri diiringi belasan pelayan yang sedari tadi tak berubah posisi. Bayangkan! Belum sehari perkataan Haruto menguar bak sebuah bualan, senja ini, paviliun Doyoung benar-benar sudah rata dengan tanah. Perkataan itu benar-benar terjadi menunjukkan bahwa keinginan Haruto mutlak.

Bangunan megah yang Doyoung kagumi itu, kini hanya tinggal puing-puing. Semua karena Haruto.

Ah, jahatnya!

Doyoung merutuki Haruto dalam hati. Ia kesal setengah mati, tidak tahukan Haruto jika bangunan seperti ini sangat bernilai di masa depan. Tapi dengan mudahnya sang Raja membuatnya rata tanpa sisa.

Seingat Doyoung hal ini tak pernah terjadi di masa depan, ia ingat sempat mengunjungi paviliun ini walaupun banyak pagar pembatas. Seingatnya pula tak ada raja Watanabe merobohkan bangunan seperti ini.

Apa semua berubah sejak Doyoung terlempar?

"Semua sudah selesai yang mulia." Doyoung mencuri lirik pada seorang pria yang menghampiri raja nya. Doyoung tak mengenalnya sama sekali, mungkin bagian dari orang-orang yang merobohkan paviliun.

Tiba-tiba saja Doyoung merasakan pusing seperti dunia tengah berputar secara cepat, suara-suara aneh menyerangnya, lama-lama terdengar berdengung cukup kencang hingga membuat Doyoung berteriak.

"AKHHH."

"Permaisuri!"

Haruto yang berada di sampingnya dengan cepat menangkap tubuh yang limbung itu.

"Kau baik-baik saja?" Haruto cekatan menggendong sang permaisuri yang berada di ambang kesadaran. Membawanya cepat dengan rasa panik. Haruto merasakan ketakutan yang luar biasa.

Dari sini, Doyoung melihat wajah panik Haruto yang membawanya cepat-cepat. 

"Kenapa tidak bilang kalau sakit?"

Doyoung merasakan sesak yang teramat secara tiba-tiba. Perasaan seperti emosi, kekecewaan juga sakit hati. Matanya mengabur sebab air mata yang menggenang. Tak sanggup lagi menahan sakit yang menyerang kepala juga dada.

Doyoung perlahan-lahan hilang kesadaran. Dan kalimat Haruto yang terakhir ia dengar.

"Jangan dulu, aku mohon."


























Haruto berjalan dengan pikiran kacau, wajahnya mengeras, tegas. Dirinya berjalan masuk menuju pertemuan dadakan dengan anggota kerajaan. Semua memberi hormat begitu Haruto masuk.

Ada beberapa jeda sejak Haruto duduk pada singgasananya.

"Ada apa sebenarnya?" Tanya Haruto masih setengah emosi.

"Maaf yang mulia, tapi sepertinya kemarau kali ini akan lebih panjang dari sebelumnya. Kemungkinan terjadi kekeringan di beberapa desa." Jelas seseorang.

Haruto mengangguk mengerti, statusnya sebagai Raja membuatnya harus turut menyelesaikan masalah-masalah seperti ini. Bahkan saat ia tahu permaisuri masih belum sadar sejak pingsan petang tadi.

"Kita akan mengirimkan bantuan ke beberapa desa yang terdampak." Putus Haruto.

Tapi keheningan mengisi sejak keputusan itu keluar.

"Ada apa?" Tanya Haruto.

"Maafkan saya yang mulia, tapi sepertinya bencana kekeringan ini adalah tanda bahwa kerajaan harus secepatnya mendapatkan penerus. Jika permaisuri tidak bisa, sebaiknya anda memilih selir—"

"Omong kosong macam apa itu!" Rahang Haruto semakin mengeras membuat aura di sekitarnya berubah mencekam. Barulah mereka sadar jika sang Raja tak sedang dalam keadaan yang baik untuk membicarakan hal ini.

"Maafkan saya yang mulia. Saya tidak bermaksud menyinggung, tapi kerajaan membutuhkan penerus."

Haruto mengepalkan tangannya kala kalimat itu didukung seisi penghuni rapat. Haruto mendesis marah.

"DIAM!"

Napas Haruto naik turun, emosinya benar-benar tak stabil membuatnya ingin menghabisi semua yang ada di ruangan. Sekuat tenaga Haruto menahannya. Bukannya Haruto tak ingin memiliki penerus, ia adalah orang yang akan memberikan semuanya jika benar Doyoung mengandung sang penerus.

Hanya saja untuk sekarang, semua hanya mimpi yang semu.

"Rapat hari ini selesai. Jika aku mendengar kalian membicarakan penerus apalagi di depan permaisuri ku, akan ku pastikan itu hari terakhir kalian berbicara." Haruto menatap tajam satu-persatu presensi yang hadir.

Kemudian melenggang padahal belum ada dua puluh menit dirinya sampai disini.

Langkahnya cepat menuju arah acak . Hatinya benar-benar tak tenang. Masalah kerajaan, ditambah sang permaisuri yang tidak tahu apakah sudah sadar atau masih setia terpejam, tuntutan keturunan benar-benar membuatnya kacau.  Sekacau itu sampai-sampai para pelayan tak berani mengikuti langkah sang Raja.

Hanya panglima Kanemoto, itu pun sedikit menjaga jarak sekedar memberikan ketenangan pada sang pemimpin. Ia tahu sang Raja sedang mencapai puncak emosi.

Maka dari itu, sang panglima segera menaiki kuda nya begitu melihat sang Raja keluar memacu kuda dengan cepat.

Haruto berhenti pada sebuah gundukan batu di dekat bukit. Yoshinori sudah hapal tabiat sang Raja, namun tetap saja membiarkan raja nya keluar tanpa pengawasan bukan hal yang baik, terlebih Haruto tak mengizinkan siapapun mengikutinya. Hanya Yoshi yang berani.

Haruto meletakkan satu batu pada masing-masing gundukan. Total berjumlah empat dengan nama terukir.

"Maafkan aku, tolong."














Hampir tengah malam kala Haruto kembali lagi ke istana. Tentunya beberapa saat kemudian Yoshi menyusul dengan mengendap-endap.

Sang Raja berjalan cepat menuju ruangannya. Proses menenangkan diri memakan waktu berjam-jam hingga Haruto berani kembali saat emosi nya sudah stabil.

Ia terkejut begitu mendapati kamarnya masih ramai dipenuhi pelayan pribadi sang Permaisuri yang tengah mencoba bernegosiasi. Perasaan Haruto mendadak tidak enak.

Kehadirannya membuat beberapa orang menyingkir memberi jalan.

"Ada apa Mashiho?" Tanya Haruto begitu melihat Doyoung ternyata sudah siuman. Hanya saja lelaki itu duduk menekuk lutut sembari menyembunyikan wajahnya pada lipatan tangan.

"Permaisuri menangis sejak bangun yang mulia, kami mencoba menenangkannya tapi tidak berhasil. Maafkan kami." Jelas Mashiho, tak enak hati sebab hal ini seharusnya dapat ia atasi dengan mudah.

Haruto mengangguk mengerti. Ia menghela napas sekali. "Kalian pergi istirahat." Kata sang Raja hingga ruangan itu berangsur-angsur sepi.

"Ada apa? Ada yang sakit?" Suara berat Haruto agaknya mampu membuat Doyoung mendongak. Dapat dilihat jika wajah sang permaisuri bengkak, sembab bekas air mata masih terlihat jelas. Hidungnya memerah sesegukan.

"Bilang padaku, ada apa." Haruto pelan-pelan mencoba meraih sang permaisuri tapi kalah cepat dengan Doyoung yang tiba-tiba berdiri.

Ia menatap marah pada Haruto membuat rasa khawatir sang Raja meningkat. Tatapan itu mengingatkan Haruto pada sesuatu.

"Aku membenci mu, Haruto!"

.
.
.
.
.
.
.
.

Aku tuh lagi seneng-senengnya nulis cerita ini hehe, kalo ngebosenin maaf ya.

REWRITE THE HISTORY | HARUBBY [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang