Rayners

2.1K 194 0
                                    

Part 22. Rayners

~

Jemian itu anak kecil.

Ya anak kecil. Entah dia yang sudah dewasa sejak kecil, atau memang ini sifat aslinya?

Selama sepuluh hari--mungkin, Arthur mengenal Jemian, baru kali ini dia melihat Jemian yang mirip anak kecil. Tingkahnya tidak berbeda jauh dengan anak-anak usia enam tahun atau lebih yang sekarang berada di taman.

Tadi saja, Jemian tidak mau bergantian main ayunan sama gadis berusia lima tahun. Keduanya berdebat lucu. Jemian yang tidak mau mengalah dan gadis kecil itu juga sama-sama memaksa Jemian untuk gantian.

Karena malu juga sama Ibu-ibu yang nemenin anaknya di taman, alhasil Arthur sedikit memaksa Jemian untuk gantian. Di rumah ada ayunan, tapi beda. Gak bisa cepet katanya.

Iya lah, wong ayunan buat santai aja. Bukan buat main kayak gitu.

"Eh?"

Jemian mendongak, merasakan rintik hujan yang mengenai pipinya.

"Hujan, Jemi, ayo pulang." Arthur mengambil plastik belanjaan mereka lalu menggandeng tangan suaminya lalu membawanya keluar dari taman.

Rintik hujan makin deras bahkan saat mereka baru sampai jalan. Arthur berdecak, dia menarik Jemian agar semakin mendekat padanya. Meletakkan telapak tangannya di atas kepala Jemian. Ya walaupun tidak ada gunanya juga.

Jemian bukannya membantu, malah tertawa. Arthur yang melihatnya menggeleng. Sudah di bilang, Jemian memang anak kecil. Dan Arthur menikahi anak kecil. Yang legal aja belum.

Tawa Jemian menguar saat sampai di teras rumah. Sedikit tidak bisa mengimbangi karena sendalnya yang basah. Untungnya Arthur bisa menggapai tubuh Jemian dan punggungnya menambrak tembok dengan Jemian yang ada di pelukannya.

"Langsung masuk sekarang." Arthur membuka pintu, menyuruh Jemian untuk masuk lebih dulu.

Arthur menyusul, meletakkan belanjaannya di atas meja makan. Handuk ia ambil, kembali mendekat ke arah Jemian yang merasa kedinginan.

"Lain kali gak usah hujan-hujanan." ujar Arthur, dia mengusap kepala Jemian yang basah dengan handuk. "Ayo ke atas, gak usah mandi. Ganti baju aja."

Jemian mengusap bawah hidungnya lalu naik ke lantai dua. Keduanya langsung ganti baju dengan yang lebih hangat.

"Mas, kamarnya kapan mau di beresin?" tanya Jemian saat melihat kondisi kamar masih sedikit berantakan.

Arthur menatapnya, "Yang penting bajunya udah masuk lemari semua " jawabnya.

Jemian berdecak, "Jemi mau beresin deh. Sebel banget liatnya. Tas kerja Mas juga masih geletak gitu aja."

"Ya 'kan masih cuti. Ngapain mikirin kerjaan? Genta juga pasti ngertiin." jawab Arthur. Dia mengambil tas kerjanya. Laptop, ipad dan beberapa dokumen saja isi tas kerjanya. Arthur tidak suka membawa kerjaannya pulang.

"Mas gak mau punya ruang kerja?" tanya Jemian. Ada satu kerdus berisi barang-barang miliknya. Jemian membongkarnya, mengeluarkan semua isinya dan meletakkannya di lantai.

"Gak usah deh. Rak belakang tv udah cocok."

"Seriusan? Itu satu kamar bisa Mas gunain buat jadi ruang kerja." Jemian mengambil kameranya yang terbungkus apik. Sudah lama dia tidak memakainya. "Masih kosong juga, 'kan? Bisa gunain juga buat nyimpen barang-barang penting."

Arthur menatapnya, "Ya udah, nanti beli meja buat taroh di sana." balasnya, "Kamu mau beli lemari gak?"

"Lemari? Buat apa?" tanya Jemian bingung.

HOME ✔Where stories live. Discover now