Restroom

4.6K 486 36
                                    

Aroma make-up dan hairspray menguar mengisi ruang yang khusus disiapkan bagi para member FATE di belakang studio syuting salah satu stasiun televisi. Bukan untuk acara live, syuting kali ini adalah untuk taping acara musik yang akan tayang minggu depan.

Empat anggota sudah standby sejak jam sepuluh pagi. Menunggu giliran syuting sampai kini siang menanti. Empat? Ya, hanya ada empat. Barsena di vokal, Aji membawa gitar akustik alih-alih gitar listrik, Dipa dengan keyboard andalan, serta si bungsu Edwin yang kali ini bawaannya jadi cukup ringan karena hanya sebuah cajon yang akan menemani penampilan.

Tanpa petikan bass dari Cakrayasa, Andi memutuskan belum akan mengambil additional player. Tampil dalam format akustik menjadi pilihan ia dan keempat anak asuhnya.

"Gue ke toilet bentar." Aji berdiri setelah selesai rambutnya distylish.

".........."

"Dip? Oii, gue ke toilet dulu." Ulang Aji saat Dipa, yang ada di depannya dan ia pamiti hanya bengong dengan tatapan kosong.

Seperti disengat listrik, Dipa terkejut mana kala jemari yang lebih tua menggoyang kecil pundaknya. "Hah? E.. eh iya Bang."

Sena yang tengah di make-up tersenyum tipis melihat reaksi Dipa. Lewat cermin di hadapannya bisa ia lihat jelas bagaimana sang keyboardist sempat hilang fokus cuma karena perkara memandangi penampilan Aji hari ini. Jaket kulit yang membalut kaos biru tua, dengan mata sipit tanpa lensa melengkapi gaya rambut yang menampakkan jelas pesona dahinya. Aji memang tampan.

"Lo liat sendiri kan? Kalah telak gue mah, Bang."

Gerutu tipis dari kursi yang ada di sampingnya membuat Sena langsung menoleh. Edwin masih menatap datar ke depan cermin, tapi jelas sang leader paham di antara sorot matanya ada pedih luka yang disembunyikan dalam.

"Jangan terlalu cepet nyimpulin, Win. Masih banyak waktu buat lo ngerubah perasaan sama hatinya." Sena ikut-ikutan melirihkan suara. Tak mau obrolan mereka didengar Dipa yang kini tengah sibuk merapikan kertas catatan kunci lagu yang akan mereka mainkan.

Sang drummer mendengus. Matanya terpejam saat eye shadow dipoles di sana. "Apa gue bikin dia kaya Kak Yasa aja Bang biar bisa tiba-tiba berubah perasaan kaya Kak Yasa ke elo?"

"Si anjing!!"

Yang membual canda tertawa tipis. Reaksi Sena selalu menjadi hiburan kecil untuk rasa penatnya. "Oh iya ngomong-ngomong soal Kak Yasa, lo beneran nggak khawatir ninggalin dia sendirian di apartment, Bang?"

"Khawatir lah. Takut juga kalau ada apa-apa. Tapi ya mau gimana? Masa gue bawa ke sini? Bisa dikeroyok wartawan nanti kita." Jelas Sena mendadak sendu teringat seorang berparas manis yang ia tinggal sendirian di apartment.

Perut Yasa sudah cukup sulit disamarkan. Meski dulu dokter Maya bilang mungkin Yasa harus berhenti beraktivitas di usia tujuh bulan, tapi nyatanya di usia lima bulan lebih saja perubahannya sudah terlihat. Belum lagi kesehatan Yasa dan Muffin yang tak mau Sena pertaruhkan jika terus dipaksa berkutat dengan pekerjaan.

Di tengah obrolan antara leader dan anggota termuda, handphone Sena berbunyi menampilkan nama Aji di layar panggilan. Bukan hanya sang vokalis, Edwin yang sedikit melirik pun bingung mengerut dahi mengapa hanya ke toilet saja Aji sampai telfon begini?

Angkat, Bang -dengan gestur menunjuk benda pipih di tangan Sena dengan dagunya si bungsu tak bersuara

"Halo.. kenapa Ji?"

Dipa yang mulai memasang headset juga ikut memfokus telinga ketika nama Aji diucap oleh lisan Sena.

'Orang wardrobe sama make-up udah pada keluar belum?'

UNPREDICTABLE (BoysLove, Mpreg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang