A Losing Game

152 29 4
                                    

It was a complete defeat at his own game and Jisung was pissed.

Malam itu Jisung hanya bisa melampiaskan kekesalannya sambil mengeluarkan baju-bajunya di kamar asrama.

"Ah tai banget si tuh anak satu, tau apa tentang gue bangsat" marahnya sambil melipat piyama dan boxernya. Pemandangan yang aneh namun mengerikan buat teman sekamarnya yang langsung menulis surat permohonan pindah kamar kepada kepala asrama.

Padahal Jisung sudah cukup yakin dengan tuduhan 'anak haram' tadi. Ia menguping dari omongan ayahnya dan kepala sekolah yang merupakan pamannya (makanya dia bisa lebih mudah masuk ke sekolah ini), bahwa pamannya akan menunjuk satu murid untuk mengawasi Jisung selama di sekolah barunya ini.

"Nanti gue masukin Jisung ke kelas yang ada murid teladannya bang. Anak itu baik, penurut banget, tapi ibunya ga mau ngakuin dia." Ucap si kepala sekolah. "Ibunya sampe jadi penyumbang terbesar sekolah ini buat nutupin identitas tu anak. Serem sih sebenernya gue terlibat sama ni keluarga, ya tapi lumayan kan gue untung jadi gue iyain aja hahaha"

Dari percakapan itulah Jisung menyimpulkan kalau Chenle anak haram. Kalo ditutup-tutupin pasti anak haram kan?

Jisung kira tuduhan itu akan cukup membuat Chenle ciut dan tidak mau mendekatinya lagi. Tapi yang terjadi malah kebalikannya: Jisung merasa dipermainkan oleh jawaban yang terus terngiang-ngiang di kepalanya, membuatnya tidak bisa tidur hingga jam 3 pagi ini.

"But all I see is fear in your eyes"

"APA SIH ANJING!!!" teriak Jisung sambil menutup kepalanya dengan bantal, membuat teman sekamarnya makin berharap pagi cepat datang agar ia bisa segera menyerahkan permohonan pindah kamar tadi.

.

.

.

.

.

"Woy"

Itulah kata pertama yang teman sekamar Jisung dengar saat terbangun di pagi hari.

"Kasitau gue semua yang lo tau tentang Qian Chenle" lanjut Jisung, dingin dan menyeramkan

"Gu-gue ga kenal banget sama dia-"

"Yang lo tau aja. Buru" tegas Jisung. Ia cuma bisa tidur 2 jam tadi malam karena masih terngiang-ngiang kata-kata Chenle itu. Kenapa Chenle bilang begitu? Dan kenapa kata-kata itu sangat mengganggu baginya?

"Gue cuma tau dia baik, ramah ke semua orang, pinter juga jadi guru-guru s-suka sama dia." jawab si teman sekamar susah payah.

"Yaelah kalo begitu doang gue juga tau. Temennya deh kalo ngga, siapa temen deketnya?" tanya Jisung lagi tidaksabaran.

sedetik, dua detik. Tiga detik. Tidak ada jawaban.

"WEY! Bengong lo?" sambar Jisung karena tidak kunjung dapat jawaban.

"Ma-maaf gue mi-mikir tadi..." jawab si teman sekamar makin ketakutan, "gue ga pernah liat dia punya temen deket, ga ada yang ga suka sama Chenle tapi ga ada yang deket juga.

Gu-gue udah boleh pergi be-belom?" lanjutnya.

Jisung menghela napas panjang, kesal karena tidak dapat jawaban yang diinginkannya. "Udah." jawab Jisung singkat, dan teman sekamarnya langsung kabur membawa alat mandinya.

Taking ChancesМесто, где живут истории. Откройте их для себя