Sincere promises

69 17 7
                                    


.
.
.
.
.
.
.

Tidak ada yang menyangka-nyangka bahwa semester genap itu diawali dengan sebuah insiden yang akan melegenda di sekolah itu.

Sebenarnya, sudah menjadi agenda tahunan bahwa di upacara pertama semester ganjil, akan ada ada perwakilan orang tua murid yang datang untuk melakukan acara simbolik mengucapkan selamat tinggal pada anaknya dan menyerahkan pendidikan anaknya ke pihak sekolah.


Namun tahun itu, donatur terbesar sekolah yang datang.


Ya, Zhong Nara, ibu dari Qian Chenle yang sembunyi-sembunyi menyekolahkan anaknya di sekolah ini, ternyata mendapat kabar bahwa beberapa bulan lalu, kantor kepala sekolah dibobol orang asing, dan berkas namanya sebagai donatur terbesar sekolah ditemukan terpampang di luar map.

Karena takut akan ada desas-desus tentang anaknya, Zhong Nara segera merencanakan skenario:

Ia sendiri yang akan membuka informasi bahwa ia ada donatur terbesar sekolah ini atas nama kantor, dengan dalih memberikan beasiswa untuk siswa tidak mampu sebagai bagian dari company social responsibility.


Maka di upacara pertama semester genap itu, Zhong Nara datang dengan mengundang segenap wartawan untuk meliput.

Memberikan pidato yang terlihat intelektual,

dan dengan sangat natural, berpura-pura tidak kenal dengan anaknya yang berdiri depan mata.



Bagaimana dengan Chenle? Tentunya ia hanya diam dan menjalankan tugasnya sebagai perwakilan murid.



Namun Jisung, dan hanya Jisung, yang dapat melihat perasaan Chenle yang sebenarnya.

Bagaimana perlakuan ibu kandungnya itu, menyakiti perasaan Chenle.



Di tengah-tengah cahaya shutter kamera yang bersahut-sahutan, tiba-tiba sebuah teriakan memecah fokus semua orang.

"ZHONG NARA BAJINGAN!

Bisa-bisanya lo senyum bahagia padahal ninggalin anak lo sendiri.

YANG BENER LO JADI IBU, SINI LO JANGAN SOK SUCI DEPAN KAMERA!"

Jisung mengamuk dan merangsek melewati para wartawan. Satpam sekolah dan bodyguard Zhong Nara segera menghalau Jisung, namun Jisung tidak gentar dan malah beradu tinju dengan si bodyguard.

Semua terjadi begitu cepat. Para murid yang panik hanya bisa terdiam di tempat. Bahkan para guru tidak bisa bergerak. Dan para wartawan hanya bisa termangu, bingung mengapa mereka jadi datang untuk liputan tindak kriminal.


Namun Chenle, dan hanya Chenle, yang tanpa takut segera mendekati Jisung dari belakang dan lalu memeluknya erat.

Chenle menutup mata Jisung dengan lembut, dan bertutur hangat,

"Jisung, makasih. Tapi berhenti ya, don't hurt other people like this.

Don't hurt yourself like this."


Seketika itu pula Jisung terdiam, dan ia mulai menangis dan berlari menjauh dari lapangan itu.

Kaburnya Jisung menjadi isyarat bagi para wartawan untuk mengerubungi Zhong Nara, menghujaninya dengan berbagai pertanyaan tentang apa yang baru saja terjadi. Semua berfokus ke perempuan itu,

dan meninggalkan Chenle yang segera berlari mengejar Jisung seorang diri.


Chenle tentu tahu ke mana Jisung akan berlari: belakang gudang asrama.

.
.
.
.
.
.
.
.
.

Dan di sanalah Jisung berada. Terduduk di tanah dengan kaki dalam pelukan, dan badan yang bergetar dengan emosi yang meluap-luap.

Taking ChancesWhere stories live. Discover now