Mutually Intrigued

81 20 0
                                    

Well, A deal is a deal.

Maka Jisung, walaupun tetap risih, tidak lagi kabur setiap Chenle datang menyapanya. Hanya tidak kabur tapi, ia tetap bertingkah dingin setiap Chenle mengajaknya mengobrol. Walaupun Jisung tetap cuek, seluruh murid yang menyaksikan perubahan mereka sudah cukup terkejut akan kemajuan itu.

"Chenle lu emang magic deh!" Celetuk teman salah satu murid saat bertemu Chenle yang mengantri makanan di kantin. Komentar itu hanya dibalas senyuman ringan dari si empunya nama sebelum ia kembali ke meja paling pojok, di mana Jisung sudah duduk duluan dengan makanannya.

Sendiri dan jauh dari kerumunan (maklum, meja paling dekat toilet).

Chenle segera duduk dan membuka pembicaraan, "Makan apa, Ji?" tanyanya.

Jisung hanya diam sambil melanjutkan makan, tak acuh dengan pertanyaan itu.

"Ooh ayam ya, selamat makan" jawab Chenle sendiri dan mulai makan, seakan-akan bertanya sendiri dan menjawab sendiri adalah hal yang lumrah.

Jisung sesungguhnya mulai frustasi. Sudah dua minggu terhitung semenjak "pertemanan" mereka, dan Chenle sangat sering menemaninya, mulai dari tur fasilitas sekolah, menemaninya setiap makan, hingga tur kegiatan-kegiatan esktrakurikuler harian.

Dan ya, Jisung sama sekali bisa melihat cela dalam pribadi Chenle.

Bahkan sekarang, Jisung mulai bertanya-tanya kenapa Chenle masih betah menemaninya.

Apa gue tanya aja ya.





Ya dah.

"Chenle" ucap Jisung tiba-tiba, memecah keheningan di antara mereka dan denting sendok dengan piring.

Mata Chenle pun berbinar ketika jisung memanggilnya duluan. Bayangkan, dua minggu menemani orang yang cuma jawab hmm hmm doang, lalu tiba-tiba orang itu memanggil namamu. 

"Kenapa lo ga takut dan ga menjauh dari gue?" Tanya Jisung to the point.

"Ya karena gaada yang perlu ditakutin atau dijauhin. Paling cuma bosen aja lu ham hem doang dua minggu" jawab Chenle santai.

eh si biji mulai ngelunjak.

Tapi demi rasa penasarannya, Jisung mencoba sabar.

"Maksud gue, semua rumor itu bener. Gue emang tukang berantem, gue dipindahin ke sini juga karena ngegebukin kakak kelas gue sampe masuk rumah sakit. Masih ga perlu ada yang ditakutin?" Lanjut Jisung panjang lebar dan nada yang agak meninggi.

"Gue yakin semua sifat dan perbuatan ada alasannya. Pasti ada hal lain dari lo di luar reputasi lo" jawab Chenle yakin.

"Gaada hal lain tentang gue. Gue cuma berandalan gara-gara kurang kasih sayang jadi gue caper. Ga lebih"

Chenle lalu menatap mata Jisung, dan masih dengan suara tenang, berucap, "That's just a part of your life. You are more than that. "

Jisung terhenyak sejenak. Tidak pernah ada orang yang berani menjawab Jisung setenang ini. Dan sebenarnya, tidak pernah pula ada tang mengucapkan hal tersebut kepadanya. Entah karena dorongan apa, atau mungkin hanya karena egonya untung menang di pembicaraan ini, Jisung pun menjawab lebih panjang lebar.

"Beneran cuma itu doang.

Bonyok gue dulu miskin, pas kakak gue lahir mereka masih susah tapi selalu bareng-bareng. Setelah gue lahir, bisnis mereka mulai berkembang dan gue selalu ditinggal. Sekarang aadek gue lahir, mereka fokus ke adek gue. Jadi gue berontak. Makin mereka marah, gue makin seneng.

Hah, mungkin karena itu mereka ngacangin gue sekarang."

Chenle diam dan mendengarkan dengan serius.

Melihat Chenle yang terdiam, Jisung pun ikut terdiam. Sebentar dulu, kenapa jadi dirinya yang menceritakan panjang lebar tentang dirinya? Harusnya dia merasa menang, tapi kenapa dia merasa kalah?

Emosinya pun mulai tersulut.

"Kenapa? Lo kasian sama gue?!" Lanjut Jisung sinis.

Masih dengan nada tenang, Chenle menjawab,"Sedikit, tapi gue salut lo survive sampe sekarang. And you just proved my point. Ada alasannya lo agresif."

Jisung berdecak, namun emosinya tanpa ia sadari mereda.

Sialan ni orang pinter ngomong

"Terus kelar dari sekolah ini, lo mau ngapain?" lanjut Chenle.

Chenle tidak berharap Jisung akan menjawab jujur, namun tanpa ia duga-duga, Jisung benar-benar menceritakan cita-citanya.

He talks about his silly dream of becoming a doctor, karena waktu dia mulai berantem pas SMP, ada satu dokter klinik sekolah yang tiap kali ia datang dengan bonyok baru, dokter itu tidak memarahinya.

Dokter itu cuma tertawa, dan bilang, "Gue juga dulu suka berantem. Kalo udah bosen berantem, lu jadi dokter aja. Biar kayak gue, ngurusin bocah tukang berantem kayak lu"

Then Jisung laughed it off.

Ia tiba-tiba sadar dan merasa bodoh, kenapa dia jujur sekali tiap ditanya Chenle hari ini? Apakah dua minggu hmm hmm doang membuatnya bosan dan ingin banyak bicara? Kalaupun Chenle tertawa, sepertinya Jisung tidak berhak marah.

Ceritanya terdengar bodoh.

Namun, saat ia menatap wajah Chenle, Chenle looks delighted.

"Keren loh lo ada tujuan. Gue aja belom ada tujuan abis ini mau ngapain" jawab Chenle, serius dan tulus.

Tanpa sempat Jisung menjawab, bel berbunyi dan Chenle langsung menarik Jisung masuk kelas. Anehnya, Jisung hanya bisa mati gaya dan pasrah.





Bertahun-tahun hanya dibentak dan tidak diacuhkan, ternyata dipuji terasa menyenangkan juga.

.
.
.
.
.
.
.

"Woy" panggil Jisung ke teman sekamarnya yang akhirnya tetap tidak bisa pindah kamar (alasannya tidak valid, kata guru pengawas asrama).

"Lo.... tau tentang keluarga Chenle?" tanya Jisung to the point.

Hari ini ia lagi-lagi tidak dapat informasi apa-apa tentang Chenle, namun ada satu hal yang akhirnya ia sadari.

Setelah kehebohan yang ia buat di asrama dua minggu lalu, ia dengan lantang menyebutkan nama keluarga Chenle yang asli.

Namun keesokan harinya, tidak ada yang membahas keluarga Chenle.

Berarti, apakah semua orang sudah tau?

Teman sekamarnya itu terdiam sejenak, masih sering kaget namun tidak lagi takut dengan cara bicara Jisung yang cenderung keras walaupun tidak bermaksud memaki. Lalu ia menjawab, "Tau... Kita semua tau, Chenle juga tau kita tau."

"Dan lu semua gaada yang bocor?"

Teman sekamarnya yang sudah mulai bersiap tidur itu pun kembali terjaga. "Lo udah liat sendiri kan dua minggu ini, Chenle kayak gimana orangnya? Baik, dan ga enakan. Udah banyak kok yang mau temenan deket sama dia.

Tapi dia jadi kayak narik diri tiap begitu.

Mungkin karena background keluarganya, dia.... kayak pengen berjarak sama semua orang."


Ia lalu mengehela napas.


"Jadi ya yang kita bisa cuma bantu diem aja, jaga aib keluarga dia." lanjutnya.


Hening pun mengisi kamar itu.




Dan untuk pertama kalinya, Jisung merasa kasihan untuk orang lain.

Taking ChancesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang