Nyaman

69 20 2
                                    

Mungkin karena kasihan, Jisung melembek.

Mungkin juga karena Jisung hanyalah manusia, yang sekali dipuji akan terus terngiang dan menginginkan lebih.

Atau mungkin, sesungguhnya Jisung hanya merasa nyaman.

Apapun alasannya, pelan-pelan, Jisung mulai melunturkan tingkah dinginnya.

Slow but sure, Chenle dan Jisung benar-benar menjadi teman.

Tatapan dingin tiap disapa pelan-pelan melembut, dan lama kelamaan, senyuman selalu menyambut panggilan 'Ji!' yang dilontarkan kawannya.

Tidak ada lagi ham hem ham hem, yang ada sekarang celotehan panjang lebar dari kedua belah pihak.

Mereka bahkan menghabiskan waktu bebas dari sekolah ke kota sebelah bersama-sama. Bahkan kadang, Jisung sudah bisa lebih ramah dengan teman-teman sekolahnya.

Dan selama mengenal Chenle, Jisung menyadari banyak hal baru tentang dirinya.

Ternyata, dirinya cukup cengeng. Entah berapa kali, ia menonton film bersama Chenle dan menangis bahkan sebelum masuk plot twist utama. Kadang, jika mereka menonton bersama teman beramai-ramai, Jisung akan keluar duluan dengan dalih sakit perut ingin ke toilet.

Padahal ia hanya ingin menangis leluasa di kamar mandi.

Jisung juga ternyata cukup cerewet. Sudah berkali-kali teman-temannya berpikir ia dan Chenle bertengkar, padahal sebenarnya hanya mengobrol.

Tapi suaranya, alamak, kencang sampai ruang kepala sekolah.

Dan Jisung..... sesungguhnya menyukai sisi-sisi baru dirinya yang ia saja baru ketahui ini. Ia senang, dapat melakukan banyak hal tanpa cap anak nakal yang seringkali membuatnya dimaki untuk hal yang sebenarnya dilakukan orang lain juga.

Bersama Chenle, Jisung merasa lepas dari prasangka dan bebas mencari dirinya sendiri.

It's a new feeling.

A pleasant feeling.

Lalu.... Chenle?

Kenapa Chenle terus berteman dengan Jisung, dan tidak menjauh seperti sikapnya ke orang lain?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Le gue jujur aja ni ya.

Kata orang-orang, lo selalu menjauh kalo dideketin.

Tapi kenapa lo mau temenan sama gue?"

"Hmm apa ya.

It's more like, you looked like you could use my help?"

"Ya ngga. Maksud gue, kenapa lo mau. Kayak, lo dapet apa si dari temenan sama gue yang blangsak ini? Padahal orang-orang juga banyak kok yang mau deket sama lo. "

"Pertama, lo ngga blangsak. Biasa aja. Kedua, orang-orang lain.... they don't need me.

Tapi lo,
lo butuh gue."

"Dih? Pede"

"Hahaha, I'm right though? Gue cuma merasa gue bisa bantu lo. And I'm right. Contoh nih ya,

siapa yang bakal ngira seorang Park Jisung bisa ranking 5 seangkatan untuk ujian kemaren?"

.
.
.
.
.
.
.

Wajah Jisung mulai merah padam. Ya, satu lagi yang ia sadari setelah berteman dengan Chenle adalah, dirinya ternyata cukup pintar.

Nih ya Jisung, menurut gue lo tuh tipe pinter yang dengerin sekilas aja udah paham. Jadi daripada lo tidur di kelas, terus nanti disuruh ngulang ujian buang-buang waktu, mending lo dengerin aja sekilas guru ngomong, biar ujian langsung lolos. Liburan lo jadi panjang.

Ucapan Chenle beberapa bulan lalu itu terngiang kembali, dan Jisung mengingat bagaimana ia mengikuti saran itu dan benar saja.

Nilainya meningkat pesat.

And somehow he feels proud of himself. Which is yet another new and pleasant feeling.

Setelah beberapa saat, Jisung sadar dari lamunan flashbacknya itu.

"Wait, that's it? Just for me to use your help?" tanya Jisung kembali, makin penasaran.

Chenle hanya menjawab santai. "Iya."

Kening Jisung pun berkerut. "So.... you're fine with being used for others benefit?"

Hening mampir sejenak dalam pembicaraan di belakang gudang asrama itu. Ya, dalam kurang lebih 6 bulan pertemanan mereka ini, mengobrol di belakang gudang ini menjadi rutinitas harian mereka.

Chenle lalu tersenyum tipis sambil menatap langit yang mulai menampakan gurat oranye.

Dengan suara sayup ia menjawab,

"I am, I always am."

-tbc
p. s. Abis ini konflik yaa hehe

Taking ChancesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang