3. Oh, it's your dream?

144 36 6
                                    

Terima kasih kepada kalian yang sudah mendukung cerita ini💚

.

.

.

Meskipun agak berat hati, tetapi Anjani yang mengaku sahabat Ganiya itu akhirnya mau nggak mau ikut terjun dalam kesibukan Ganiya memasak makanan untuk suami tercintanya berikut dengan teman kantor si suami. Sebenarnya Anjani benar-benar ingin menolak saat pulang kerja tadi, tapi melihat wajah lugu tak berdosa Ganiya membuat pertahanannya runtuh. Ya, selemah itu dia jika sudah menyangkut Ganiya. Jangan tanya kenapa, karena jawabannya sudah pasti bahwa Ganiya adalah salah satu orang terpenting dalam hidupnya, teman seperjuangan, dan teman yang sudah dianggapnya keluarga sendiri. Dia nggak akan nanti-nanti kalau sudah menyangkut Ganiya meski pun hatinya terasa berat seperti sekarang ini.

"Kecap inggris yang mana, sih? Astaghfirullah, segala kecap ada macem-macemnya," celetuk Anjani melihat deretan perkecapan di atas meja dapur Ganiya.

Ganiya tertawa kecil. Dia sibuk mengaduk masakannya sehingga harus meminta Anjani yang nggak tahu apa-apa tentang dunia perdapuran itu untuk mengambil kecap. "I know kamu nggak tahu macem-macem kecap, tapi gue yakin lo masih bisa baca, kan?"

"Nggak bisa, mata gue lagi juling."

Ganiya terbahak namun masih melanjutkan kerjaannya. "Siniin cepet, ih!"

"Nih!"

"Thankyou!" Baru saja Anjani akan pergi, Ganiya kembali nyeletuk, membuat Anjani harus menarik napas panjang. "Tolong ambilin kacang polongnya, dong, Ni!"

"Siap, Nyah!"

"Jangan gitu dong lo. Ikhlas napa. Biar lo dapet pahalanya juga. Ini ngasi makan orang pahalanya nggak main-main lo! Apalagi kalo ikhlas."

"Iya, Mah! Curhat, dong, Mah!"

Ganiya menggeleng pelan. Anjani dan kelakuannya. Nggak ada yang bisa dilakukan selain membiarkannya. Yang penting dia sudah mau datang dan membantunya saja itu sudah cukup.

***

Semua piring, gelas, dan semua makanan sudah tertata rapi di atas meja makan. Anjani yang seluruh tubuhnya terasa sudah nggak bertulang hanya bisa duduk dan memperhatikan Ganiya yang sibuk menata sendok, garpu, dan semua teman-temannya itu di samping masing-masing piring. Bahkan di dalam hati, Anjani terus berceletuk, kira-kira cadangan energi sahabatnya itu didapar dari mana? Kenapa dia kelihatan biasa saja, sama sekali nggak kelihatan capek setelah melakukan banyak kegiatan? Sementara dirinya berasa sudah berjalan sepuluh kilo meter dengan beban berat yang ada di punggungnya.

"Lo makan apa, sih?"

Ganiya menaikkan sebelah alisnya. "Hah?"

"Gue liat tenaga lo nggak berkurang sejak gue dateng sampe sekarang. Lo makan apa?" ulangnya lebih jelas.

"Gue makan besi."

"Gue lagi nggak mood becanda."

"Sorry, sorry. Lagian pertanyaan lo juga rada gimana. Gue cuma makan nasi, kok."

"Kirain lo punya jurus kebal capek."

"Kirain lo lagi nggak mood bercanda?"

Anjani menarik napas panjang. Kepalanya lalu ditidurkan di atas meja dengan kedua mata tertutup rapat. "Ternyata gue ini masuk tipikal remaja jompo."

"Lo udah nggak remaja, btw."

"Terserah." Ganiya tertawa pelan. Sahabatnya itu terlihat benar-benar kelelahan. Dia jadi merasa bersalah sudah mengajaknya ikut memasak hari ini. Padahal, kalau diingat-ingat sepanjang Ganiya memasak, dia hanya melakukan beberapa hal. Itu pun bukan yang berat-berat. Hanya mengambil kecap, memotong wortel dan sebagainya. Tapi, mungkin kerjaan dia lagi banyak di kantor, jadi bisa kelihatan secapek itu.

at GwanghwamunWhere stories live. Discover now