19. Hamil

152 38 9
                                    

Hai, lama banget ya apdetnya?🥲

Sejujurnya aku udah lama nyicil ngetik part ini, tapi baru hari ini niat nyelesaiin karena nenek aku lagi sakit dan waktu senggang aku baru sekarang. 🤧

Semoga masih ada yang nungguin, ya🥲

.

.

.

Hal pertama yang Ganiya lihat saat tersadar adalah plafon putih yang berhasil membuat matanya menyipit karena terlalu terang. Dan dia pun kembali menutup mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk.

"Niya? Kamu udah sadar?" tanya seseorang yang suaranya sangat Ganiya kenali. "Niya?"

Ganiya membuka kedua mata dan menemukan keberadaan Kai di sampingnya. Raut wajah laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu tampak sangat khawatir, tapi Ganiya yang masih belum paham apa yang terjadi padanya saat ini hanya bisa terdiam dan kembali memalingkan wajahnya dari Kai.

"Niya," panggil Kai –lagi. Tangannya bahkan mencoba menyentuh tangan Ganiya yang tergeletak tak berdaya di samping tubuhnya. "Mau minum?"

Ganiya menggeleng pelan. Setelah mencoba memulihkan ingatannya selama beberapa detik, Ganiya langsung menarik tangannya dari genggaman Kai.

"Aku mau pulang," gumam Ganiya dengan suara yang sedikit serak karena tenggorokannya yang terasa kering kerontang.

"Iya, nanti, ya. Kamu istirahat dulu. Oke?"

Ganiya mengedarkan pandangan mencari keberadaan tas miliknya. Namun, dia nggak kunjung menemukannya. "Tas. Mana tasku?" Dia harus segera menghubungi Anjani. Dia nggak mau ketemu Kai –setidaknya untuk saat ini.

"Tas kamu ada di mobilku. Jadi, tenang, ya?"

"Nggak! Aku harus menelepon Anjani."

"Buat apa? Kamu mau ngasi tahu kalo kamu masuk rumah sakit?" Kai kembali mencoba memegang tangan Ganiya, namun wanita itu kembali mengelak. Ada rasa nyeri yang menghinggap di dadanya saat itu juga. Melihat Ganiya yang dulu selalu ingin menyentuhnya, kini mengelak seolah Kai mengidap penyakit yang bisa saja menular jika mereka bersentuhan.

"Aku boleh pinjam ponselmu?"

"Ponselku ada di mobil." Kai berbohong. Dia hanya nggak mau Ganiya menelepon sahabatnya itu lalu pergi meninggalkannya lagi. Kai sadar dan tahu betul jika dia bersalah, tapi egonya juga nggak menginginkan Ganiya pergi dari hidupnya. Terserah jika orang menganggapnya egois atau semacamnya, tapi demi Tuhan dia benar-benar nggak bisa membayangkan jika Ganiya meninggalkannya.

"Kalau begitu, aku harus pergi."

"Mau ke mana? Kamu belum pulih," ujar Kai mencoba menahan Ganiya yang bersiap untuk turun dari ranjang.

"Aku udah baikan. Jadi, tolong minggir."

"Nggak. Kata dokter kamu masih harus istirahat maksimal sampai besok."

"Aku bisa istirahat di rumah Anjani!"

"Apa? Di rumah Anjani? Kamu punya rumah. Nggak harus di sana!" Kai mulai merasa emosinya sedikit tersulut. Apalagi setelah mendapati Ganiya yang mulai menolak kehadirannya.

"Kamu pikir aku mau tinggal serumah dengan laki-laki yang hatinya udah nggak sama aku lagi?!" ucap Ganiya mulai ikut emosi.

Kai mengedarkan pandangannya, melihat keadaan bangsal yang bisa dibilang cukup ramai. "Please jangan bahas itu, ya. Nanti kita bicarakan. Yang terpenting saat ini adalah kesehatan kamu."

"Dan please kamu coba pahami aku bahwa saat ini aku sedang nggak mau bertemu kamu."

Kai terdiam sejenak sebelum menarik napas panjang pasrah. Dia sangat memahami sikap Ganiya saat ini, tapi di sisi lain dia juga nggak mau berpisah lama-lama dengan Ganiya.

"Oke. Aku akan menghubungi Anjani–"

"Biar aku yang hubungi dia."

"Aku yang akan nelpon dia. Kamu istirahat aja. Oke?"

Ganiya diam. Nggak menolak namun nggak mengiyakan juga. Tapi pada akhirnya Kai bergegas keluar seolah dirinya sedang menuju mobil untuk mengambil ponsel. Padahal, dia hanya berdiri cukup lama di luar ruangan sambil menenangkan dirinya. Setelah merasa cukup lama di luar, dia lalu kembali lagi ke bangsal Ganiya untuk menelepon Anjani –sesuai keinginan Ganiya.

Ganiya hanya bisa mendengar suara Kai yang sedang menghubungi Anjani. Ada nada yang sarat akan keputusasaan, tapi Ganiya nggak peduli. Saat ini dia hanya ingin Kai pergi dari hadapannya meski di sudut lain hatinya dia sangat merindukan laki-laki itu.

"Anjani akan segera ke sini," ujar Kai setelah menutup panggilan teleponnya. Dia lalu kembali mengambil posisi di samping Ganiya namun nggak berani untuk menatap wanita yang sedang terbaring lemah itu.

"Kamu boleh pulang," sahut Ganiya saat merasakan suasana canggung di antara dirinya dan juga Kai. Entahlah, tapi seingatnya perasaan saat ini seperti saat dirinya pertama kali bertemu dengan Kai. Hanya saja, dulu Kai nggak melakukan kesalahan apapun, dia hanya sesekali mencuri pandang dan menunjukkan ketertarikannya pada Ganiya, lalu memberanikan diri untuk kenalan. Sementara saat ini ... Kai melakukan kesalahan yang benar-benar fatal.

"Aku nggak akan ninggalin kamu sendiri," tolak Kai.

"Sebentar lagi Anjani akan datang. Kamu nggak perlu khawatir."

"Aku akan pergi setelah Anjani datang."

Ganiya nggak lagi mengeluarkan suara. Nggak ada pilihan lain selain membiarkan Kai berada di satu tempat dengannya.

"Niya,"

"Aku nggak mau bicara."

"Oke." Kai menarik napas panjang. Meski mulut dan hatinya sudah siap melontarkan semua yang ingin dia ucapkan, dia tetap berusaha untuk menghormati permintaan Ganiya. Apalagi melihat kondisi Ganiya saat ini, memang bukan waktu yang tepat untuk membahas kelakuan buruknya.

Beberapa menit terdiam, dari arah belakang terdengar langkah tergesa dan suara panggilan Anjani pada Ganiya. Tanpa mempedulikan kehadiran Kai, Anjani langsung menghambur ke pelukan Ganiya.

"Kamu nggak apa-apa? Mana yang sakit?" tanya Anjani bertubi-tubi.

"Aku nggak apa-apa," ujar Ganiya mencoba menenangkan Anjani yang terlihat sangat panik.

"Apa kata dokter?" tanya Anjani dengan nada sinis pada Kai yang sedaritadi terdiam menatap keduanya saling berpelukan.

"Kata dokter, Niya cuma butuh istirahat karena kelelahan," jelas Kai. "Tadi aku udah nebus obatnya. Ini." Kai menyerahkan bungkusan berisi obat untuk Ganiya kepada Anjani yang langsung diambil oleh Anjani dengan cepat.

"Lo boleh pergi."

Kai menarik napas pelan. Meski berat, dia tetap beranjak dari posisi duduknya dan bersiap untuk pergi. "Tolong jagain Ganiya."

"Nggak bilang pun gue bakalan jagain dia," ujar Anjani dengan nada sarkas.

"Aku pulang dulu, ya, Niya. Kalo ada apa-apa, tolong hubungi aku."

Baik Anjani dan Ganiya nggak ada yang membalas ucapan Kai. Bahkan saat Kai beranjak pergi, keduanya sama sekali nggak mengucapkan sepatah kata pun. Hingga saat Kai benar-benar menghilang dari ruangan itu, barulah Anjani mengambil alih tempat duduk Kai.

"Lo kenapa bisa pingsan?" tanya Anjani dengan nada khawatir.

"Tadi kan udah dikasi tahu sama Kai."

Anjani menarik napas panjang. "Pasti tadi malam lo nggak tidur, kan?"

"Hmm, lagi insomnia."

"Tapi, bukan karena kamu lagi ... hamil, kan?"

***

at GwanghwamunWhere stories live. Discover now