6. Pikiran buruk dari masa lalu

101 31 3
                                    


"Lo kenapa nggak bilang kalo lo lagi sakit?!" ujar Anjani dengan nada kesal. Sementara yang diomeli hanya bisa memejamkan mata. Kepala Ganiya masih sedikit nyut-nyutan, dan hal itu membuat mulutnya bungkam dan membiarkan Anjani mengomel sepanjang jalan kenangan. "Ayo, bangun dulu. Lo harus makan ni nasi uduk. Gue beli jauh-jauh ternyata nge-feel karena pengin liat lo pingsan kayak tadi."

Ganiya terkekeh. "Tadi gue udah makan kok bareng Kai."

"Ya makan lagi lah. Ga mau tau gue. Ayo, gue bantuin." Anjani mencoba membantu Ganiya untuk bangun dari posisi berbaringnya dan segera menaruh tumpukan bantal di belakang wanita itu setelah berhasil duduk. "Lo beneran sakit sih pasti. Ini nasi uduk kesukaan dan kecintaan lo tahu. Mana ditolak segala. Nih, cepetan makan. Abisin. Jangan bawel. Gue juga mau makan. Dari tadi belom sarapan karena ngarep bisa makan di luar bareng lo."

"Maaf, deh." Ganiya menyuapkan sesendok nasi uduk ke dalam mulutnya lalu mengunyahnya dengan pelan. "Memangnya lo mau ke mana? Pake acara ngajakin gue segala."

"Gue mau ngajakin lo milih setelan baju buat gue. Soalnya gue tahu lo yang paling jago milihin setelah buat gue."

"Oh, gitu. Memangnya mau ke mana, sih? Pake beli setelah baru segala."

"Ya nggak ke mana-mana. Pake ke kantor aja. Soalnya baju gue udah jelek semua kelihatannya. Gue butuh yang baru."

Ganiya mengangguk paham. Dia nggak melanjutkan pembicaraan karena dia fokus pada nasi uduk yang alhamdulillah masih terasa enak meski mulutnya terasa pahit.

"Mau minum nggak?" tanya Ganiya setelah mengunyah makanannya.

"Lo mau ngambilin? Sok sokan lu nanya gue mau minum. Bilang aja sih kalo lo yang mau minum." Ganiya tersenyum kecil, sahabatnya itu memang yang paling peka. Yaa meski mulutnya sedikit pedas, ya. Tapi Ganiya sudah biasa, kok. Malah kalau di mata dia, Anjani jadi kelihatan lucu saat kesal seperti sekarang. Ya lain cerita mungkin kalau di mata orang lain. Mungkin di pikirannya Anjani ini adalah sosok yang sering ngomel-ngomel nggak jelas.

"Mohon bantuannya, Kakak," balas Ganiya sengaja semakin membuat Anjani kesal.

Sementara Anjani keluar mengambil air minum, Ganiya mencoba mengecek ponselnya, siapa tahu ada pesan atau telepon dari Kai yang nggak sempat diangkat karena dia pingsan. Namun ternyata nggak ada walau satu pesan atau panggilan.

"Apa dia belom nyampe, ya?" gumam Ganiya sedikit khawatir. Dia pun mencoba mengecek story whatsapp-nya, namun nggak ada apdetan juga. Kemudian, ke story instagramnya, ternyata ada satu pembaruan. Dari last seen-nya, Kai mengapdet story instagramnya sekitar tiga puluh menit yang lalu. Dan di story itu Kai hanya memperlihatkan bayangannya yang sedang membelakangi matahari. Ganiya tersenyum tipis. Meski gambar itu nggak jelas banget, tapi setidaknya Ganiya bisa tahu jika saat ini suaminya baik-baik saja dan nggak mengalami kendala apapun.

"Dih, kenapa senyum-senyum dah?" tanya Anjani yang baru saja memasuki kamar Ganiya dan melihat sahabatnya itu tengah tersenyum nggak jelas.

"Nggak, gue lagi liatin foto Kai."

"Mana? Lucu, ya?" Anjani melongokkan kepalanya melihat gambar yang dimaksud Ganiya. Nggak ada yang lucu. "Apa yang lucu?"

"Kan emang nggak ada yang lucu. Cuma pengin senyum aja. Lagian jomlo mana ngerti, sih?"

"Jelas nggak ngerti, soalnya cuma yang jomlo aja yang waras." Ganiya terkekeh, dia nggak lagi menggubris ucapan Anjani karena dia sibuk meneguk air minum yang baru saja dibawa Anjani. "Ngomong-ngomong, ini bayangan siapa?"

"Kai."

"Bukan. Ini, yang di deket bayangan Kai."

Ganiya mencoba melihat bayangan yang dimaksud Anjani, dan memang di sebelah bayangan Kai terlihat seperti bayangan seorang perempuan, tapi bayangan itu hanya terlihat setengah saja. "Mungkin rekan Kai yang ada di sana. Atau ... orang lain yang kebetulan ada di lokasi itu juga. Siapa yang tahu kan? Kenapa memangnya?"

Anjani menghela napas pelan. Kepalanya pun menggeleng nggak habis pikir. "Otak lo terbuat dari apa, sih? Kok bisa positive thinking mulu."

"Ya terus gimana? Banyak kemungkinan, kan? Kita ambil kemungkinan yang terbaik aja. Karena memilih kemungkinan terburuk cuma bisa bikin kepala pusing."

"Oh, jadi lo sakit dan pingsan karena sempat berpikir buruk?"

Ganiya terdiam. Dia lalu menatap Anjani cukup lama dan pada akhirnya menghela napas pelan. "Lo bener. Gue kepikiran sama ucapan lo tentang Kai dan juga Violeta. Ucapan lo terus terngiang sampai bikin gue ... overthinking. Terlebih saat kemarin gue sempet ngeliat Violeta keluar dari ruangan Kai. Gue ... makin overthinking. Gue tahu gue lebay banget, tapi ... gue bener-bener nggak bisa ngontrol pikiran gue setelah apa yang gue lihat. Gue ... takut. Takut banget kalau sampai ucapan lo tentang Kai itu benar. Gue takut kalau ... dia ninggalin gue," jelas Ganiya panjang lebar. Napasnya sampai sedikit tersengal saat menjelaskannya, dan hal itu tentu membuat Anjani terkesima. Dia nggak menyangka jika ucapannya sampai membuat Ganiya kepikiran hingga berujung sakit dan pingsan.

Memang salah Anjani, seharusnya dia nggak asal bicara apalagi tentang kepergian pada Ganiya. Seharusnya, kejadian beberapa tahun yang lalu sudah menjadi pelajaran baginya. Di mana Ganiya benar-benar ditinggalkan oleh semua keluarganya dan hanya tinggal sendiri sejak dia berusia enam tahun. Dan hal itu yang membuat Ganiya menjadi takut ditinggalkan lagi oleh orang-orang yang dicintainya. Dia nggak mau lagi merasa sendiri, sebenarnya ... nggak benar-benar sendiri karena sudah jelas Anjani nggak akan lepas tangan terhadapnya. Karena Ganiya benar-benar sudah dianggap seperti saudaranya sendiri. Dan dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, siapapun yang menyakiti Ganiya, dia nggak akan segan-segan turun tangan meski yang harus dihadapinya adalah orang yang dicintai Ganiya.

"Gue minta maaf, Niya. Sumpah, gue nggak maksud buat bikin lo kayak gini. Ini salah gue."

"Nggak. Sudah, Jani. Jangan menyalahkan diri lo. Ini salah gue. Karena ... pikiran buruk itu muncul saat gue ngeliat Violeta keluar dari ruangan Kai."

"Bener. Tapi lo kepikiran kayak gitu karena gue duluan yang mulai. Bilang kalo ... Kai itu selingkuh." Anjani memegang tangan Ganiya dengan ekspresi penuh penyesalan. "Gue bener-bener nggak bermaksud apa-apa, Niya. Maafin gue."

"Iya. Gue juga minta maaf karena udah buat lo khawatir."

Anjani mengangguk cepat. "Gue janji nggak akan lagi beranggapan kayak gitu. Dan lo stop mikirin itu lagi. Oke?"

Ganiya mengangguk pelan meski dalam benaknya masih sedikit memikirkan Kai dan kemungkinan itu. "Lo nggak akan ninggalin gue, kan?"

"Lo ngomong apa, sih? Apa pernah gue ninggalin lo?"

Ganiya tersenyum lega. "Gue nggak bisa bergantung ke siapapun selain Tuhan, lo, dan Kai. Karena di dunia ini cuma kalian yang gue punya."

"Lo pegang kata-kata gue. Apapun yang terjadi sama lo, ada gue yang akan selalu mendukung lo."

"Gue percaya."

***

at GwanghwamunWhere stories live. Discover now