7. Bora si savage

99 29 11
                                    


Perasaan Ganiya sudah mendingan, tapi sebagai sahabat yang setia, Anjani tetap kekeh mau menemani Ganiya di rumahnya hingga perempuan itu benar-benar pulih. Nggak pucat lagi, nggak kelihatan lemas lagi, dan tentunya mau makan banyak lagi seperti kemarin-kemarin. Pasalnya, kalau nggak diawasi kayak begitu, Ganiya bisa jadi balita yang susah dikasi tahu kalau cuma sekadar melalui telepon. Jadi, dia benar-benar harus diawasi.

"Gue udah mendingan," ujar Ganiya masih meyakinkan Anjani.

"Ya, ya. Kalo udah mendingan lo habisin dulu bubur lo itu. Gue tahu rasanya nggak seenak buatan lo, tapi ini cuma sementara, kok. Tadi gue udah pesen bubur ayam, ojolnya lagi di jalan. Jadi, untuk mewanti-wanti aja, lo makan itu dulu. Kalo ojolnya udah nyampe, lo bisa berhenti makan."

Ganiya terkekeh. Melihat bentukannya sih terlihat enak, nggak tahu kalau soal rasanya gimana. Maka, Ganiya mencoba menyendok bubur yang masih mengepulkan asap itu lalu mengipas-ngipasnya sejenak sebelum dimasukkan ke dalam mulutnya. Sementara Anjani yang masih memakai apron menatap Ganiya yang mulai melahap bubur buatannya dengan kening berkerut. Yaaa, gayanya seperti seorang ibu yang memperhatikan anaknya makan.

"Hm, ini rasanya lumayan," ujar Ganiya memberikan komentar.

Anjani yang mendengar hal itu lantas menaikkan sebelah alisnya, seperti sedikit meragukan ucapan sahabatnya itu. "Gue tahu lo lagi sakit, tapi ... nggak gini juga. Kalo nggak enak bilang aja."

"Lagian siapa juga yang bilang ini enak? Lumayan maksud gue itu lumayan asin."

Anjani mendengus pelan. Matanya sampai memutar jengah. "Sudah gue duga. Tapi masa bodoh, lo harus makan sampai ojolnya dateng."

Ganiya mengangguk pelan. "Lagian lo masak nggak bisa ngira-ngira takaran apa?"

"Nggak!" Anjani mulai males, nih. Bahas urusan dapur bagi dirinya seperti membahas soal-soal kimia, fisika, dan matematika. Nggak ada habisnya.

"Mending lo ngasi masuk garam dikit-dikit dulu, abis itu dicobain. Kalo terasa kurang, lo bisa tambahin," jelas Ganiya.

"Hmm, oke. Nanti gue cobain kalo nggak terpaksa harus masuk dapur lagi."

Ganiya mendengus, dia salah membahas persoalan dapur kali ini. Harusnya dia bahas soal duit. Meski Anjani tipikal yang benci mata pelajaran perhitungan, tapi kalau urusan duit dialah pemenangnya.

"Lo masih inget sama Bora, nggak?"

"Bora?" Anjani mengerutkan keningnya seraya mencoba mengingat-ingat kenalannya yang bernama Bora. Namun, di otaknya yang hanya dipenuhi persoalan duit itu nggak bisa menangkap bayangan orang yang Ganiya sebutkan itu. "Gue nggak inget. Why?"

Ganiya menaruh sendoknya lalu meneguk air yang sudah disiapkan Anjani sebelum melanjutkan ceritanya. Karena, sepertinya perbincangan kali ini bakal memakan waktu yang cukup lama.

"Oh, iya. Gue lupa ngasi tahu nama asli dia. Itu lo, si Nurhayati. Yang temen sebangku lo waktu di SMA."

"Wait ... wait." Anjani langsung terbahak, dan kelakuannya itu sukses membuat Ganiya menatapnya heran. "Sorry, sorry. Soalnya lucu aja. Kenapa juga dia ganti nama, sih?"

"Ya emang kenapa? Ya kan orang-orang juga berhak memilih mau dipanggil apa. Kamu ini."

Anjani menghentikan tawanya lalu berubah menjadi serius. "Terus, ada apa sama dia?"

"Dia bakal balik besok."

"Emang dia sekarang di mana?"

"Di Korea."

"Heh! Serius lo? Ngapain di sana?"

"Ya kerja lah!"

"Hah? Si Nurhayati? Kerja? Di Korea?" Ganiya mengangguk pelan. "Nurhayati yang sering dibully dan akhirnya ngeberontak?"

at GwanghwamunWhere stories live. Discover now