Anak Dpr

97 6 0
                                    

"Olimpiade? Kau?"

"Ya, hadiahnya 5 juta. Cukup buat… buat apa ya?"

Firmi mengunyah burgernya pelan-pelan sembari membiarkan rasa gurih dari lemak sapi meluber di mulutnya. Bagi orang yang setiap harinya cuma makan nasi dan telur, junk food terasa seperti rempah-rempah yang dirampas orang Eropa demi menghangatkan tubuh mereka. Dengan cepat makanan itu membuat lidah Firmi ketagihan.

"Makan pelan-pelan aja. Aku nggak akan traktir kau lagi dalam waktu dekat," ucap Len galak.

"Ahu haham. Hahi huhahti."

"Eh… apa?"

Firmi menelan makanan dalam mulutnya sebelum mengulanginya lagi.

"Aku paham. Nanti kuganti. Kalau aku udah dapat uangnya."

"Memangnya kau yakin bisa menang?" Tanya Len ragu.

"Tentu. Bu Anna memberiku beberapa latihan soal dan tak ada yang tak bisa kupecahkan. Kalau aku menang akan kubelikan kau sepuluh burger. Apa burger di tempat lain sama enaknya dengan di sini?"

"Meh! Burger disini nggak enak," jawab Len meremehkan. Di belakangnya ibu kantin yang kebetulan lewat memelototinya dengan ekspresi terhina.

Firmi tak pernah makan burger sebelumnya jadi dia tak tahu apakah ucapan Len benar atau tidak, tetapi bagimya burger yang baru saja dia habiskan adalah makanan terlezat dalam hidupnya. Tanpa malu Firmi menjilati sisa-sisa bumbu di jarinya dan tanpa sengaja melihat sesuatu yang janggal.

Len yang dijauhi murid-murid sudah menjadi pemandangan biasa sehingga Firmi tak heran saat melihat meja-meja di sekitar mereka kosong. Namun dari arah pintu masuk seorang pemuda dengan kesadaran penuh berjalan mendekati mereka.

Pria itu kurus seperti Firmi namun dalam sekali lihat sudah jelas bahwa dia tumbuh dengan terpelihara. Rambutnya yang licin dan disisir rapi membuatnya tampak seperti murid teladan dan kesan itu diperkuat dengan kacamata yang bertengger di hidungnya. Sepatunya yang terbuat dari kulit tampak begitu mewah di atas lantai kantin yang kotor dan caranya berpakaian akan membuat Pak Denis bangga.

"Jadi …" ucapnya lambat dan keras seolah sedang berhadapan dengan orang tuli, "kau Firmi?"

"Ya, itu namaku. Dan kau?"

Dia membetulkan posisi kacamatanya yang hampir merosot dengan jari telunjuk. Di balik kaca itu matanya menatap Firmi dengan tatapan menghina.

"Kau nggak kenal aku?"

"Nggak. Hei Len, kau kenal dia?"

"Nggak kenal tuh."

"Namaku Arie. Arie Inieta dari kelas 12-1," ucapnya dengan nada bangga.

"Oooo…. Nggak pernah dengar."

"Itu karena kau kurang pergaulan."

Firmi tak bisa membantah ucapannya. Kalau dipikir-pikir lagi dia bahkan tak tahu nama separuh teman sekelasnya. Bukan berarti dia tak bisa menghapalnya. Dia hanya tidak peduli.

"Jadi kau mau apa?" tanya Firmi dengan nada kurang senang.

"Jaga bicaramu. Bicara yang hormat pada senior."

"Peduli setan senioritas. Aku sudah memutuskan hanya menghormati orang yang pantas dihormati tanpa memandang umur mereka. Kalau kau pantas dihormati aku pasti menghormatimu, tapi sayangnya kita bahkan tidak saling kenal."

Kelopak mata Arie membulat dan membuat matanya menonjol lebih dari yang diperlukan. Tampaknya ucapan Firmi membuatnya tersinggung meski Firmi tak tahu di mana salah ucapannya.

"Hoi, kau nggak tau ayahku siapa?"

"Aku bahkan nggak kenal kau. Gimana caranya aku kenal ayahmu?"

"Ayahku itu anggota DPR. Ingat itu!"

"Okay, akan kuingat. Terus?"

"Terus?!"

Firmi tak mengerti kenapa tapi Arie membantingkan tangannya ke meja keras-keras. Tindakannya itu sudah menarik perhatian dari seluruh penghuni kantin namun mereka segera mengalihkan pandangan begitu sadar Len ada di sana.

"Kau nggak tau apa artinya kalau ayahku anggota DPR?" tanya Arie berang.

"Itu artinya dia wakil rakyat kan? Digaji dengan uang rakyat. Karena aku rakyat itu artinya ayahmu itu bawahanku."

"Kayaknya orang tuamu nggak pernah ngajarin kau sopan santun."

"Memang nggak."

Untuk sesaat Arie tampak ingin meledak namun kemudian Len terbatuk pelan. Entah sengaja atau tidak dia meregangkan bahunya dan membuat otot bisep di lengannya tampak jelas. Sangat mengintimidasi.

"Jadi, sebenarnya kau ada urusan apa sama aku?" tanya Firmi sebelum Arie menceritakan hal-hal tidak berguna lainnya. Arie mendengus kesal tetapi akhirnya berhenti berbasa-basi.

"Kudengar kau terpilih buat olimpiade matematika."

"Terus?"

"Itu harusnya aku. Tiap tahun aku yang mewakili sekolah!"

Firmi akhirnya paham di mana duduk masalahnya.

"Tapi tahun ini aku," balas Firmi sederhana.

"Kau nyogok berapa sampai bisa terpilih?!"

"Nyogok? Kau lihat baju sekolahku. Kau pikir aku punya uang buat nyogok?"

Perhatian Arie yang sedari tadi hanya memandang wajah Firmi akhirnya beralih ke area lain. Dia tersenyum meremehkan saat melihat alas sepatu Firmi yang sudah sangat tipis.

"Kayaknya Bu Anna milih kau karena kasihan ya."

"Mungkin memang begitu. Kenapa? Kau kesal?" tanya Firmi, kali ini dengan nada lebih berani.

"Ya iyalah. Masa orang goblok macam kau jadi perwakilan sekolah?"

"Wow wow, aku nggak senang disebut goblok. Semiskin-miskinnya aku, aku bisa memahami teori Stephen Hawking tentang penciptaan alam semesta. Aku juga bisa menyelesaikan teka-teki Albert Einstein saat masih 5 tahun, mengerti konsep partikel Tuhan Peter Higgs, menghapal pi sampai seratus angka di belakang koma, mengerti paradoks kucing Schrodinger, dan aku juga paham betul kenapa DPR, dengan kata lain ayahmu, sangat tidak disukai oleh rakyat."

"Kau ngomong apa sih?" tanya Len yang jelas tak mengenal satu pun nama-nama yang Firmi sebutkan. Meski demikian Arie malah mendengus.

"Kau membual."

"Terserah kalau kau tak percaya. Lagian kalau mau protes kenapa sama aku? Langsung ke Kepsek sana."

"Ohh itu pasti," jawabnya dengan setiap penghinaan di suku katanya. "Tapi jangan pikir kau bisa lolos gitu aja. Ingat itu. Ingat."

Tanpa menunggu balasan Arie berbalik dan meninggalkan kantin secepat yang dia bisa seolah tak ingin menghirup udara yang sama dengan Firmi lebih lama. Firmi yang senang dengan kepergiannya meminum jusnya sampai habis dan ikut berdiri.

"Balik ke kelas yuk," ajaknya, tetapi Len sibuk memandangi pintu yang baru saja dilewati Arie.

"Hello? Kau kerasukan atau apa?"

"Kau harus hati-hati," ucap Len serius. "Aku udah sering berkelahi jadi aku tahu mana orang jahat mana orang baik. Kalau orang macam… siapa namanya tadi?"

"Arie Inieta. Huruf vokalnya lebih banyak dari huruf mati."

"Iya, itu. Kalau orang macam dia bagusnya dihajar sebelum bisa nyerang. Katanya dia anak DPR? Itu artinya dia kaya. Bisa aja dia nyogok guru buat ngeluarin kau."

"Aku kan peserta olimpiade, gila kalau sampai ngeluarin aku."

Meski demikian Firmi mencatat hal itu dalam otaknya. Len membayar makanan mereka dan kemudian kembali ke kelas.

Crazy CheaterDonde viven las historias. Descúbrelo ahora