Annie itu lucu

6 4 0
                                    

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa. Firmi tetap tidak menghadiri kelas, tetapi dia menetap di ruangan Osis dan melaksanakan kegiatan rutin mereka. Kali ini program yang harus mereka kerjakan adalah sumbangan bagi mereka yang kehilangan akibat bencana gempa bumi. Program biasa akan selesai dengan meminta sumbangan kepada murid-murid, tetapi Firmi mengusulkan untuk ikut meminta sumbangan kepada warga sekitar.

“Tak ada salahnya kan? Lebih banyak uang.” Begitulah Firmi meyakinkan Bu Anna.

Bu Anna memberikan persetujuan dengan mudah dan karenanya anggota Osis serta beberapa murid yang dihukum oleh Pak Denis mengunjungi rumah demi rumah demi meminta sedikit recehan. Kebanyakan orang memberi hanya agar mereka segera pergi.

“Saat dewasa nanti aku tak mau jadi pelayan masyarakat,” keluh Annie yang dipasangkan bersama Firmi. Mereka baru saja mengunjungi suatu rumah dan pemilik rumah malah marah-marah karena menganggap dirinya lebih pantas jadi penerima bantuan.

“Aku juga tak mau,” balas Firmi.

“Siapa…”

“Aku.”

“… yang nanya?”

“….”

Mereka berbelok dan memasuki sebuah ruko. Karena cuaca yang begitu terik mereka memutuskan beristirahat sebentar untuk sekedar membasahi tenggorokan. Malangnya, Firmi sama sekali tidak membawa uang.

“Aku tak mau membayarimu,” ucap Annie sinis.

“Kebaikan hati memang tak bisa dipaksa,” balas Firmi seadanya sambil mengambil uang dari kotak amal dan membeli minuman dingin.

“Kau bisa ngambil uang sumbangan tanpa rasa bersalah ya?” tanya Annie saat Firmi mengisi perutnya dengan minuman dingin yang dibeli dengan uang haram.

“Ada yang salah?”

“Ya iyalah. Itu uang… itu uang….” Annie tak bisa menemukan istilah yang tepat.

“Menurutmu Robin Hood yang mencuri dari orang kaya untuk dibagikan ke orang miskin adalah orang yang baik? Tidak, dia cuma seorang pencuri. Tapi saat kau memasukkan variabel-variabel lain kau akan memandangnya seperti seorang pahlawan. Yang paling penting bukanlah tindakan itu sendiri, tapi situasi yang mengelilinginya.”

“Untuk ukuran anak badung kau kadang bicara seperti orang bijak.”

“Semua orang bisa bicara bijak.”

Firmi menghabiskan minumannya dengan cepat dan membeli satu botol lagi sementara Annie minum lambat-lambat. Ada jarak yang tak terlihat di antara mereka dan Annie sama sekali tidak berniat memperpendeknya.

“Bagaimana kabar ayahmu?” tanya Firmi tiba-tiba.

“Peduli apa kau pada ayahku?”

“Secara personal aku tidak peduli, tapi untuk kepentingan bersama….”

“Ya ya ya, aku paham, ayahku sehat-sehat saja. Puas?”

“Baguslah kalau begitu. Jarang sekali aku berharap seseorang baik-baik saja. Ahh, kurasa aku benar-benar tak pernah berharap seseorang baik-baik saja.”

“Itu artinya kau tak peduli pada siapa pun.”

Firmi meneguk minumannya perlahan sembari memikirkan yang Annie katakan. Dia punya beberapa orang yang penting baginya sekarang, dan dia peduli pada mereka.

“Yang namanya hubungan memang sulit dimengerti. Dalam bisnis kau pasti berharap supplier baik-baik saja agar mereka bisa terus menjual bahan mentah padamu, tapi bagaimana dengan orang biasa? Anak peduli pada orangtua karna jika tak ada orangtua anak-anak pasti kesulitan, jika tak ada anak orangtua pasti akan sedih. Ikatan emosionallah yang membuat seseorang peduli dan berharap orang itu baik-baik saja, sayangnya aku tak pernah punya yang seperti itu dulu.”

Annie berhenti minum dan menatap Firmi lekat-lekat. “Tak pernah punya? Serius?” tanyanya.

“Aku dulu punya pengasuh, tapi aku justru berharap dia segera mati agar pengurus panti asuhan diganti. Dan keluarga yang mengadopsiku… kuharap mereka baik-baik saja.”

“Nah, itu kau peduli. Kau harus lebih sering bertingkah begini, jangan jadi bocah ansos sok keren.”

“Aku tak pernah bersikap sok keren.”

“Kau bersikap sok keren pun tak akan ada bedanya.”

“Kau orang yang lucu, Annie.”

Annie tertawa kecil dan menghabiskan minumannya. Sekali lagi dia menatap Firmi lekat-lekat.

“Kenapa kau ikut-ikutan Airu?” tanyanya kemudian. “Kukira orang macam kau nggak mau terlibat masalah. Lagian kenapa pula kau ngebongkar korupsi Bu Anna. Kalau kau diam aja kau pasti bisa dapat bagian kan?”

Firmi, yang awalnya berniat membeli botol minuman ketiga, mengalihkan pandangannya ke jalan raya.

“Uang bukanlah hal yang paling penting di dunia ini,” jawabnya bijaksana, “lagian Bu Anna melanggar perjanjian jadi aku tak punya alasan untuk tetap diam.”

“Kau tidak menjawab pertanyaanku.”

“Tak usah pedulikan itu. Bagaimana kalau kita membahas rencana Airu saja? Menurutmu apa rencananya akan berhasil?”

Annie mendengus. “Rencananya? Tunggu sampai Bu Anna menyetor bukti kejahatan dan tangkap di tengah proses? Entah kenapa rasanya terlalu mudah.”

“Kadang yang sederhana memang paling efektif. Kau kenal dia sejak lama kan? Kau harusnya paham kenapa dia melakukan ini.”

Annie mengangguk. Jelas sekali Airu tidak melakukan ini karna acuan moral dan sejenisnya, dia hanya ingin bersenang-senang dan melakukan hal yang biasanya tak pernah terjadi di dunia nyata. Airu punya imajinasi, tapi otaknya tak mendukung untuk berpikir terlalu detail.

“Makanya dia minta bantuan ayahmu. Polisi normal tak mungkin percaya ucapan anak Sma.”

“Dan kalau semua gagal aku pasti nggak akan pernah dapat uang jajan lagi.”

“Nggak akan gagal kok, kujamin.”

Annie tidak merasa diyakinkan dengan ucapan Firmi, tapi dia tak mengatakan apa-apa. Keduanya menyelesaikan istirahat mereka dan kembali berkeliling meminta sumbangan.

Sore harinya, Bu Anna memberitahu mereka bahwa dia telah bekerja sama dengan beberapa sekolah dalam program ini. Program meminta sumbangan akan terus dilanjutkan dengan skala yang jauh lebih luas.

Crazy CheaterDonde viven las historias. Descúbrelo ahora