Wanda ternyata lebih muda

50 6 0
                                    

Dua minggu berikutnya berubah menjadi hari-hari tersibuk dalam hidup Firmi. Diberi tugas untuk menyusun soal dan kunci jawabannya, Firmi menghabiskan berjam-jam di ruang Osis setiap harinya ditemani—dengan amat enggan—oleh Wanda. Firmi membuka-buka soal ujian lama, menyelesaikannya, dan membiarkan Wanda mengetikkan soal itu di laptop. Pekerjaan mereka amat menyita waktu sehingga Bu Anna memberikan izin spesial untuk tidak mengikuti pelajaran di kelas.

Totalnya Firmi harus membuat empat soal. Satu soal untuk simulasi ujian akhir dan tiga soal untuk simulasi UTBK tiap angkatan. Bagi orang lain itu tugas yang amat mustahil namun Firmi malah merasa ingin tertawa akan fakta betapa mudahnya dia mengerjakan soal-soal itu.

"Hei Wanda, kau sudah selesai?"

Sepanjang dua minggu ini mereka hanya berbicara seperlunya, tak ada basa-basi dan juga tak ada emosi yang meledak sehingga pekerjaan mereka bisa selesai lebih cepat dari yang Firmi kira. Dia sudah selesai menjawab soal terakhir, sisanya hanya menunggu Wanda selesai mengetik dan tugas mereka pun resmi selesai.

Namun Wanda tidak menjawab panggilannya.

"Oi Wanda, kau melamun atau gimana?"

Wanda tetap tidak menjawab, tetapi kedua matanya menatap Firmi tajam-tajam. Firmi tahu pandangan apa itu, mirip dengan tatapan Bu Cindy saat melihat jejak kaki Firmi di lantai.

"Hei oi hei oi, kau pikir aku adikmu?"

Dia sama sekali tak menyembunyikan kemarahan dalam nada suaranya. Di antara para anggota Osis memang Wanda lah yang terlihat paling tidak menyukai Firmi.

"Aku ini lebih tua darimu jadi panggil aku dengan sebutan hormat. Mulai sekarang panggil aku 'Kakak' atau 'Kak Wanda.' Kau mengerti?!"

"Bukannya tanggal lahirmu 22 Juni 2006 ya? Aku lahir 21 Juni 2006 jadi sebenarnya aku ini lebih tua darimu."

Kata-katanya seolah menusukkan duri kaktus ke jantung Wanda. Dia tampak heran, panik, dan kemudian marah.

"Dari mana kau tahu tanggal lahirku?!"

"Itu ada di catatan Osis, aku membacanya tadi pagi."

"Jangan membaca informasi pribadi orang lain tanpa ijin!"

"Sayangnya Osis punya akses pada data pribadi semua murid jadi informasi tanggal lahirmu sama sekali tak bisa dianggap pribadi."

Wanda tampaknya akan menangis jadi Firmi buru-buru mengalihkan pembicaraan kembali ke topik semula.

"Jadi, apa kau sudah selesai?"

"Jangan katakan itu pada siapa-siapa," jawab Wanda tak ada hubungannya.

"Katakan apa?"

"Bahwa aku satu tahun lebih muda. Aku paling benci dianggap anak kecil oleh orang lain."

"Kenapa kau harus peduli pada sesuatu seperti itu?"

"Karena, tidak sepertimu, aku peduli pada hidupku, pada masa depanku."

"Itu kasar sekali."

Tapi memang benar, Firmi tak terlalu memperdulikan masa depannya. Namun tiba-tiba rasa penasaran menjalari hatinya, sebenarnya apa yang perlu diperdulikan dari masa depan?

"Memangnya apa yang kau rencanakan di masa depan sampai kau peduli akan hal itu?" tanya Firmi tidak terduga, membuat Wanda sedikit terkejut.

"Hmm… apa ya?" bibirnya mengerucut dan kepalanya bergoyang ke kanan dan kiri sementara matanya menatap langit-langit. "Pertama, masuk Universitas Indonesia. Kedua, mendapat pekerjaan yang baik. Ketiga, menikahi pria tinggi tampan humoris yang pendapatan bulanannya di atas dua puluh lima juta. Setidaknya itu tiga hal yang paling aku perdulikan."

"So realistic. Tapi itu aneh, kau ingin masuk UI tapi kau malah bersekolah di sini. Secara tidak langsung itu artinya kau tak punya otak yang cukup untuk masuk universitas, apalagi UI. Apa kau punya koneksi orang dalam atau semacam itu?"

"Bicaramu makin tidak sopan," tegurnya. "Waktuku masih lebih dari satu tahun lagi, masih ada waktu untuk belajar."

Entah apa yang tengah Firmi rasakan. Mungkin dia merasa senang karena bisa melihat seseorang yang serius ingin belajar di sekolah yang dianggap sebagai buangan. Dari apa yang Firmi lihat di kelasnya, tak ada satu pun murid yang tampak benar-benar serius mendengarkan saat guru menerangkan pelajaran. Mereka asik dengan pikirannya sendiri seolah pelajaran itu tak ada artinya bagi mereka.

Atau, apakah dia sudah terlalu mendalami perannya sebagai seorang guru sehingga dia merasa terharu melihat seorang murid yang serius ingin belajar? Firmi tak menyangka dia bisa merasakan hal seperti ini.

"Kalau begitu belajarlah dengan giat," balas Firmi setulus yang dia bisa, tapi ternyata Wanda tidak mendengarnya seperti itu.

"Pasti enak jadi kau. Kau pintar dan bisa bertingkah semaumu. Bahkan Bu Anna tak berani mengeluarkanmu dari sekolah. Kalo boleh jujur, aku iri sekali."

Satu detik… dua detik… butuh tiga detik bagi Firmi untuk memproses kalimat tersebut. Seumur hidup baru kali ini Firmi mendengar ada seseorang yang berkata iri di hadapannya. Itu sama sekali tidak membuatnya senang.

"Aku bisa pintar karena aku belajar, menuangkan semua waktu yang aku punya di sana. Sebagai gantinya aku punya kehidupan sosial yang mengerikan. Hidup hanyalah bagaimana cara kita memilih menggunakan waktu yang diberikan pada kita. Kau sudah memilih, aku sudah memilih, dan inilah hasilnya."

Hening sesaat, jari-jari Wanda berhenti mengetik dan kepalanya tertunduk. Sejenak Firmi mengira dia akan membalas dengan lebih sadis tapi ternyata dia berkata, "Aku minta maaf."

"Aku tak punya konsep memaafkan tapi ya, tidak masalah. Anggap saja kita impas."

"Okay. Ngomong-ngomong aku sudah selesai, tolong kau cek sekali lagi."

"Terima kasih atas kerja kerasnya."

Entah bagaimana Firmi merasa dia berhasil memperpendek jarak antara dirinya dengan Wanda, setidaknya Wanda berhenti melihatnya dengan tatapan sinis, dan bagi Firmi itu satu langkah yang baik dalam kehidupannya.

Crazy CheaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang