#6 tease.

420 52 2
                                    

#sunricjaya

kinda 18+







DULU, jauh sebelum kenal Eric bahkan gue yakin waktu itu saat gue masih dengan pedenya keluar rumah sinletan sering banget main gundu. Di tengah mumet dengan try out ataupun ujian nasional guna syarat masuk SMP kala itu gue lebih suka jongkok di depan rumah, menyentil dua tiga buah kelereng masuk ke dalam lingkaran tanah. Tanpa gue jabarkan detail cara mainnya pun lo semua pasti paham.

Permainan gue dulu konteksnya bukan sebagai seru-seruan main sama temen, seinget gue gak ada anak yang seumuran dulu, langka. Rumah gue ada di pojok komplek, tetangga sedikit, gak ada anak-anak. Jadi gue dulu sering banget dicari nyokap kalo maghrib gue belum balik dari lapangan.

Kembali ke konteks. Dibanding permainan yang menyenangkan, lebih suka gue anggap sebagai permainan yang mengalihkan. Kalo udah urusan sentil menyentil kelereng gue gak akan lagi fokus pada topik yang orang tua gue selalu perdebatkan setiap harinya, gue gak perlu merasa takut dengan suara teriakan dan bantingan dari dalam rumah, atau gue gak perlu ambil pusing mikir mau ikut nyokap apa bokap. Fokus gue hanya untuk gimana caranya nih kelereng bisa masuk lingkaran.

Tapi beberapa hari selanjutnya fokus gue terbelah gak hanya fokus sama kelereng. Ada entitas baru yang sukses buat perhatian gue terpaku.

"Halo, boleh ikutan main engak?"

Gue kala itu harus mendongak buat tau siapa yang tanpa diundang masuk ke halaman rumah. Anak laki-laki ramah yang jauh lebih tinggi dari gue itu tanpa basa-basi ikut berjongkok di depan gue. Kim Sunwoo kecil ini dulunya bingung sama nih orang asing yang sok sksd. Lebih milih masukin semua kelereng ke kantung dan segera masuk ke dalam rumah walaupun keesokan harinya orang ini selalu berusaha ngajak gue berkomunikasi. Selalu seperti itu, setiap hari.

Sampai di titik orang rumah gak ada alias gue gak bisa buka pintu gerbang di situ gue mulai menyerah. Membiarkan gue yang masih bercelana merah dan dia yang bercelana biru duduk di teras rumahnya. Kakak ini ramah, tanpa disuruh maupun diminta ngasih gue segelas energen dan sepiring biskuit untuk teman ngombrol sore itu. Jujur gue merasa gak enakan  setelah ingat betul kelakuan gue yang selalu menghindar tiap orang ini berusaha berinteraksi dengan gue.

"Kita belum sempat kenalan, namaku Jacob."

Seperti kenalan pada umumnya yang saling berjabat tangan dan menyebutkan nama, kita pun begitu. Klasik emang tapi sukses menjadi awal bincang santai kala itu yang isinya dominan adu nasib karena memang gue maupun Kak Jacob sama-sama siswa tahun terakhir, beda jenjang doang. 

"Matematika kelas 6 masih gampang tau, masih sulit matematika di SMP. Tapi sebenarnya matematika itu seru, aku selalu bisa ngerjain soalnya waktu pelajaran biasa. Tapi pas udah ujian satu soalpun enggak bisa jawab, gak tau deh kenapa bisa gitu."

Gue gak peduli mendengarkan Kak Jacob curhat tentang susahnya aljabar atau bagaimana sulitnya menalar soal cerita fisika. Yang gue tangkap hanya binar mata Kak Jacob tiap kali membahas pelajaran Bahasa Inggris, mata pelajaran favoritnya.

Tapi bukan itu yang gue kagumi dari orang yang lebih tua 3 tahun itu. Gimana cara dia  bicara, menatap lawannya dan  gimana caranya memperlakukan gue itulah yang patut dikagumi. Gue sampai berpikir kakak ini terlalu baik, mungkin Tuhan sendiri pun sampai enggak tega ngasih tau sisi buruk dunia.

tease. #sunric ✔Where stories live. Discover now