Bab 3. Pilihan terbaik

510 17 0
                                    

Antariksa mengernyitkan dahi sembari mengedar pandang. Tempat kini kakinya menjejak terasa familier, dan kenapa dia harus berada di sini? Sepertinya tadi dia masuk ke kamar, mengapa sekarang malah berada di kafe?

Tempat mengerikan yang tidak lagi pernah dirinya datangi semenjak tragedi malam itu. Di mana tiga wanita menghakiminya untuk satu kesalahan yang tidak pernah dia perbuat. Dan sekarang, kenapa dia berada di tempat ini? Mimpikah?

Belum sempat Antariksa mencari tahu tentang apa yang terjadi, seseorang memanggilnya. Itu suara Marisha, dan mata Antariksa pun mulai bergerak untuk mencari keberadaan wanita itu.

"Aku di sini, Ta." Kalimat itu membuat tubuh Antariksa bergerak ke arah kanan, di mana Marisha kini tampak berdiri di ambang pintu. Mengenakan dress biru yang dipakainya tadi. Pertemuan antara keluarganya dan keluarga Marisha berlangsung tadi, bukan? Kenapa Antariksa malah seperti orang ling lung seperti ini?

Antariksa sudah berniat membuka mulut untuk bertanya apa yang dilakukan wanita itu di sini, dan kenapa dirinya juga bisa berada di tempat ini. Namun, bibir itu kembali mengatup rapat saat dua sosok lain muncul. Marsya dan Viona, dengan gaun hitam serta riasan mencolok berdiri di antara tubuh Marisha.

"Kamu bilang nggak mau lagi lihat kami muncul di hidup kamu, tapi kenapa kamu malah mau menikah dengan Caca?" Marsya yang bersuara, mata wanita itu terlihat kecewa saat mengatakan semua kalimat tersebut.

"Bukankah aku dulu yang suka sama kamu? Kenapa harus Caca yang kamu pilih?"

Mulut Antariksa seolah-olah terkunci dan tidak bisa mengatakan apa pun. Kali ini mata laki-laki itu bergerak ke arah Viona saat wanita itu juga terdengar ikut bersuara.

"Kamu juga nolak aku, padahal kita udah serius waktu itu. Kenapa bukan aku yang kamu pilih? Kamu benci kami berdua, tapi enggak dengan Caca. Itu namanya nggak adil, Re."

Antariksa yang kesal karena tidak bisa mengeluarkan suara, berusaha untuk memejamkan mata. Laki-laki itu yakin ini hanyalah mimpi, tugasnya sekarang adalah bangun. Dan saat membuka mata, dia sudah berada di tempat lain. Kini, dia seperti tengah berdiri di atap rumahnya. Dari tempatnya, Antariksa bisa melihat ayah, ibu, dan juga saudara kembarnya yang tengah kebingungan.

"Gimana ini, Marishanya kabur." Ibunya tampak menangis saat mengatakan itu. Dan tidak jauh dari tempat keributan itu, Antariksa bisa melihat eyang Marisha yang tengah jatuh pingsan. Suasana macam apa ini?

"Ta, kenapa nasib kamu buruk sekali. Calon pengantin kamu malah kabur dengan orang lain. Harusnya ibu dengerin kamu buat nggak jodohin kamu sama Marisha."

Antariksa berusaha meneriakkan nama ibu, ayah, juga Argan, tetapi tidak keluar suara sedikit pun.

"Abang!" Antariksa terperanjat oleh jeritan adiknya yang terasa dekat sekali. Telinganya bahkan berdenging hebat karena teriakan itu.

"Abang ini, nakutin orang aja. Malem-malem teriak-teriak." Reisa mengatakan itu sembari menatap cemas abangnya yang tampak seperti orang ling lung.

"Ini kamar Abang?" tanya laki-laki itu sembari mengedar pandang. Benar, dia berada di kamarnya sekarang ini. "Cubit Abang, Rei—" Antariksa memekik sebelum kalimatnya tuntas karena cubitan kecil mendarat di lengannya. Diliriknya kesal sang adik yang kini malah mengikik geli.

"Kan, tadi suruh nyubit?" ujar Reisa dengan sisa tawa gelinya. "Abang kenapa, sih? Mimpi buruk?"

Antariksa tidak langsung menjawab, melainkan membasahi tenggorokannya yang terasa kering dengan air mineral botolan di atas meja. "Baru jam satu?"

"Abang mimpi buruk?" tanya Reisa lagi karena pertanyaannya tadi belum mendapat jawaban.

Antariksa mengangguk sembari mengembus napas kasar. Mimpi macam apa itu tadi? Sungguh mengerikan, dan membuatnya semakin yakin untuk tidak melanjutkan perjodohan dengan Marisha. Dulu, firasat seperti ini datang sebelum acara lamaran sederhana yang dirinya siapkan untuk Viona.

"Ini kayak firasat buruk," ujar laki-laki itu seperti tengah bergumam. Namun, Reisa bisa mendengar dengan jelas karena masih berdiri di sisi ranjang abangnya.

"Firasat apaan?"

"Tentang Marisha." Antariksa tidak benar-benar dalam kondisi sadar saat menjawab pertanyaan adiknya itu.

"Abang terlalu takut mungkin, makanya jadi mimpi buruk."

Kalimat itu seolah-olah menyentakkan kesadaran Antariksa. Laki-laki itu pun sadar jika Reisa seharusnya tidak berada di sini.

"Kamu ngapain di sini?" Enggan membahas soal perjodohan dengan adiknya. Entah mengapa Antariksa kali ini yakin jika Reisa sangat menyetujui perjodohan yang ibunya buat. Adiknya ini seperti sangat menyukai sosok Marisha.

"Mau pinjem charger, punyaku ilang nggak tahu ke mana."

"Ambil, terus keluar. Abang mau tidur lagi." Antariksa sudah kembali merebahkan tubuh. Reisa pun segera mengambil apa yang dibutuhkan.

"Abang!" panggil Reysa sembari berdiri di ambang pintu kamar abangnya.

"Apa?"

"Menurut aku, Kak Marisha berhak buat dapetin satu kesempatan. Nggak tahu kenapa, aku yakin kalau dia pilihan terbaik buat Abang."

Antariksa tidak menjawab, laki-laki itu hanya menyuruh adiknya untuk menutup pintu. Pilihan terbaik untuknya bukan ditentukan oleh orang lain. Bagaimana bisa wanita itu menjadi pilihan terbaik, jika kemunculannya hari ini sudah berhasil membuatnya mengalami mimpi buruk?

*

Dealer yang Antariksa buka sudah mulai beroperasi. Sebisa mungkin, setiap bangun tidur dia akan kabur sebelum sang ibu berhasil menyabotase waktunya untuk membahas tentang Marisha.

Acara kemarin malam itu akhirnya hanya berakhir dengan perkenalan keluarga. Dan jika tidak ada halangan, bulan depan keluarganya akan datang ke rumah Marisha untuk melamar wanita itu secara resmi. Dan tentu saja pembahasan tentang pernikahan akan langsung dilakukan.

Beberapa hari kemarin Antariksa berhasil menghindar, tetapi tidak dengan pagi ini. Bahkan sumber dari mimpi buruk yang terus datang setiap malam kini tengah mengobrol dengan ibunya di dapur.

"Ta! Jangan langsung kabur kamu! Sarapan dulu!" Teriakan ibunya membuat langkah Antariksa yang sudah nyaris sampai di ambang pintu keluar harus terhenti. Dengan decakan malas, laki-laki itu memutar langkah.

"Nggak liat apa ada calon istri lagi duduk di sini," celetuk Lestari lagi mengabaikan wajah enggan yang anak laki-lakinya tunjukkan.

Antariksa yang malas menyahut hanya melempar senyuman tipis pada Marisha. Wanita itu pun membalas dengan senyuman tipis sarat akan kecewa. Namun, dalam hati terus berupaya untuk meluluhkan hati Antariksa. Apalagi dia mendapat dukungan dari banyak orang. Tidak ada salahnya bukan, dia memperjuangkan sesuatu yang dianggap baik?

"Ini Marisha yang masak loh, dia pinter masak kayak eyangnya ternyata." Lestari menata beberapa makanan khas Jogja di atas meja. Terlihat menarik memang. Andai saja tidak ada Marisha di dekatnya, Antariksa akan langsung menikmati hidangan menggiurkan itu.

"Nanti kalau kalian udah nikah Ibu nggak bakalan kepikiran lagi. Kayak Argan itu, istrinya pinter masak jadi nggak pernah jajan di luar." Lestari terus membahas hal yang seolah-olah menjadi topik menyenangkan untuk semua orang. Untuknya mungkin iya, untuk Marisha pun begitu, tetapi tentu saja bukan untuk Antariksa.

"Kamu cobain, kalau rasanya enak, berarti Marisha ini jodoh kamu." Celetukan itu tentu saja membuat dua orang lain di sana tercengang. Marisha yang tampak malu, juga Antariksa yang berdecak malas.

"Ibu bisa nggak, sih, buat nggak nyangkut pautin semuanya dengan jodoh?" Antariksa sepertinya sedang berada di ujung lelahnya.

Pembahasan tentang jodoh, mimpi buruk yang terus hadir, membuat hatinya tidak baik-baik saja saat ini.

"Kalau Ibu terus maksa aku buat nikah, mendingan Ibu aja yang nikah sendiri." Setelah mengatakan itu Antariksa bangkit dari duduknya dan langsung pergi. Ada sisi hatinya yang merasa bersalah karena ini kali pertamanya dia bersuara kasar pada sang ibu. Akan tetapi tidak selamanya dia bisa diam saat terus didorong pada satu masalah yang tidak diinginkan. 

***

PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang