Bab 4. Perintah Nyonya Besar

563 27 0
                                    

"Mas Joko, nanti siang makan di sebelah aja, aku dapet diskon khusus loh," ujar Lili pada Joko. Laki-laki dengan kumis tipis itu sedang memanaskan mobil dagangan yang baru datang kemarin. Siang ini ada beberapa calon pembeli yang akan datang melihat.

"Promo pembukaan?" Joko bertanya tanpa menoleh karena sibuk dengan pekerjaannya sendiri.

Lili mengangguk meski tahu jika laki-laki di depannya tidak melihat. "Iya, juga karena di sebelah itu rumah makannya Mbak Risha."

Tidak hanya Joko yang terkejut, tetapi juga sosok laki-laki yang sejak tadi hanya diam sembari memoles sedikit cat ke sepeda motor bekas sebelum dipajang untuk dijual. Bahkan botol cat di tangannya sampai terjatuh menimbulkan bising yang membuat Lili dan Joko saling bertukar pandang bingung.

"Jangan ngamuk, Mas Anta, masih pagi!" Joko sengaja berkelakar agar Antariksa tidak berakhir canggung. Hal yang biasanya dibalas balik dengan candaan itu kali ini tidak mendapatkan respon apa pun. Dalam diam, Antariksa mengayunkan langkahnya ke toilet untuk membersihkan diri.

"Calonnya Mas Anta beneran Mbak Risha, kan?" tanya Joko. Lili menjawab dengan anggukan, paham dengan kebingungan yang rekan kerjanya itu rasakan karena dirinya pun merasakan hal sama. Keduanya memang tidak tahu tentang masalah yang pernah Antariksa alami dengan Marisha.

*

'Di sebelah itu rumah makannya Mbak Risha.'

Penggalan kalimat yang diucapkan Lili terus berdengung di kepala Antariksa. Dia melupakan fakta tentang restoran kecil yang berada di samping usahanya ini adalah milik Marisha. Waktu itu Antariksa pikir akan mudah untuk mengabaikan wanita itu jika sewaktu-waktu bertemu. Akan tetapi jika posisinya seperti sekarang, bagaimana caranya menghindari wanita itu?

Antariksa menghela napas, merasa pusing dengan garis takdir yang harus dilaluinya saat ini. Kenapa hidupnya terus saja berputar pada posisi rumit seperti ini? Tidak bisakah dia tenang tanpa harus memikirkan kerumitan hidup?

Laki-laki itu sedang lupa dengan fakta jika manusia hidup pasti tidak jauh dari masalah. Dan kali ini, masalah yang ada sebenarnya hasil dari perbuatannya sendiri.

"Mas, mau makan siang apa?" Kepala Lili muncul di balik pintu ruangan kerja Antariksa yang memang tidak tertutup.

Laki-laki itu sudah ingin menjawab, tetapi saat mengingat obrolan yang didengarnya tadi pagi, niatnya untuk menitip makan siang pada Lili urung.

"Nanti saya beli sendiri aja, Li. Kamu sama Joko makan duluan, biar saya yang jaga." Antariksa mengatakan itu sembari bangkit dari duduknya. Lili pun segera mengangguk dan tidak menanyakan apa pun lagi meski sebenarnya banyak rasa penasaran yang ingin diungkapkan.

Antariksa duduk di depan, menunggu calon pembeli datang. Selain menyebar brosur, dia juga masih melakukan promo melalui media sosial.

"Permisi!" Seruan itu mengalihkan fokus Antariksa dari ponselnya. Senyum ramah sudah laki-laki itu pasang, tetapi langsung memudar saat melihat siapa sosok yang kini masuk sembari menenteng tempat makan itu.

"Kata Lili kamu belum makan," ujar wanita yang tidak lain Marisha itu sembari meletakkan wadah makanan yang dibawanya ke atas meja di depan Antariksa.

"Kamu boleh kesel sama yang masak, tapi jangan sebel sama makanannya juga." Setelah mengatakan itu, Marisha langsung pergi karena merasa yakin Antariksa akan canggung jika dirinya berada di sana. Atau yang lebih sadis, laki-laki itu akan membuang makanannya.

Antariksa merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Memilih diam, laki-laki itu hanya menatap punggung Marisha yang menjauh. Dan setelah sosoknya menghilang, mata itu baru beralih ke wadah makanan di atas meja. Tadinya laki-laki itu hanya berniat untuk melihat apa isinya, tetapi saat menghidu aroma harum yang menguar, perutnya tidak bisa diajak kompromi untuk mempertahankan gengsi.

*

"Habis, Mbak." Lili mengikik geli pada Marisha yang kini menunjukkan senyuman. Wanita itu merasa senang karena Antariksa tidak membuang makanannya. Dia bisa tahu karena Joko sudah membantunya untuk memeriksa CCTV. Dari kamera keamanan, terlihat sosok Antariksa sedang melahap makanannya sampai habis.

"Tapi, jangan tersinggung, ya, Mbak." Lili kembali berujar sembari menyorongkan dua lembar uang.

"Katanya dia nggak butuh makanan gratis." Lili menunjukkan ringisan tidak enak hati. Takut Marisha akan tersinggung, tetapi nyatanya wanita di depannya malah tertawa kecil.

"Bilangin makasih sama dia," ujar Marisha tidak merasa tersinggung sama sekali. Malah, wanita itu menganggap Antariksa seperti seorang anak kecil yang tengah merajuk dan menunjukkan egonya.

"Mbak Risha ini ... beneran yang mau dijodohin sama Mas Anta, kan?" Lili ingin memastikan jika kabar yang didapatnya memang benar. Saat membantu ibu Antariksa memasak untuk menyambut tamu hari itu, Lili tidak sempat melihat calon yang dimaksud. Namun, gadis itu tidak sengaja melihat foto yang Lestari pegang. Dan menebak begitu saja, jika Marisha adalah orangnya.

Marisha tersenyum, lalu mengangguk. "Tapi seperti yang kamu lihat, bos kamu kayaknya nggak suka sama saya."

Lili ingin membantah, tetapi nyatanya memang seperti itu. Sebenarnya gadis itu ingin bertanya lebih, tetapi merasa tidak sopan. Maka setelah selesai dengan urusannya, Lili pun memilih untuk pamit.

*

"Ta, rumah makan Marisha ternyata di samping dealer kamu?" Kalimat pertama yang langsung ibunya lontarkan saat Antariksa baru saja mengangkat telepon.

"Salam dulu nggak bisa apa, Bu?" Sebenarnya Antariksa masih merasa tidak enak dengan perdebatan yang terjadi dengan ibunya tadi pagi.

Lestari yang mendengar kalimat itu pun segera mengucapkan salam. "Iya apa enggak, Ta?"

Percuma juga menyangkal, maka Antariksa memilih untuk mengiyakan. Tidak perlu bingung dari siapa ibunya itu bisa tahu. Dua pegawai yang dimilikinya adalah kaki tangan juga mata-mata sang ibu.

"Kok bisa kebetulan gitu, ya. Kalian itu memang jo-" Kalimat itu terputus dengan sendirinya. Bukan karena Antariksa yang mencoba memutusnya, tetapi Lestari mengingat pagi tadi anak laki-lakinya ini marah karena pembahasan jodoh.

"Kamu tadi pagi marah-marah sama Ibu nggak mau minta maaf apa?"

Antariksa tersenyum tipis, "Maafin Anta, Bu. Anta beneran nggak sengaja," ujarnya tulus.

"Ibu kok nggak denger ada nada tulus di kalimat kamu itu, ya."

"Anta beneran minta maaf, Anta janji nggak ngulangin lagi. Lagian Ibu juga-"

"Loh, loh, kenapa jadi Ibu yang salah?"

Antariksa memejamkan mata saat sadar kalimatnya salah. "Iya, Anta minta maaf. Ya udah Anta tutup dulu, ya, mau pulang."

"Eh tunggu dulu, siapa bilang Ibu maafin kamu?"

Antariksa mengernyit saat mendengar kalimat itu. "Terus?"

"Kamu harus turutin satu permintaan Ibu sebagai tanda minta maaf yang resmi. "

Antariksa berdecak lirih saat sadar jika sudah kembali masuk ke perangkap sang ibu. "Nggak usah aneh-aneh, Bu," ujarnya bisa menebak misi seperti apa yang akan ibunya lakukan.

"Nggak aneh-aneh, cuman pengin kamu bawa pulang mantu Ibu ke rumah. Kita mau makan bareng."

"Marisha sibuk kali, Bu." Antariksa jengah sekali dengan obrolan ini. Dan berharap segera bisa menghentikannya.

"Itu satu-satunya syarat buat minta maaf ke Ibu loh, Ta. Kamu udah bikin Ibu sedih pagi tadi."

Antariksa mendesah kesal dan terpaksa mengiyakan permintaan, atau lebih tepatnya perintah Nyonya Besar.

PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)Where stories live. Discover now