Bab 44. Lepas

199 7 0
                                    

Restu menerobos masuk ke tempat yang seharusnya tidak boleh dirinya masuki. Jika saja tidak menerima telepon dari pihak penata rias yang kebetulan dirinya kenal baik, maka seharusnya dia memang tidak berada di tempat ini. Seharusnya dia menunggu dengan perasaan gugup calon pengantinnya untuk melaksanakan ijab kabul yang akan dilangsungkan dua jam lagi.

"Mbak Marishanya nangis terus, Pak, kitanya jadi bingung."

Restu yang mendengar kalimat itu langsung membuka pintu menuju kamar rias, di mana wanita yang seharusnya menjadi istrinya hari ini tengah duduk melamun dengan mata sembab.

"Kalian semua tolong keluar," ujar Restu dengan nada rapuh. Apalagi saat melihat sosok yang sangat diinginkannya untuk menjadi ibu bagi anaknya terlihat begitu hancur hari ini. Bagaimana bisa dia melanjutkan pernikahan dengan kondisi Marisha yang seperti ini?

Orang lain yang tidak tahu kondisi mereka pasti mengira jika kesedihan Marisha ini adalah karena orang tuanya yang tidak bisa hadir. Bukan karena keengganan wanita itu untuk menikah dengannya. Malah sejak tadi banyak yang mengatakan iri pada Marisha karena berhasil mendapatkan calon suami seperti dirinya. Andai semua orang itu tahu yang sesungguhnya, apa kiranya yang akan mereka pikirkan?

"Cha," panggil Restu lembut sembari menyentuh pundak wanita itu. Marisha tampak tersentak, dan melebarkan mata, tentu saja terkejut karena kehadirannya.

"Maaf, Mas, ini bukan salah mereka." Marisha tampak gusar, dan mencoba mencari-cari di mana tim rias yang tadi mengelilinginya.

"Mereka aku suruh keluar," ujar Restu dengan suara lemah. Meski berat, sepertinya dia sudah tahu apa yang harus dilakukannya.

Marisha kali ini bingung harus bereaksi seperti apa. Pikirannya penuh dengan sesuatu yang tidak jelas.

"Kamu benar-benar merasa tertekan dengan pernikahan ini?" tanya Restu sembari menatap lekat mata Marisha yang kini juga ikut menatapnya.

Marisha menundukkan kepalanya, merasa pertanyaan Restu tidak perlu dirinya jawab.

Restu mengembuskan napas lelah, tersenyum miris pada apa yang terjadi jika dia benar-benar melepas Marisha. "Kenapa hati kamu nggak bisa goyah sedikit pun, Cha?"

Marisha lagi-lagi diam karena pertanyaan itu juga tidak perlu dirinya jawab. Seharusnya Restu paham jika perasaan tidak bisa dipaksakan. Mereka tumbuh semaunya, dan tidak bisa diatur harus tertuju pada siapa.

Restu kembali menghela napas, lalu ditatapnya wajah Marisha yang kini masih tertunduk. "Aku lepas kamu."

Marisha tentu saja terkejut dengan kalimat itu, matanya melebar sembari memandang Restu yang kini bangkit dari duduknya. Mulut wanita itu terbuka dan tertutup, ingin mengucapkan sesuatu tetapi bingung harus memulai dari mana.

"Dari awal aku yang salah, sekarang biar aku yang nanggung semuanya." Restu tersenyum pedih, seharusnya hal ini dirinya lakukan sedari kemarin sebelum semuanya menjadi kacau.

"Aku harap ini keputusan yangn tepat buat kamu, dan kamu bisa bahagia dengan orang yang kamu cintai." Setelah mengatakan itu Restu segera melangkah menjauh, membuka pintu dengan perasaan ragu. Namun, saat yakin ini adalah keputusan yang tepat meski akan menimbulkan kekacauan, laki-laki itu tetap membuka pintu dan bersiap menghadapi masalah besar di depan sana.

Sementara Marisha yang tidak menyangka Restu akan melakukan hal semacam ini hanya terpaku di tempatnya. Memandang sosok tinggi itu melangkah pergi, menutup pintu dengan wajah hancur. Marisha tidak tahu apakah ini adalah keputusan paling tepat, tetapi dirinya akui ada satu beban yang seperti terangkat dari pundaknya setelah Restu mengucapkan telah melepaskannya. Suara ramai di luar perlahan terganti hening, dan pintu kamar riasnya kembali terbuka menunjukkan wajah sang eyang.

PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang