Bab 47. Tidak romantis

449 14 0
                                    

Kehidupan Antariksa berubah total sejak saat itu. Keinginan untuk sembuh juga semakin terasa menggebu. Apalagi Marisha selalu hadir di setiap kali dirinya menjalankan terapi.

"Kalau aku beneran nggak bisa sembuh total gimana?" Pertanyaan berulang yang terus laki-laki itu lontarkan jika baru saja melakukan terapi.

Marisha yang paham bagaimana perasaan putus asa itu sesekali pasti melintas di benak Antariksa, mencoba untuk bersabar. Tidak bosan pula dia mengulang jawaban sama yang mungkin akan terdengar memuakkan di telinga orang lain.

"Dari awal aku udah bilang, kamu nggak boleh putus asa. Tapi andai akhirnya kamu memang nggak bisa sembuh total, kita bakalan lewatin ini sama-sama." Marisha meremas lembut jemari Antariksa yang kini berada di genggamannya. Laki-laki itu duduk di kursi roda, sementara dirinya duduk di kursi tunggu rumah sakit. Keduanya sudah bersiap pulang karena terapi yang Antariksa jalani sudah selesai.

"Kamu nggak malu digunjing orang?"

Marisha malah tertawa geli mendengar pertanyaan itu. "Mikirin pendapat orang itu capek, Ta. Yang penting aku bahagia sama kamu."

Antariksa mau tidak mau tersenyum, dan mencium jemari Marisha yang masih menggenggam tangannya.

"Sehabis ini mau ke mana?" tanya Marisha sembari berdiri dan mendorong kursi roda yang Antariksa duduki.

"Aku laper."

"Mau makan di mana?"

"Pengin kamu yang masak."

"Ya udah ke resto aja kalau gitu."

"Bukannya hari ini resto libur?" Antariksa ingat, setiap hari Senin di minggu ketiga Marisha akan meliburkan pegawainya.

"Ya karena libur kan, jadinya nggak ada orang. Aku bisa khusus masakin buat kamu."

Antariksa mendongak untuk bisa menatap wajah Marisha. "Nggak ada orang sama sekali?"

Marisha mengangguk sembari mengerutkan kening. "Kenapa memangnya?"

Bukannya menjawab Antariksa malah tersenyum penuh misteri sembari menggelengkan kepalanya.

*

Pemandangan seperti ini kerap Antariksa bayangkan akan dirinya lihat sejak berani memutuskan untuk mengakui perasaannya terhadap Marisha. Bahkan saat hubungan mereka merenggang dan seperti tidak akan memiliki harapan di masa depan, sesekali apa yang terjadi hari ini melintas di benaknya. Marisha yang tengah sibuk di dapur, dan dirinya yang duduk diam menunggu makanan siap untuk mereka santap. Kiranya, akankah hal ini bisa terus dirasakannya nanti di masa depan? Meski Marisha sudah mengatakan mau menjalani sisa hidup bersamanya, tetapi adakalanya Antariksa meragu. Rasa takut wanita ini tiba-tiba akan pergi dari hidupnya sering mengganggu hari-harinya.

"Udah siap!" Suara Marisha menyimpulkan senyum di bibir Antariksa. Laki-laki itu terus menatap pergerakan Marisha yang kini tengah sibuk menyiapkan beberapa masakan ke atas meja. Lalu wanita itu juga dengan telaten menata piring serta nasi, juga menyendokkannya ke piring Antariksa.

"Segini cukup?" tanya wanita itu, dan segera meletakkan piring berisi nasi dan lauk ke depan Antariksa setelah laki-laki itu memberikan anggukan sebagai jawaban. Antariksa terlihat begitu antusias untuk melahap makanannya.

"Aku masaknya kebanyakan, gimana kalau kita bungkus buat dibawa pulang ke rumah kamu?" tanya Marisha saat merasa mereka berdua tidak akan bisa menghabiskan semua hidangan yang ada di meja.

Antariksa mengangguk, dan mulai mengunyah makanan yang sudah masuk ke mulutnya. "Ibu, kan, penggemar masakan kamu."

Marisha tersenyum mendengar kalimat itu, lalu keduanya segera menyantap makan siang yang sebenarnya sedikit terlambat itu.

PILIHAN TERBAIK (Tamat - Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang