BAB : 111

437 13 0
                                    


Seperti yang dikatakan dokter, kini ia berada di depan sebuah ruangan ... dimana Rhea dirawat karena sudah melewati masa kritis. Masih menunggu, saat doketr memberikan dirinya ijin untuk masuk.

Selang beberapa menit menunggu, akhirnya dirinya dihampiri oleh dokter. Sebuah senyuman bisa terlihat jelas dari raut wajah dokter paruh baya itu. Setiodaknya dari situ bisa ia lihta kalau kabar baiklah yang ia terima.

"Gimana dokter?"

Dia mengangguk. "Tenang saja, karena kondisi istri Anda sudah membaik. Hanya menunggu dia sadar."

"Apa saya sudah boleh masuk, Dok?"

"Silahkan," balas dokter ramah.

Tanpa berkata kata lagi, Tian langsung saja berlalu dari hadapan dokter tersebut dan masuk ke sebuah ruangan di mana Rhea dirawat. Ya, hatinya tak sekhawatir tadi lagi, tapi saat melihat penampakan istrinya yang masih belum sadarkan diri di atas banker itu, jujur saja hatinya masih terasa sakit. Sakit jika mengingat siapa yang sudah tega melakukan ini semua.

Berjalan perlahan, menghampiri dia yang masih berada dalam alam bawah sadarnya. Sebuah selang infus di pergelangan tangannya, begitupun dengan selang oksigen yang masih berada di hidungnya sebagai alat bantu pernapasan. Karena menurut perkataan dokter, pasokan oksigen di dalam tubuhnya lah yang bermasalah akibat keracunan.

Menyentuh lembut tangan yang di sana tertancap sebuah jarum infus, ya ... terasa begitu hangat, tapi tak ada balasan untuknya atas sentuhan yang ia berikan.

Fokus pada wajah tak sadar itu, terlihat sudah membaik daripada sebelumnya.

"Apa kamu merasakan sakit?" tanya Tian bergumam, meskipun tahu pertanyaannya tak akan mendapatkan jawaban. Menundukkan kepalanya, seolah sedang merutuki dirinya sendiri atas apa yang dialami oleh Rhea. "Maaf, Sayang," ucapnya. "Maaf, jika kamu sampai seperti ini karena salahku."

Menyenderkan kepalanya dekat lengan istrinya, dengan fokusnya yang terus menatap dia yang berharap banyak segera sadar. Hingga lama kelamaan malah membuatnya terlelap dengan tangan Rhea yang masih berada dalam genggamannya.

Rasa tak nyaman seakan memaksanya untuk segera membuka mata. Meskipun indera penglihatannya itu begitu malas untuk terbuka, tapi ketika sebuah penampakan membayanginya, seketika itu juga dirinya sadar. Menatap ke sekeliling, hanya tampak jarum jam di dinding yang berdetak sesuai irama. Tapi kembali meringis ketika rasa sakit itu begitu terasa di perutnya.

Melakukan pergerakan, tapi terhenti ketika tak berhasil karena sebelah lengannya seolah ditahan oleh sesuatu. Pandangannya kini beralih ke arah samping. Ya, terlihat sosok yang tampak tertidur dengan berbantalkan lengan dan menggenggam tangannya.

Tubuhnya berasa sakit semua, tapi melihat Tian yang terlelap di sisinya, membuat rasa sakit itu seolah sirna. Senyuman diiringi air mata yang tiba tiba keluar dari kelopak matanya, seakan menujukkan betapa dirinya bahagia. Ya, bahagia karena masih diberikan kesempatan untuk hidup dan bersama dengan laki laki ini.

Mengusap lembut kepala Tian, seakan menuangkan rasa sayangnya. Tak berniat membangunkan, tapi hanya sentuhan lembut itu, justru mampu membuat dia terjaga.

Mengerjap negrjapkan kedua matanya, seakan mengumpulkan kesadaran. Tapi langsung sadar dan fokus ketika mendapati senyuman manis itu saat dirinya membuka mata.

"Tian ..."

"Rhea, Sayang ... kamu udah sadar." Seketika langsung heboh. Ini bukan karena panik lagi, tapi justru heboh karena sakit senangnya. "Kamu baik baik aja, kan? Apa yang sakit? Di bagian mana? Aku panggilkan dokter dulu, ya."

Istri Kedua sang BillionaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang