BAB : 90

864 32 0
                                    


Kerja kerja dan kerja. Sepertinya hari-harinya ke depan akan lebih banyak berkutat dengan masalah pekerjaan. Justin akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk menemani Hana yang sedang hamil. Apalagi kondisi sobatnya itu justru sering tak baik baik saja. Itu berarti hanya dirinya dan Willy yang bisa ditumbalkan untuk mengurus masalah pekerjaan.

Langkah cepatnya bergegas menuju ruangan, di mana hari-harinya terus ia habiskan.

Baru juga duduk, Willy tiba-tiba masuk dan meletakkan beberapa map di mejanya.

"Kerjaan hari ini," tukasnya dengan senyuman.

"Wajib selesai?" Menatap tumpukan map dihadapannya dengan tatapan horor.

"Tentu saja," sahut Willy segera berlalu dari sana.

Willy pun merasakan hawa hawa kesibukan sedang menghampiri dirinya dan Tian. Itu artinya nggak akan ada hari dan waktu untuk duduk-duduk santai. Tapi setidaknya ia masih berada dalam satu tempat dengan Joana, hingga tak butuh waktu khusus untuk bertemu. Tak seperti Tian dan Rhea, yang sepertinya akan merasakan dampak jarang ketemuan.

Tian meleonggarkan ikatan dasi yang mengikat kerah kemejanya. Menyingsingkan lengan kemeja hingga siku. Waktunya untuk berkutat dengan laptop seharian dan menguras isi otak.

"Malah hari ini ada janji ketemu Rhea," keluhnya sambil menyambar ponselnya yang ada di laci meja.

Mencoba menelepon gadis itu, hanya saja panggilan teleponnya tak dijawab. Hingga sebuah pesan ia kirimkan.

'Sayang ... sepertinya kita nggak bisa ketemuan hari ini. Kerjaanku menumpuk. Justin mulai mengurangi jadwalnya di kantor karena menjaga Hana. Aku benar-benar minta maaf, Rhea.'

Setelah yakin pesannya terkirim, segera ia mengaktifkan mode silent pada ponselnya dan kembali meletakkan di laci.

Untuk yang biasa bekerja, waktu berajam-jam bukanlah terasa lama. Justru waktu malah seperti berputar cepat. Hanya saja, ya ... tetap merasa tak enak pada Rhea karena ia harus mengurangi waktu bertemu dengan gadis itu.

Beberapa jam berlalu, saat dirinya masih berkutat menyelesaikan beberapa pekerjaan, Justin tiba-tiba datang.

"Gimana proposalnya, sudah siap?" tanya Justin menghampiri Tian yang masih berkutat dengan laptopnya.

"Bentar lagi," jawab Tian tanpa mengalihkan pandangan matanya dari layar laptop. "Kok datang. Hana gimana?"

"Udah mendingan, makanya gue tinggal. Nggak enak sama kalian berdua yang malah kerja, sementara gue berleha leha di rumah," jelas Justin.

Senyuman Tian tersungging mendengar penjelasan Justin. Berleha leha katanya, padahal meskipun di rumah, Justin tiap menit menghubunginya perkara pekerjaan. Intinya, meskipun badannya di rumah, tapi otaknya ada di kantor.

"Kenapa lo?"

"Kagak," respon Tian. "Semoga aja Hana nggak kesal, karena meskipun suaminya ada di rumah, tapi otaknya ada di kantor. Orang lo nya tiap menit hubungin gue atau Willy," terang Tian.

Justin hanya diam serubu bahasa. Apa yang dikatakan Tian ada benarnya juga. Semoga saja Hana nggak kesal.

Justin melirik waktu di jam yang ada di pergelengan tangannya. "Jam makan siang ... gue aja yang lanjutin," ujar Justin meminta Tian menyingkir dari kursinya.

Yap, akhirnya Justin yang melanjutkan pekerjaannya. Datang di saat yang tepat ... tahu saja kalau tadi pagi ia tak sarapan dan kini sudah waktunya makan siang.

"Setelah jam makan siang, lo lanjut ke proyek. Nanti gue tunggu di sana," pesan Justin.

"Oke,"sahut Tian segera berlalu pergi untuk makan siang.

Istri Kedua sang BillionaireWhere stories live. Discover now