i could say sorry and thank you to him in the first place

23 7 0
                                    

Aku menyambut tangannya itu dengan gerakan kaku.

"Salam kenal juga. Namaku Keira dari jurusan fotografi angkatan 22."

Setelah tersenyum simpul, ia langsung melepaskan tautan tangan diantara kami.

Aku pikir usai kami berjabat tangan, ia akan bertanya-tanya dari mana aku dan Kak Ace bisa saling kenal, atau setidaknya berbasa-basi kenapa aku bisa terlibat bersama mereka ke Jogja. Namun ia justru tampak acuh. Bahkan selama berjalan menuju ke kamar Kak Ruben, ia berjalan seorang diri, tak banyak bicara, dan malah Kak Ace-lah yang terus mengajakku mengobrol di sisinya.

Aku dengan pemikiran bahwa sosok Dhira itu pasti menyukai Kak Ace, lantas mengira bahwa ia sedang jual mahal sehingga enggan mengajak obrol terlebih dahulu. Atau bisa jadi ia tengah cemburu dalam diam dan berupaya bertingkah jutek supaya aku bisa sadar dengan sendirinya. Segala spekulasi itu terus bermunculan dibenak membuatku justru menjadi tidak fokus dan berakhir membalas beberapa pertanyaan Kak Ace seadanya.

"Kamu udah makan? Tadi aku pesan pisang goreng enak, siapa tau isi perut kalau belum makan."

Aku menggeleng, "Ah, uhm— udah kok, aku udah makan tadi."

Setelah Kak Ace ber-oh ria, Dhira yang semula terus diam, tiba-tiba saja memberikan sebuah pertanyaan.

"Ruben ada di kamarnya?"

Tentu itu pertanyaan yang dikhususkan untuk Kak Ace.

"Ada kok, tadi dia habis keluar bentar buat nitipin Milo ke temennya."

"Siapa?" Tanya Dhira dengan alis tertaut.

"Maksud lo Milo? Gue kira lo tau, dia anjingnya si—"

"Bukan, siapa yang dia titipin Milo."

"Oh, namanya Yudit."

"Hmm." Perempuan itu hanya menggumam dan mengangguk pelan.

Aku menyimak percakapan keduanya dengan penuh tanda tanya. Sangat aneh jika tetap menganggap bahwa Dhira menyukai Kak Ace, ataupun sebaliknya. Pasalnya tidak ada satupun percakapan diantara keduanya yang memiliki jejak ketertarikan antar satu sama lain. Kak Ace terus bersikap normal, sedangkan perempuan itu menanggapinya dengan dingin.

Hingga suasana pun langsung berubah 180 derajat ketika kami memasuki kamar kos Kak Ruben.

"Hai, Eli! Hai, Lix!" Sapanya dengan raut ceria.

Menemukan Eliza tengah duduk di atas kasur tepat di samping Felix, membuatnya melangkah mendekat dan bergerak memeluk tubuh perempuan itu dengan girang. Dan tentu saja Eliza juga melakukan hal serupa dengan hebohnya. Kemudian Dhira dan Kak Felix melakukan 'tos' singkat dengan kepalan tangan.

"Yaampun, Keira! Aku seneng kamu akhirnya bisa ikut!"

Eliza beralih memelukku dengan erat. Namun, meski begitu, arah mataku tidak lepas dari bagaimana Dhira bergerak untuk 'tos' dengan Kak Raihan, lalu berganti pada sosok laki-laki asing berwajah tajam yang tengah berkutat dengan ponselnya di samping rak buku, dan berakhir pada sosok terakhir berwajah kalem yang sedang membereskan beberapa baju dilemari pojok ruangan.

Bisa ku dengar sayup-sayup kalimat yang diucapkan perempuan itu dengan nada sekalem mungkin, "Helo, Ben." Terdengar berbeda dari apa yang ku dengar sebelumnya saat berbincang dengan Kak Ace.

Kemudian lelaki bernama Ruben itu melirik ke arah Dhira sekilas, "Oh, halo. Baju lo bagus."

Dhira tampak tersipu, "Thanks. Gue ikutin saran lo buat coba pakai pakaian warna gelap."

"Loh, lo terapin ternyata. Padahal gue cuma iseng aja waktu itu." Gerakan Kak Ruben pun kembali sibuk dengan barang-barangnya yang lain di dalam lemari membuat perempuan itu sedikit kecewa.

if only,Where stories live. Discover now