he hadn't been so honest

18 5 3
                                    

Dengan langkah tergesa, Ace berusaha menelisik ke segala arah untuk menemukan sosok Keira. Jika apa yang ia utarakan sebelumnya adalah maksud dari sebuah perpisahan, maka Ace tidak rela. Ia merasa masih bisa meluruskannya. Dan ia tidak boleh kehilangan bayangnya kali ini.

Dua gedung pun rela Ace lalui, dan ditelusuri lorongnya satu persatu. Namun begitu nihil yang ia temukan, ia akan kembali memaksakan diri untuk berlari ke sana ke mari seperti orang kehilangan sesuatu yang penting. Untungnya hujan telah benar-benar reda, membuatnya tidak perlu khawatir jika harus basah nantinya.

Hingga waktu dimana ia melewati sebuah taman kecil dekat gedung E, Ace langsung menghentikan langkahnya tiba-tiba ketika tidak sengaja menemukan sosok Keira tengah duduk di sana membelakanginya. Dengan senyuman lebar, Ace berusaha melangkah mendekat seraya menaikkan tangan, hendak menyapa.

"Kei—"

Namun seruannya lantas ia tahan begitu langkah mendekat yang ia ambil malah menampakkan sosok yang baru ia ketahui tengah duduk di sebelah Keira— karena sebelumnya tertutup oleh pohon.

Langkah Ace langsung terhenti, bersamaan dengan senyumnya yang luntur.

Bisa ia saksikan dengan jelas betapa tulusnya Keira tersenyum ke arah sosok laki-laki di sebelahnya itu. Bahkan ia merasa tidak pernah mendapatkan hal tersebut darinya. Entah Ace justru merasa cemburu dan kecewa meskipun seharusnya bukan itu yang pantas ia rasakan sekarang.

Tangan yang semula terangkat hendak menyapa lantas ia turunkan perlahan. Selama beberapa saat Ace mematung di tempat, memperhatikan dari kejauhan bagaimana dua orang di hadapannya itu tengah mengobrol nyaman dengan tatapan yang saling dilemparkan penuh makna. Meski hanya sekilas, Ace tahu betul, ia benar-benar paham.

Bahwa Keira menyukai laki-laki itu.

Dan mungkin ini waktu yang tepat baginya untuk membalikan badan dan melupakan segalanya.

Dengan langkah sedikit terseret, Ace pun meninggalkan sosok Keira dan Kaivan yang tengah duduk bersebelahan sore itu.


Setelah meninggalkan art gallery, langkahku menjadi tidak menentu, tak ada arah tujuan. Hingga merasa kedua tungkaiku lelah, aku memutuskan untuk duduk di sebuah taman kecil gedung E yang dekat dengan lapangan basket. Sore itu lahannya ramai dipakai sekumpulan laki-laki untuk bermain. Mereka saling mengoper bola dan berseru ketika berhasil atau gagal mencetak poin. Sedangkan aku dengan tubuh lesu hanya menatapnya dengan pandangan kosong.

Ah, sial.

Kenapa aku harus merasa seperti kehilangan padahal bukan milikku sejak awal?

Kenapa aku selalu kurang beruntung dalam hal percintaan?

Kenapa aku terus meratapi nasib buruk ini?

Hingga menyadari dari ujung mata bahwa seseorang mendekat ke arahku dengan langkah lambat, membuatku yang penasaran refleks menoleh.

Aku yang semula menampakan raut kalut lantas membulatkan mata tanda tidak menyangka begitu mendapati sosok yang datang adalah Kai. Ia sendiri juga tampak keheranan dengan keberadaanku yang sendirian di sini.

"Ngapain lo?" Tanyaku sensitif.

"Lo sendiri ngapain di sini?" Ia tidak kalah nyolotnya.

Kemudian aku mengalihkan pandang seraya menghela napas panjang, "Gakpapa."

if only,Where stories live. Discover now