you had never come to me

18 5 0
                                    

Aku terus melanjutkan hidup dengan berusaha menenggelamkan ingatan tentang Kak Ace jauh ke dasar jurang. Semula berhasil aku lakukan, menyibukan diri dengan setumpuk tugas kuliah, bermain tidak kenal waktu dengan teman, hingga mengikuti dua organisasi sekaligus di kampus. Semua itu membuatku terlupa bahwa sempat ada hari dimana aku dipatahkan secara sepihak, penat karena urusan hati, juga merasa menjadi orang paling kejam sedunia.

Kesialan demi kesialan yang menghantam perlahan membuatku terbiasa. Apabila di kehidupan ini manusia tidak luput dari kesedihan. Itu maklum, namun bukan berarti harus berlarut-larut tenggelam ke dalamnya. Dan setelah melakukan banyak perjalanan selama hampir satu tahun berkuliah, pada akhir bulan April seorang Keira kini bisa ditemukan sepenuhnya tersenyum lebar tanpa ada gurat kalut seperti dulu.

Aku tidak pernah merasa sebahagia sekarang.

Hingga ketika sedang mengurus beberapa berkas di ruang sekre himpunan, tiba-tiba saja sebuah panggilan masuk ke ponselku.

Melihat nama Kai tertera di sana langsung menarik senyumku kian lebar.

Aku mengangkatnya dengan satu tangan, sedangkan yang satunya sibuk membereskan area meja yang berantakan akibat kertas berceceran.

"Halo? Kai? Kenapa?"

"Dimana?"

Suaranya tampak tergesa, berbeda denganku yang berusaha untuk memelankan suara.

"Di sekre himpunan, lagi beres-beres."

"Mau tanya sesuatu. Bisa ketemu?"

Aku mengedarkan pandangan ke sekitar, melihat semua orang tengah kerepotan dengan urusan masing-masing membuatku menjadi merasa tak enak.

"Tanya apa emang? Ditelpon aja gimana? Aku lagi lumayan repot nih."

"Oh yaudah."

"Jadi gimana?" Tanyaku.

"Dulu kamu cerita pernah deket sama cowok yang namanya Ace."

Aktivitasku sontak terhenti bersamaan dengan jantungku yang seolah merosot hingga ke perut. Senyuman yang semula mengembang kini perlahan luntur, menyisakan sebuah sorot kalut penuh tanda tanya.

"K-Kenapa?"

"Dia kating kan? Ace Pratama, seni rupa angkatan 2021. Sekarang jadi kahim. Iya kan?"

Aku menghela napas tak sabar, "Iya, terus kenapa?"

Dan bisa aku dengar ia langsung mengumpat samar dari ujung telpon.

"Anjing, ternyata bener!"

Aku yang semakin dibuat gila karena penasaran lantas kembali bertanya.

"Kenapa sih? Jawab, Kai."

Sempat ada jeda, yang terjadi bersamaan dengan datangnya seorang senior yang membawakan setumpuk berkas lama dari lemari. Ia meletakannya di hadapanku.

"Kei, bawa keluar ya, tolong."

Aku langsung menjauhkan ponsel dari telinga.

"Oke, Kak, siap."

"Thanks."

Tak lama kemudian, senior itu berlalu, meninggalkan aku yang langsung kembali menempelkan ponselku di telinga.

"Kai? Jawab!"

"Sorry, tadi gak sengaja nabrak kating."

Aku mendengus dengan tangan yang bergerak membawa setumpuk berkas yang sebelumnya telah diperintahkan untuk dibawa keluar.

"Emang ada masalah sebesar apa sih sampai gak fokus terus nabrak orang gitu?" Tanyaku meremehkan seraya berusaha mengangkat berkas-berkas tersebut.

"Himpunan seni rupa mau dibekukan."

if only,Where stories live. Discover now