7. Competition

11 2 0
                                    

Cuaca dingin bekas hujan semalam.

Selimut tebal menutup hingga kepala.

Perpaduan yang perfect untuk melanjutkan tidur, kicauan burung-burung yang bertengger di kabel listrik bukan masalah.

Tapi aku lupa mengunci pintu, hingga hawa panas dari tatapan Manda menutupi dingin yang kurasa. Tangan tebal Manda menyingkirkan selimut tebalku sekali tarik.

"Jiwa begadang tinggi, jiwa bangun pagi rendah! Ayo! Bangunnn! Sekolah atuh neng geulis tapi sekarang enggak ada geulis-geulisnya. Belajar semalaman tapi untuk mengekpresikan pelajarannya di sekolah malah enggak mau bangun."  

Omelan Manda lebih ampuh bikin ngantuk ambyar seketika. Lebih ampuh dari kicauan burung. Aku menggeliat malas, mata masih merem melek. "Lima menit ... lima menit lagi Manda ...."

Manda menggeleng-geleng, mengaplok betisku. "Lima menit apa? Lima menit curi-curi tidur setelah Manda pergi. Lima menit mandi. Lima menit pakai seragam. Lima menit sarapan. Lima menit naik angkot. Totalnya dua puluh menit. Sekarang sudah jam 06. 55, masuk jam 07. 30. Kalau kamu lebih lambat bisa enggak keburu. Bangun enggak?"

Alarm tanda bahaya di kepalaku langsung berbunyi, tut tut tut ... ada bahaya. Aku menggaruk rambut yang sudah berantakan. Langsung terduduk di atas kasur. Tidur saja ternyata sesusah itu. Hell! Setelah aku mengiyakan, Manda dengan daster batik coklat dan rambut digulung bentuk donat (seperti biasanya), keluar membawa omelannya.

Pagi-pagi di rumahku akan selalu ada kicauan burung, kicauan Manda, suara petikan gitar Panda. Menjadi karyawan kantor pastinya akan ketemu dengan berkas-berkas yang menumpuk, rapat dan lembur. Maka ketika sedang dititik lelah,  kita butuh healing. Dan healing Panda, salah satunya adalah bermain gitar di ruang tamu ditemani secangkir teh, hari ini ada dua cangkir, karena rupanya sepagian ini Kesta sudah ada di sini, jangan heran anak itu memang udah diangkat jadi anak oleh Panda dan Manda. Mungkin lagi enggak ada jadwal kuliah atau bete di rumah.

Kesta sedang melakukan hal yang sama kayak Panda. Lagi main gitar, tepatnya diajarin. Panda curang! Aku sebagai anaknya selalu minta diajarin tapi katanya awal main gitar itu lemesin tangan dulu, aku iyakan. Seminggu setelahnya aku unjuk diri lagi dengan laporan kalau tanganku sudah lemas, katanya masih perlu. Besoknya dan besoknya lagi sampai sekarang enggak kunjung diajarin. Giliran Kesta yang minta ajarin wusss ... langsung diterima. Pilih kasih!

Kesta mendongak dari gitarnya. "Wuihhh, cantik banget Tuan Puteri." Jempolnya diacungkan, tapi wajahnya mengejek. Senyum-senyum enggak jelas.

Panda ikutan mendongak, meneliti aku dari atas ke bawah. Rambut macam serigala habis perang. Wajah kusam dan berminyak. Baju tidur lusuh. Handuk dicangklong sembarangan di bahu. Panda menggeleng-geleng. "Ratu hutan begitu kamu bilang cantik, Kes? Ck ...ck ... Kamu ada mines ya?"

Lalu Panda dan Kesta tertawa. Aku cemberut. Berlalu ke arah dapur. Kamar mandi ada di belakang, lewat pintu belakang yang terletak di sudut ruang dapur. Manda di sana sibuk goreng pisang. Aku mencomotnya satu sambil lalu, Manda jelas mengomel, tapi enggak kuhiraukan.

Dua puluh menit setelahnya, aku sudah siap. Sudah sarapan pisang goreng bareng Panda dan Kesta. Sisa berangkat. Tapi aku dalam keadaan enggak siap ketika tepat saat aku keluar, motor matic putih tepat juga berhenti di depan rumahku. Pengemudinya adalah Seska. Dia tahu rumahku? Gampang sih, tinggal tanya temanku. Tapi siapa? Linda? Riani? Ningsih? Pertanyaan terpentingnya. Ngapain dia?

Kesta langsung nongol depan pintu, kepo. Menatap Seska lalu beralih menatapku, Kesta mendekat ke arahku, berbisik. "Dia cowokmu?"

Aku menggeleng. "Temen sekelas. Enggak mungkin pacarku, lihat tampang dia kayak langit, sedangkan aku ... kayak tanah becek."

RUMIT Donde viven las historias. Descúbrelo ahora