13. Latihan Berujung Luka

10 2 0
                                    

Kalau bukan menyelesaikan tugas segunung, berarti lagi kerja kelompok. Kalau bukan kerja kelompok, berarti lagi belajar buat ulangan. Kalau bukan semuanya, berarti lagi latihan.

Dan aku ada dalam mode yang terakhir. Latihan.

Kali ini latihannya adalah lari. Tenang, bukan lari mengelilingi dunia kok. Ini untuk persiapan. Mengingat minggu depan prakteknya adalah lomba lari. Sesuai aturan latihan nomor tiga, Seska yang menentukan tempat latihan. Hari ini ia memilih latihan di rumahku. Katanya jalannya enggak begitu ramai dilewati kendaraan, cocok untuk dijadikan lintasan lari. Cowok itu sekarang sedang sibuk memberiku siraman teknik lari.

Kira-kira begini:

"Ta, kamu harus konsentrasi ya. Lari enggak biasa aja seperti yang kamu pikirin. Tapi lari itu butuh kekuatan dan kecepatan. Dalam lari, kedua hal itu adalah saudara kembar. Enggak bisa dipisahin satu sama lain."

"Terus, Ta. Kamu tau kan lari itu ada tiga macam. Pertama, base run yaitu lari senyamannya kamu. Kedua, progresif run yaitu lari dengan kecepatan senyaman kamu, tapi dibuat berkembang kecepatannya dari waktu ke waktu. Ketiga, tempo run yaitu lari cepat dalam sejam bagi yang pro dan dua puluh menit bagi yang pemula. Pertama terlalu lemah, ketiga terlalu strong. Jadi untuk latihan ini kita pakai cara kedua."

"Selama lari kamu enggak boleh berhenti-berhenti. Apalagi jajan di warung yang bakal kita lewati. Kalau kamu capek, pelanin sedikit larinya, sedikit aja tapi. Jangan juga pelannya kayak kucing enggak punya kaki atau kayak burung enggak punya sayap."

Begitulah! Bener-bener deh Seska ini mirip sepuluh Manda yang lagi ngomel dijadiin satu. Aku curiga ada hubungan darah di sini. Semacam anak tertukar? Atau ibu dan anak yang terpisahkan?

"Aw!" Aku menjerit ketika satu gertakan hinggap di dahiku. Siapa lagi pelakunya jika bukan cowok yang lagi pakai kaos hitam dan celana training abu-abu ini. Lengkap pula dengan handuk kecil yang mengantung di pundaknya. Udah kayak pelatih beneran guys. "Kenapa lagi sih?! Kenapa digetok?"

Seska menyipitkan mata. "Habisnya kamu bengong. Pasti lagi mikirin yang aneh-aneh."

Aku menggeram tertahan. Sabar-sabar menghadapi makhluk ciptaan Tuhan satu ini.

"Sejauh mana kamu ngerasa nyaman larinya?" tanya Seska sudah ganti topik.

"Sampai masjid."

"Oh berarti kita larinya sampai TK aja, jaraknya lebih jauh dari masjid."

Wait, wait. What?! TERUS APA GUNANYA KAMU NANYA KENYAMANANKU BAMBANG?!

Hidungku kembang-kempis, telingaku rasanya berasap, juga mata yang seolah mengeluarkan uap merah. Saking kesalnya! Melihat wajahku, Seska malah tertawa seolah aku adalah badut rongsokan. Udah badut, rongsokan pula. Parah!

Sore itu akan aku habiskan dengan latihan lari bareng Seska. Ya! Aku tetap menurut pada si Bambang satu itu, menurut dalam artian sambil cemberut. Demi coklat! Melihatku bete, Seska langsung menawariku coklat jika aku mau latihan serius. Dan demi coklat apa yang enggak bisa aku lakukan?

"Aiih ... masa lari kamu kayak orang belum makan sebulan gitu sih? Ayo! Semangat! Demi coklat! Jangan lemes gitu. Belum nenek-nenek udah peyot aja." Seska melambaikan tangannya gemas ke arahku yang ketinggalan beberapa langkah di belakangnya.

Aku memutar bola mata. Ogah-ogahan menuju Seska.

Satu yang aku enggak bisa: Meyumpal mulut Seska yang semakin mirip Manda.

Manda yang siang tadi ke rumah ibunya mungkin aja lagi bersin-bersin sekarang karena aku gosipin.

Kami lanjut berlari. Masih jauh dari masjid, yang artinya masih lebih jauh dari TK. Jalanan tanpa perumahan, hanya pohon-pohon lebat di kanan-kiri jalan adalah tempat kami berada sekarang.

RUMIT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang