42. Menyerah

633 29 1
                                    

Dulu, Sefa takut menghadapi Samuel sendirian. Dulu, Sefa selalu berharap Yeri akan datang melindunginya disaat seperti ini. Dulu, Sefa berharap Yeri akan memercayainya saat bukti telah berada di tangannya. Dulu, Sefa berharap Yeri mengulurkan tangan dan mendekapnya ketika dia terpuruk. Dulu, Sefa sangat berharap perjuangannya akan berhasil, Yeri mencintainya dan mereka hidup bahagia. Tetapi, semua itu hanya dulu, sekarang semuanya sudah berubah 180 derajat.

Rasa takut itu selalu Sefa tekan hingga saat ini sudah hilang entah ke mana. Harapan itu sudah tidak berarti apa-apa baginya sekarang. Antara pasrah dan putus asa, antara terluka dan terpaksa. Sefa harus, dia harus melakukannya.

Sekali lagi, Alula, sekali lagi kamu bertahan. Setelah semuanya selesai kamu boleh istirahat semaumu.

Kini dua orang itu saling menatap dalam. Sefa dengan tatapan datarnya, Samuel dengan tatapan piciknya.

"Aku akui, kau cukup berani datang ke sini sendirian." Samuel bertepuk tangan mengejek sembari memutari Sefa. "Mana suami yang kau bangga-banggakan itu? Yang katanya mencintaimu lewat tindakan? Tidak ada, ya? Pangeran berkuda putih rupanya mencampakan dirimu? Kasihan sekali," ejek Samuel tertawa meremehkan.

Sefa mengangkat sebelah bibirnya. "Sejujurnya aku lebih kasihan padamu. Bertahun-tahun ditipu dan dibodohi oleh orang terdekatmu sendiri. Tidak tahu kebenaran apapun, tapi seolah mengerti segalanya. Ups... aku lupa kalau kau otakmu tidak di kepala melainkan di telapak kaki. Dasar bodoh!" makinya pelan penuh penekanan, dia berhasil membuat Samuel mendidih.

"Kau! Apa maksudmu?!" Samuel menarik baju Sefa. Tatapannya menghunus meminta paksa penjelasan.

Sefa tersenyum, dia mengeluarkan kertas dan foto-foto dari balik kardigannya. "Lepaskan Tom dulu, karena ini sebanding dengan nyawanya. Biarkan dia pergi maka aku dengan sukarela mengungkapkannya."

"Kau mau mempermainkanku, hah?!"

"Tidak, aku hanya meminta bayaran yang setara. Lagipula kau bilang membutuhkan nyawaku untuk menebusnya. Sekarang aku sudah di sini, lepaskan dia." Sefa tidak kuasa melihat Tom yang dicambuk terus menerus sejak tadi.

Pria itu terdiam sejenak, lalu menyuruh anak buahnya untuk melepaskan rantai yang membelenggu Tom. "Lepaskan dia, dan biarkan dia pergi!" titahnya.

Tom merosot ke lantai saat semuanya telah terlepas, bahkan rasanya dia sekarat sekarang. Sefa menghampiri Tom, perasaan bersalah menghinggapi hatinya melihat sekujur tubuh Tom dipenuhi luka-luka. Dia berlutut menyejajarkan tingginya dengan pria itu.

"Maaf, karenaku kau harus menanggung semuanya."

Tom mendongak. "Nyonya, mengapa Anda ke sini dan malah menyerahkan diri? Di mana Tuan dan yang lainnya?" tanyanya lemah.

Sefa bingung bagaimana menjelaskannya, dia terisak pelan mengingat peristiwa tadi malam. Dia mengambil napas dan menengadah untuk menghalau air mata yang hendak turun lagi.

"Tom, dengarkan aku. Kau masih bisa berjalan, 'kan? Pintu ke luarnya ada di sana." Sefa menunjuk pintu tersebut. "Tinggalkan aku dan pulanglah dengan selamat."

Tom terhenyak. "T-tapi ... Anda bagaimana?"

"Pulang, Tom, istri dan anakmu menunggumu. Jangan sampai kau membuat mereka sedih." Sefa tidak menjawab pertanyaan Tom, dia hanya mau meyakinkan pria itu bahwa ada yang menanti kepulangannya. Sefa membantu Tom berdiri. "Terima kasih untuk semuanya. Aku tidak mampu menebus semua kebaikanmu, Tom. Terima kasih sudah membantuku banyak hal. Pergilah, mereka masih membutuhkanmu. Hiduplah dengan bahagia."

"Nyonya ...." panggilnya. Tom paham apa yang disampaikan Sefa, benar anak istrinya pasti menunggunya kembali. Namun, perasaan Tom mengatakan ada yang tidak beres sejak Sefa datang ke sini sendirian, dia menangkap raut lelah dan putus asa dari Sefa.

...Where stories live. Discover now