31. bagai buih ombak

1.4K 119 21
                                    


*

Langkahnya gontai, keringat sudah mengucur deras, jasnya pun sudah ditanggalkan sejak tadi. Menyisakan kemeja kusut dan berantakan dengan lengannya yang digulung sebatas siku. Satria berusaha menopang tubuhnya sendiri yang lelah lahir-batin. Merutuki ketidak-becusannya mengurus perusahaan. Setahun terakhir, ia akui memang tak pernah memeriksa dan abai pada manajemen perusahaan. Yang akhirnya hasilnya sekarang ia rasakan. Perusahaan yang dirintis kakeknya kini di ambang kehancuran, bagai buih ombak di lautan.

Gimana cara balikin semua, Ya Tuhan...

Dijambak rambutnya seiring  tubuhnya yang perlahan merosot. Tiba-tiba ia teringat pada Raina. Satria merasa seandainya Raina masih di sisinya kemungkinan besar perusahaan masih bisa diselamatkan. Namun kini, jangankan menemuinya, mengetahui keberadaan mantan istrinya itu pun tidak.

"Raina..." desisnya lirih.

"Oh, teringat mantan?"

Satria mendongak, dilihatnya Tanti berdiri di depannya sambil melipat kedua tangan di dada. Matanya menatap Satria tajam.

"Pantas saja perusahaan hancur gini, karena kamu sibuk mikirin mantan, Mas!" tudingnya.

"Ibu nyeramahin aku tadi di rumah, dia mempertanyakan karakterku sebagai istri yang nggak terlihat mendukung suami. Padahal kalian tahu aku di rumah nggak ongkang-ongkang kaki. Aku ngurus rumah, ngurus apotik, juga ngurus Sai, putra kita. Di awal aku udah nawarin diri untuk bantu kamu di perusahaan, tapi kamu mungkin senggak percaya itu sama aku!"  papar Tanti.

Satria mendesah, mengembuskan napasnya. Lalu ia berusaha bangkit dari duduknya, menyugar rambutnya sambil terkekeh.

"Suami baru pulang kerja, yang baru berjibaku dengan para karyawan yang nuntut ini-itu, bukannya dikasih minum, di beri senyuman. Istriku ini hebat sekali... malah ngomong yang nggak-nggak."

"Tapi nggak apa-apa, aku yang salah. Salah pilih, salah menempatkan hati, dan buta. Aku nggak boleh nyesel kan? Udah telat juga ... " kekehan Satria kian panjang. Satria tak tahu apa itu tawa ejekan atau tangis penyesalan untuk dirinya sendiri.

"Mas?!"

"Sai udah tidur?" Satria berjalan melewati Tanti begitu saja, melangkah menuju kamar putranya, Saiguna Mahagani Putra.

Tanti tak menjawab, dia bergeming di tempatnya, masih terkejut dengan reaksi Satria barusan.

Satria menatap lekat wajah damai putranya. Mengusap pipi gembilnya, seulas senyum ia terbitkan. Setelah itu ia keluar lagi dari kamar Sai, lalu berbalik memandang Tanti yang kini sudah berdiri di dekatnya.

"Apa yang terjadi dengan perusahaan?" tanyanya.

"Kamu ingin tahu, atau cuma basa-basi?" balas Satria.

"Kamu tuh kenapa sih, Mas?"

"Aku mau tidur. Tolong, malam ini jangan ganggu aku."

"Mas--"

"Please, Tanti..."

Tanti memundurkan langkahnya lalu masuk ke dalam kamar Sai dengan raut kesal yang kentara. Satria kembali melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Melepas satu persatu pakaiannya. Hari ini ia sungguh lelah. Berharap ada sang pelipur lara menyambutnya pulang. Namun hanya kekecewaan yang ia dapat.

Ketika Suamiku Bisa Berdiri Lagi (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang