02:00

16 3 2
                                    

"Jahat! mereka jahat!" Aku merengutkan keningku saat mendengar umpatan disertai tangisan seorang perempuan. Hello? Ini masih terlalu pagi, jangan bilang itu suara Mbk Kunti! Ah tidak, aku sudah parno duluan.

"Gue ... ga tahan Vine. Lo tahu? mereka sejauh ini bully Gue secara ga langsung!" Ah ... aku mendengar suaranya untuk kedua kali, aku yakin dia Naje, bukan Mbk Kunti penunggu kamar mandi Lelaki disamping kelas ini. Dari ucapannya, aku rasa dia tengah berbincang dengan Vine, teman sekelas kami. 

"Kalau Lo siap, Gue bakal antar Lo ke bimbingan konseling, biar anak-anak yang bully Lo dipanggil dan ditegur." Tak bermaksud mendengar percakapan mereka, tapi sudah terlanjur, aku pun masuk ke dalam kelas.

"Assalamualaikum. Aku masuk ya."

"Waalaikumsallam." Jawab Naje dan Vine bersamaan

"Sini, Cles!" Naje menunjuk kursi di depannya, memberi kode padaku untuk duduk."

"So sorry, aku mendengar perbincangan kalian. Kalau kamu siap, aku bisa jadi pendengarmu ." Ucapku dengan tatapan sendu.

"Uhm, yaa. Sejauh mana Lo dengar?" Tanya Naje.

"Aku tahu anak-anak kelas ini melalukan bully. Tapi, aku juga tahu kamu bisa melawan. And you know? Kamu punya hak buat lapor ke bimbingan konseling. Aku siap jadi saksi." Jawabku to the point.

"Gue juga siap jadi saksi Na. Jadi please, buktiin kalau keberadaan Lo dikelas ini bukan cuma buat bahan hinaan, buktiin Lo memang berharga." Lanjut Vine, membuat Naje tersenyum.

"Thanks guys, Gue senang kalian welcome sama masalah Gue, sorry juga kalau masalah dan cerita gue malah bikin kepikiran. So jangan dijadiin beban, ok?" Aku dan Vine mengangguk serentak menjawab pertanyaan Naje.

"Um, kalau boleh tahu, kamu pandai melukis dan hobimu juga melukis, kan? maaf banget, apa ... buat terapi?" Tanyaku ragu-ragu, selama sebulan terakhir aku mengamati Naje, aku pikir dia menjalani terapi untuk kesehatan mentalnya lewat melukis, tak sedikit psikolog maupun psikiater yang merekomendasikan hal serupa untuk beberapa kasus dari pasiennya.

Naje mengerutkan keningnya. "Lo ... kok bisa tahu?"

"Maaf, jangan risih ke aku. Cuma ... sebulan ini aku sedikit mengamati tingkahmu."

"Calon psikolog memang beda deh." Ucap Vine, membuat aku dan Naje tersenyum simpul.

"Senyum palsu merupakan hal biasa bagi Gue. Tapi, senyum yang kalian lihat sekarang merupakan senyum asli, no fake fake." Dengan kasar Naje mengusap pipinya yang basah.

"Cieee nangis nih?" Goda Vine, aku pun menanggapi dengan kekehan. Berbeda dengan Naje yang kini tengah mencibikkan bibirnya kesal.

"Eh iya, tumben Lo datang pagi, Cles? Biasanya juga mepet jam masuk Lo baru Dateng." Tanya Vine.

"OH IYA! AKU KAN HARUS PIKET!" Aku kaget dan berteriak, dengan segera berlari mengambil sapu. Aku lupa tujuan awalku bukan untuk menguping pembicaraan Naje dan Vine lalu ikut nimbrung, tapi aku datang pagi hanya untuk piket. Dan sialnya aku lupa.

"Assalamualaikum!" Aku menoleh ke arah pintu masuk kelas, disana ada Siana yang baru datang.

"Waalaikumsallam." Aku, Naje dan Vine menjawab hampir bersamaan.

"Bu ketu! Ayo piket." Tegurku.

"Oh iya, tolong sapunya." Siana pun berjalan ke arahku, aku pun memberikannya sebuah sapu untuk terbang. Bercanda, fungsi sapu ya untuk menyapu mantan. Eh salah, menyapu debu dan kotoran.

"Thanks, eh iya ... tumben Lo datang pagi?" Aku menghela nafas dengan tidak ikhlas, sudah dua orang yang menanyakan ini padaku. "Kan, aku mau piket Bu ketu."

"Oiya si, bagus-bagus. Ish! Jelek banget si panggilannya, Bu ketu? Siana ya nama Gue." Siana protes kepadaku, aku tak menghiraukan dan lanjut menyapu.

lima belas menit kami menyapu, namun dari enam orang yang piket hanya aku dan Siana yang datang pagi. Yang lain masih bobo manis kah? Dan lihat lah, penghuni kelas sudah memenuhi ruangan ini. Kemana empat orang yang harusnya piket itu?

"Wahh parah nih bocah-bocah, sudah tahu piket, datangnya telat." Aku melirik Siana yang tengah mencuci tangannya, aku pun sama. Lucu, itu lah yang aku pikirkan saat Siana terus mengomel dengan ekspresi yang ....

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsallam. Silahkan bersihkan papan tulis, Lo datang telat lagi? ini udah mendekati bel masuk, tahu?" Mampus, di introgasi lah si Wanga oleh Bu ketu, haha akhirnya ada yang menggantikan posisiku itu.

"So sorry. Biar Gue deh yang bersihin dua papan tulis, plus papan proyektor, gimana?" Tawar Wanga dan diangguki Siana. Karena tiga objek itulah yang belum kami bersihkan.

"Assalamualaikum, hehe Bu ketu ...." Aku lihat Ars, Bipa dan Iafi yang baru datang setelah bel berbunyi. Aku tertawa pelan karena mendengar deru nafas ketiganya yang bersaut-sautan.

"Waalaikumsallam." Jawabku dan Siana serentak.

"Haaah! Kalian bertiga telat?" Entah kenapa Siana bertanya, sudah jelas jawabannya iya.

"Hehe itu tahu." Jawab Ars tanpa malu.

"Maaf." Bipa dan Iafi tak tahu harus berkata apa selain maaf kepada Bu ketu yang mega ultra super duper sabarnya.

"Taruh tas kalian ke dalam kelas, terus tolong cabutin rumput dan tanaman yang mulai kering. Baru siram tanamannya, cuma kalian bertiga yang belum piket."

"Siap laksanakan!" Trio Teri itupun masuk ke dalam kelas dan melaksanakan piketnya dengan ikhlas. Siana tersenyum, entah kenapa.

"Kenapa senyum, Bu ketu?" Tanyaku penasaran.

"Hari ini mata pelajaran Matematika, jelas Gue senang."

"Shock. Tapi bohong! Sudah jadi kenyataan bagi kami sekelas, jika mempunyai Bu ketu yang psikopat. Bukan psikopat yang gemar membunuh atau menyiksa, tapi psikopat yang suka Matematika. Bukannya apa, Bu ketu kalau disuruh maju mengerjakan Matematika senangnya minta ampun. Kalau sekelompok dengan Bu ketu saat pelajaran Matematika, siap-siap saja di suap dengan ilmu berhitung yang enggan dipahami otak.

"Kenapa melamun, Cles?" Tanya Siana.

"Ah ga ada, cuma mikirin sesuatu. Maaf tanya, Bu ketu suka banget sama Matematika?"

"Sudah jelas kan jawabannya? Tentu sangattttttttttt suka! Gue sudah di latih soal matematika dari kecil, sekitar umur empat tahun lah. Kenapa?"

"Ga sih, heran aja. Kagum juga nilai Matematika Bu ketu kalau ga 99 ya 100." Ucapku jujur, membuat Siana tertawa gemas.

"Beruntung dengan nilai Matematika tapi tidak dengan cinta." Ucap Siana dengan tatapan sendu, ia pun memberikan pad head pad kepadaku dan berlalu ke dalam kelas. Aku pun memejamkan mataku dan menerima perlakuan Siana. Jujur, aku senang menerimanya.



   Jember, 8 Desember 2022
ClaudiaOlivia286      







Who are you?Where stories live. Discover now