Prolog.

602 52 2
                                    

Keabadian. Hampir semua orang menginginkannya. Tapi apa yang mereka dapatkan setelah keabadian itu di capainya? Tidak ada ... Hanya kekosongan yang menunggu. Mereka yang menginginkan keabadian, hanya takut akan kematian.

Aku bisa melakukan apapun yang aku mau.

Aku bisa hidup selama yang aku mau.

Aku bisa mencoba berbagai hal.

Pikiran seperti itu adalah hal yang membuat pikiran mereka menjadi sempit. Tidak kecuali dengan ku. Aku cukup senang ketika menyadari kalau diriku abadi, karena aku tidak akan bisa mati entah bagaimanapun pun caranya. Semuanya berjalan normal di seratus tahun terkahir, namun seratus tahun kemudian? Mau seperti apa diriku sekarang. Aku tetap lah manusia di dalam, yang mengenal faktor kehidupan dan kematian. Faktor Kematian telah tertanam secara alami dalam jiwaku. Karena dulunya aku adalah seorang manusia, yang bahkan aku sudah pernah merasakan kematian.

Jika aku sebut itu kematian, apakah itu benar? Karena aku segera bereinkarnasi. Kematian adalah penghentian permanen dan tidak dapat dikembalikan dari semua fungsi biologis yang menopang makhluk hidup. Kematian adalah akhir dari segalanya. Jika memang begitu, apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apakah aku sudah mati? Jika memang seharusnya aku mati, lalu kenapa aku ada di sini?

Memang faktor keabadian masih sulit untuk di percaya oleh orang seperti ku yang dulunya adalah manusia biasa.

Rasanya seperti mimpi. Hidup di antara hitam, namun bersamaan di antara putih. Semuanya tidak menentu, aku merasa senang karena keabadian aku dapat melihat perkembangan Tempest yang maju dengan mata kepala ku sendiri, melihat berbagai generasi baru, para monster baru lahir. Hilangnya gagasan monster tak bernama, semua monster telah di beri nama semenjak mereka di lahirkan.

Namun di sisi lain, aku juga membencinya. Hal yang paling ku benci dari keabadian adalah kematian. Tidak semua mahluk di dunia ini abadi, bahkan akan berdampak buruk jika semua makhluk di dunia ini abadi. Karena itulah ... Mereka mati.

Kematian, adalah hal yang mengikis banyak emosi yang ku miliki. Atau lebih tepatnya, aku memang sudah kehilangan emosi ku sendiri. Sejak di lahirkan ke dunia ini.

Semua itu bermula 400 tahun yang lalu, 6 bulan setelah upacara perayaan Tempest yang ke-400, salah satu eksekutif yang paling penting di Tempest menemui ajalnya. Menolak untuk hidup abadi dan menerima kematiannya sebagai mahluk yang normal.

Aku masih mengingat perkataan nya saat itu, masih mengingat raut wajah seperti apa yang dia buat, masih mengingat apa yang dia inginkan.

Namun apa yang kurasakan ketika dia yang berbaring lemah tak berdaya di atas kasur sambil menatapku.

Tidak ada ... aku tidak merasakan apapun, lebih tepatnya semuanya kosong. Aku menuruti apa yang dia mau. Meskipun enggan melihatnya mati, namun menghormati keinginan nya.

"Aku sudah tua, sudah saat nya aku bertemu dengan ketua di sana. Senang rasanya bisa melayani anda selama sisa umurku, Rimuru-sama."

Aku mengingat jelas apa yang dia katakan. Namun aku tidak bisa mengingat ekspresi seperti apa yang ku perlihatkan saat itu, atau emosi apa yang keluar dari wajahku saat itu. Tidak sama sekali.

A Long Lost FeelingOnde as histórias ganham vida. Descobre agora