0.05 Bern, Swiss

87 23 3
                                    

Bern, 2011

Gilang menatap kosong penjelasan Miss, setelah pertengkaran hebat antara ia dengan Ayahnya kemarin, membuatnya prustasi akan fasilitas yang disita oleh Ayahnya termasuk ponsel.

"Kamu ini anak yang kurang ajar! Papa pernah ajarin kamu ngelakuin itu?!"

"Berani-beraninya kamu ngerusak citra keluarga kita!"

"Papa nggak pernah sekalipun ngelarang kamu untuk pacaran, tapi kenapa hubungan kamu dengan pacar kamu itu sejauh ini?" ia mengeraskan rahang.

"Pah, aku—aku nggak tau hal ini bakal terjadi, aku juga siap buat bertanggung jawab sama Nanda. Jadi, tolong kembalikan aku ke Jakarta," pinta anak laki-laki itu tersendu-sedan, berharap Ayahnya akan memulangkannya ke negara asal. Namun, harapannya tak sama dengan keputusan sang Ayah. "Nggak! Kamu nggak akan Papa pulangkan ke Jakarta! Mau jadi apa kamu di sana? Mau ngurus anak? Udah hidup enak kamu disini mendapatkan beasiswa yang semua orang idamkan! Tapi kamu memilih menggendong anak?!" dengus Lukman.

"Tapi, Pah! Nanda itu butuh aku, semua juga karena aku, Pah!"

"Aku yang ngelakuin ini ke Nanda, tapi hanya Nanda yang menanggung semuanya!" bantah Gilang berdiri dari duduknya, merasa kesal akan keputusan sepihak oleh sang Ayah yang tak punya hati.

Mendengar suara Gilang yang meninggi Lukman lantas memberang—"Papa nggak pernah salah mengambil keputusan, keputusan Papa adalah yang terbaik untuk kamu, Gilang! Dan mulai sekarang hapus semua akses yang bisa membuat kamu berhubungan dengan gadis itu!" imbaunya.

Gilang dengan cepat menggeleng ribut dengan mata yang membulat. "Pah! Papa udah keterlaluan! Aku udah nggak bisa balik ke Jakarta, seenggaknya aku bisa bertukar kabar sama Nanda.

"Kalo kamu nggak mau, Papa yang akan melakukannya!"

"Gilang, what do you think?"

"Are you daydreaming?"

Merasa terpanggil, Gilang lantas membuang ingatannya akan pertengkarannya dengan sang Ayah.

"Ah, sorry, Miss. Im okay."

•••

Aldi menatap aneh kursi pojok tempat Nanda biasa duduk. Ia bertanya-tanya apa alasan Nanda cuti bersekolah sejak dua bulan setelah ia ingin mengantarnya ke rumah sakit. Sudah empat bulan gadis itu tak berhadir di sekolah, padahal Nanda terbilang siswi rajin di kelas.

Saat istirahat pertama tiba, Aldi beranjak dari kursi kayu dan melangkah menuju kantor guru. Ia ingin bertanya kepada bu Ningsih—Wali Kelasnya Namun, yang didapat hanyalah jawaban yang tidak memuaskan.

"Nanda hanya memiliki masalah pribadi, nanti dia akan bersekolah lagi seperti biasa."

Yang berputar keras di kepala Aldi adalah masalah pribadi apa yang membuat Nanda tidak bersekolah selama empat bulan. Ia cukup khawatir dengan gadis itu. Ditambah, dengan penampilannya yang terlihat pucat setiap kali sekolah, juga dengan kejadian perut keram Nanda selepas di UKS enam bulan lalu.

"Apa Nanda sakit parah?"

Disisi lain Nanda terbaring di atas Stretcher dalam interior serba canggih. Lampu menyala tanda operasi sudah dimulai. Diana dengan raut khawatir terus membawa anaknya untuk tenang dan memberi semangat pada gadisnya yang mulai terkulai lemas dengan sebuah infus yang terwalak di bagian mulut serta hidungnya.

"Bu..."

"Ibu di sini sama kamu, sayang."

"Ingat yang Ibu ajarkan ya? Kamu ingat kan?"

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang