0.25 Bagaimana Kabarmu?

35 9 0
                                    

Sepatu pentofel cokelat melangkah ragu ke arah rumah minimalis, tak jarang wanita itu menggigit tipis bibirnya berpikir untuk tak mengetuk pintu itu dan kembali pulang saja. Akan tetapi, belum sempat ia mengetuk pintu, sang pemilik rumah lebih dulu membukanya dan berakhir membuat keduanya terkejut.

"Astaga!" kaget Diana.

Tina menunduk, merasa malu akan kehadirannya. Namun, setelah itu ia memeluk erat Diana, seolah tak ingin melepaskannya, seolah ingin menyesali segalanya.

"Diana, aku minta maaf sama kamu. Aku minta maaf karena aku, Nanda dan kamu jadi seperti ini," isaknya dalam peluk. Begitupun Diana, wanita itu akhirnya ikut memancarkan air mata. Mengingat bagaimana pertemanannya dahulu yang baik-baik saja malah kandas begitu saja karena perbuatan anak mereka.

"Tin..." ujar Diana tak mampu melanjutkan.

Mereka akhirnya duduk di sofa, Diana mendengarkan bagaimana kehidupan keluarga Tina yang sebenarnya jauh dari kata bahagia setelah mendapati suaminya berselingkuh hingga memiliki seorang putra. Tina pikir, perbuatan suaminya itu adalah suatu karma yang turun untuk Gilang, selama ini ia tahu, bahwa putranya itu sangat menderita atas dosa yang diperbuatnya.

"Aku kasihan sama Gilang, Di. Rasanya, aku selalu ingin memulangkannya ke Jakarta, tapi kamu tau sendiri gimana Lukman, kan?"

"Makanya, setelah aku tahu dia punya anak di Jakarta, aku ancem dia buat bertanggung jawab dan izinin Gilang untuk kembali ke sini," jelasnya.

Tina lalu memegang kedua tangan Diana—"Di, kamu tenang aja, aku pastikan Gilang akan bertanggungjawab dengan Nanda dan menjadi Ayah untuk cucu kita," ia tersenyum lebar meyakinkan perkataannya.

Diana menurunkan pandangan, sebenarnya ia ragu akan ucapan itu. "Benar, Tin? Aku cuma nggak mau bikin Nanda kecewa untuk yang kesekian kalinya, kalau apa yang kamu bilang itu nggak kejadian nantinya."

•••

Nanda mengirimi pesan kepada Aldi sore itu, memastikan bagaimana keadaan laki-laki itu setelah keluar dari rumah sakit kemarin. Sejujurnya, ada keinginan untuk Nanda menjenguk Aldi ke rumah, tapi ia cukup malu untuk melakukan itu. Belum lagi saat mengingat dirinya mengusir Aldi untuk tak lagi mengejarnya cintanya.

Ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan, rasanya begitu sulit. Ia lalu melirik jam yang ada di ponsel, melihat jarum pendek itu menunjuk ke angka 4 Nanda berniat untuk pergi ke kediaman Aldi bersama Denada yang bermain balon di depannya.

Namun...

"Nanda."

Gadis itu menoleh mendapati Erick yang berlari kecil mendatanginya. "Erick, kenapa?"

"Lo mau pulang?"

Nanda menggeleng—" Aku mau jenguk Aldi di rumahnya."

"Kamu sendiri, mau ngapain?" tanya gadis itu lagi setelah menggendong Denada di hadapannya.

Erick menggaruk tengkuknya. "Eh... Nggak ada," balasnya ragu.

Nanda lalu menatap Erick penuh intimidasi, laki-laki itu pun kian mundur beberapa langkah dengan raut yang cengengesan.

"Tadi lo mau ke rumah Aldi, kan?" tanya Erick, mengalihkan ke topik awal.

Nanda mengangguk sembari memainkan ponselnya—memesan taksi online. "Nada biar pulang sama gue aja, Nan. Biar lo berdua bisa ngobrol," saran Erick yang membuat Nanda terdiam beberapa sekon dibuatnya.

Mengingat putrinya itu sangat akrab dengan Erick, ia pun tanpa pikir panjang menyerahkan Nada kepada laki-laki itu. "Yaudah, aku nitip ya. Itu kalo mau bikinin susu, dotnya ada di dalam tas."

Erick lantas terkejut melirik tas merah berisi keperluan bayi yang besarnya seperti ingin pergi camping 5 hari 6 malam.

•••

Nanda mengetuk pelan pintu rumah besar. Ia terus menunduk memunguti jemarinya, hingga tidak sadar yang berada di hadapannya adalah sang tuan rumah yang ingin ia jumpai.

Ia mengadah, menatap Aldi yang penuh lebam di wajahnya. lengannya refleks menyentuh rahang tegas itu. "Aldi, kamu..."

Aldi menatap Nanda lembut, hatinya tenang seketika saat matanya bertemu dengan binar pupil gadis pujaannya. Laki-laki itu lantas menggapai tapak tangan Nanda yang berada di pangkal rahangnya.

"Aku jauh lebih baik saat kamu datang ke sini, Nanda."

Ia menatap lekat bagaimana lekuk sempurna yang terpahat di wajah gadis itu, matanya lantas berkaca-kaca. Tak mampu menampung lagi, Aldi menunduk, menangis tersedu sedan di ambang pintu, di hadapan Nanda.

Gadis itu kaku. Ia tahu bukan karena memar itu Aldi menangis, bukan karena perih yang ada di wajahnya Aldi bersedih. Nanda mengusap pelan pucuk kepala laki-laki itu, tanpa tahu apa sebab dari tangisan itu.

Keduanya kini duduk di bawah pohon rindang di samping rumah besar Aldi. Laki-laki itu kian terdiam sejak sepuluh menit lalu, sesekali meredakan isak yang masih tersisa. Nanda hanya berdiam, membiarkan Aldi termenung dengan diamnya, sampai ia berani memulai cerita.

"Nan..."

Nanda menoleh, melihat Aldi menatap kosong matahari yang hampir tenggelam di barat. Keduanya kemudian menyaksikan bagaimana pancaran bulan yang hampir muncul di sudut awan gelap.

"Aku dijemput sama orang tua kandungku, Nan."

Pandangannya beralih pada Aldi, Nanda sedikit kaget akan pengakuan itu.

"Kalo kamu ada diposisi aku, apa yang bakal kamu lakuin?"

Aldi terkekeh pelan melempar batu kerikil ke dalam kolam ikan. "Aku nggak bisa. Meski aku nanya kamu sekalipun, aku tetap nggak bisa ninggalin orang tua aku sekarang."

"Aku nggak bisa ngebayangin gimana sedihnya mereka saat aku ninggalin rumah ini, ketika aku memilih untuk tinggal dengan manusia yang nggak punya hati nurani!"

Tangisnya kembali turun, meski tak seberapa seperti menit lalu. Nanda lalu membiarkan kepala Aldi bersandar di bahunya.

Nanda menunjuk bulan bulat sempurna yang telah terang di langit. "Bulan, butuh sosok matahari untuk memancarkan cahaya."

"Orang tua kandung kamu, butuh kamu di hidupnya."

"Memang sulit untuk menerima kenyataan kalau itu menyedihkan. Tapi kalau kamu menerimanya, semua akan berjalan baik-baik aja, meski awalnya kamu akan merasa menderita."

Nanda membawa Aldi berhadap dengannya. Tangannya kini terpaut pada lengan laki-laki itu.

"Berjalan di atas kepedihan yang selama ini kamu hindari, yang selama ini berusaha kamu lupakan emang sesulit itu. Dan bagaimanapun cara kamu mengubah takdir, segalanya akan terasa sia-sia," nasihat Nanda.

Nasihat yang sebenarnya ia ajukan untuk dirinya sendiri, matanya ikut berkaca-kaca ketika ucapan Lukman kala itu terbayang di kepalanya. Mulai detik itu ia terus berusaha untuk tidak mengharapkan Gilang lagi, tidak mengharapkan tanggung jawab dari kelasihnya itu, dan tidak lagi mengharapkan kabar darinya.

Aldi mengusap air matanya, sedikit merasa tertampar akan ucapan gadis itu. Tapi ia juga tidak bisa menjadi pengecut dan mengikuti ucapan Tina untuk ikut bersamanya dengan Ayah bejatnya itu.



Bersambung...

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang