0.21. Menemukan Suatu Fakta

57 15 1
                                    

"Rey, kenapa Aldi bisa tau sih kalo kita bawa Nanda ke sini?!" Santi berjalan hilir mudik seraya berdecak kesal dengan rencananya yang ia pikirkan berapa hari ke belakang gagal total.

"Dan lo, lo bukannya gue kasih perintah buat ambil hp nya Aldi kan? Kenapa dia masih bisa nemuin lokasi kita?!" kesalnya menunjuk Laras tajam dengan telunjuknya.

Laras menunduk, merogoh ponsel bermata tiga itu dari sling bag-nya dan memberikan pada Santi. "Gue udah ambil ini pas Jian sama Aldi ke Mall kemaren, gue nggak tau kenapa dia bisa ke sini," balasnya.

Santi kembali meringis, mengusap kasar surai pirangnya itu seolah tak mampu membendung kebenciannya pada Nanda. "Gara-gara Nanda gue diputusin sama Erick!"

Ia kemudian melangkah ke arah laki-laki gondrong dengan sepuntung tembakau yang dihisapnya. "Rey, lo harus tanggung jawab! Gue nggak berpikir sejauh ini buat kerjain Nanda!"

Seolah menuli, Rey malah termenung menghembus asap yang keluar dari bibirnya. "Rey lo dengerin gue nggak sih?"

"Gue diputusin loh! Lo nggak bisa terus diam ngebiarin hubungan gue sama Erick berakhir gitu aja. Semua ini terjadi juga karena lo!" cercanya.

Rey melempar sembarang puntung tembakau itu—"Lo bisa diam nggak!"

"Lo pikir gue mau rencana ini gagal?! Nggak!" ia berteriak nyaring di hadapan seluruh para manusia yang terkait dalam rencana mereka. "Lo lo semua nggak ada yang becus, ngalahin Aldi sendiri aja butuh bantuan gue!"

Para pria tambun berambut gimbal itu enggan menatap Rey yang kini tampak begitu geram pada mereka. Mereka hanya menunduk mengusap sisa luka yang begitu nyeri pada wajahnya.

"Gimana mau ngelawan, gue udah di atas napsu," ucap salah seorang mewakili.

Rey beranjak dari duduknya, ia lalu memukul keras kepala pria yang berani menjawab ucapannya itu dari belakang. "Jadi orang jangan gampang sange, bangsat!"

"Udah Rey! Kalo kaya gini nantinya kita bakal kehilangan bantuan dari mereka buat rencana selanjutnya," bisik Santi tepat pada daun telinga beranting itu. Rey. Ia lalu berdiam, kembali menyalakan gulungan tembakau itu dan menghirupnya dalam.

"Emang lo punya rencana baru?"

•••

Seperti malam-malam biasanya, Santi pulang dengan sepatu yang sudah ia lepas. Ketakutannya pada sang Ibu begitu besar dari kematiannya sendiri, dan untungnya sejak dua hari lalu ia tidak bertemu dengan Sasmita.

"Pulang jam berapa?"

Langkah kakunya seketika terhenti, ia mengatup rapat kedua matanya. Rasanya enggan sekali menatap wanita itu. Namun, mau tidak mau ia harus berbalik—"Habis dari ru..."

"Main?"

Sasmita berdiri tegap membelakangi pintu masuk dengan rapor biru tua di tangannya, Santi bernapas berat menyaksikan hal itu.

"Kamu mau jadi Bapak kamu? Mau jadi pengangguran, iya? Atau mau jadi mata-mata kaya Bapak kamu itu?"

"Kalau belajar itu yang benar, Santi! Ibu sudah cari duit buat biaya les kamu, tapi nilai kamu nurun drastis kaya gini!"

Sasmita lalu melangkah laju ke arah sang anak dan memukulnya keras dengan vas bunga rotan hingga menimbulkan bunyi nyaring pada ruang tamu. "Nggak becus jadi anak!"

Tak hanya sekali atau dua kali, wanita itu tanpa ampun memukuli habis anaknya hingga Santi hampir ambruk tak sadarkan diri. Meminta bantuan pada siapapun juga akan nihil, kalaupun sang Bapak ada dan menyaksikan sekali pun ia tidak akan pernah peduli.

Pada akhirnya, ia akan terus merasakan pukulan dari vas bunga rotan itu. Terkecuali posisi Nanda kembali ia rebut.

•••

Nanda sering kali menggigit kukunya, gelisah menatap Aldi yang sudah setengah jam masih berkutat dengan mata tertutup rapat. Rasanya tak kuasa, melihat laki-laki itu terbaring lemah dengan lebam yang memenuhi hampir di seluruh wajahnya.

"Saudara Aldi hanya kehabisan tenaga, dia hanya butuh waktu untuk sadarkan diri."

Nanda, Erick, juga Tono mengusap dada tanda syukur mendapati ucapan Dokter. Erick mengusap bahu Nanda, mencoba membawanya dalam ketenangan meski ia tahu bagaimana isi hati saudarinya. Hampir dilecehkan, hingga menyaksikan secara langsung perkelahian sengit itu, Nanda pasti shock dalam satu waktu.

"Lo berdua pulang aja, biar gue yang jaga Aldi di sini," ucap Tono.

Nanda menggeleng—"Aku juga mau jaga Aldi di sini."

"Nggak usah, Nan. Lo pasti shock banget sama kejadian tadi, mending lo pulang aja sama Erick," elaknya. Tono lalu memberi isyarat pada Erick untuk membujuk gadis itu pulang.

Mau tak mau Nanda harus kembali bersama Erick malam itu. Meski sesungguhnya ia enggan meninggalkan Aldi, karena bagaimana pun bagi Nanda, ia lah yang menjadikan Aldi berakhir di rumah sakit.

Saat di dalam taksi, Erick sebetulnya ragu untuk memberikan ponselnya pada Nanda. Karena awalnya ia mendatangi Nanda ke rumah adalah untuk memberi tahu bahwa Gilang mengiriminya pesan. Namun, sesampainya di kediaman gadis itu, ia malah mendapati berita mengejutkan perihal Nanda yang dijebak oleh Santi.

Akhirnya Erick kembali menyimpan ponselnya, dan berpikir untuk menyampaikannya nanti. Mungkin setelah semuanya mulai membaik.

•••

Santi terbangun dari tidurnya usai mendapat pukulan gila dari Sasmita semalam. Ia lalu beranjak dari kasur dan menatap dirinya di depan kaca, gadis itu terkekeh nyaring mendapati matanya yang tak kuasa terbuka akibat lebam yang besar di area kelopak mata.

"Jangan lo pikir gue diem aja dengan apa yang terjadi selama ini sama gue, Nanda!"

"SANTI!"

Mendengar teriakan Danu, Santi lantas menoleh dan bergegas keluar dari kamar untuk menemui pria itu. Setelah menghadap di hadapan sang Bapak, pria itu hanya mengernyit menatap putrinya yang babak belur, kemudian membuang pandangan seperti sudah terbiasa akan hal itu.

"Ada apa, Pak?"

Ia memberikan sekantong ayam potong krispi pada Santi. Senyum lebar terukir di wajahnya setelah menerima kantong plastik itu. "Makasih, Pak. Santi makan dulu, ya," katanya, ingin beranjak menuju dapur.

Danu melambai tangan menyuruh putrinya masuk dengan tampang datarnya—"Heh, taro ini juga di kamar gue," suruhnya, memberikan amplop besar berwarna cokelat.

"Ini apa, Pak?"

"Lo banyak tanya banget, sih. Kalo gue suruh taro ya taro aja," titahnya.

Santi akhirnya mengangguk kemudian melangkah menuju kamar sang Bapak. Namun, saat di ambang pintu, amplop itu terbuka dan menjatuhkan kertas serta beberapa foto seseorang yang sangat familiar di matanya.

Seorang perempuan berambut sepinggang dengan poni dari tahun ke tahun. foto tiga tahun yang lalu saat gadis itu pergi ke sekolah, foto kedua saat ia tengah hamil tua, dan masih banyak foto yang membuat Santi bungkam dibuatnya.

Ia tak sama sekali kaget dengan gambar-gambar yang diambil oleh sang Ayah, karena ia tahu betul pekerjaan Danu selama ini. Tapi, yang membuatnya terpenjat adalah ketika ia mendapati Nanda yang menjadi target mata-mata Danu.

"Jadi, selama ini Nanda beneran hamil?"













Bersambung...

*****
Mau nanya, kalian ngerasa ceritanya terlalu ribet ngga sih? maksud aku kaya ceritanya nyebar kemana-mana gitu?

Tapi kalo nggak kaya gini, konfliknya dikit dan aku ngerasa feel nya ga dapat h3h3 minta pendapat kalian ya☺️🙏🏻

ALANDA - Park JeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang