Chapter 5 : A Deal

503 97 8
                                    

Malam itu merupakan launching busana-busana ternama di Madrid yang pemiliknya salah satu orang terkemuka di Spanyol. Nieva dan Lora menghadiri pemeran busana itu, menonton para model memamerkan gaun malam mereka di karpet merah.

"I love this one," ucap Lora melirik dress kuning yang dikenakan peraga busana. Semua mata tertuju pada pakaian yang dikenakan para model. Lora melirik Nieva yang masih memerhatikan peraga busana. "Tapi aku akan lebih suka jika warnanya biru."

Nieva menatap peraga busana yang lain yang di mana model berambut pirang itu tersenyum penuh arti padanya, membuat Lora mengerutkan dahi tidak suka. "Apa kau mengenalnya?" tanya Lora. Nieva menggeleng.

Lora mendengus dan menutupi tato snake di bawah telinga Nieva dengan rambut. Apa wanita itu seorang lesbian dan melihat tato ular di leher Nieva? Lora melempar tatapan tajam pada model tersebut. Namun, hal itu membuat Nieva terkekeh dan merangkul pinggang Lora agar semakin rapat padanya, Nieva bertanya, "Kau cemburu, hm?"

Lora tidak menjawab hanya memutar mata kesal, bertepatan saat itu pula ia tidak sengaja melirik seorang pria berambut brunette yang tersenyum ke arahnya. Lora pura-pura tidak melihat dan kembali memerhatikan peraga busana. Ia tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk meladeni pria itu tujuannya kemari adalah menonton busana, Nieva sudah meluangkan waktunya dan mengajaknya ke sini yang di mana wanita itu sulit sekali diajak bersenang-senang.

"Who is he?" tanya Lora melihat seorang pria berjas berbicara setelah peragaan busana selesai ditampilkan.

"Garret Robles," jawab Nieva menatap lurus pria tersebut. "He is the owner."

Mereka hanya memerhatikan pria tua itu berbicara dan setelahnya acara dilanjutkan dengan berpesta champagne serta musik. Lora memerhatikan Nieva terus berbicara dengan asistennya sementara Lora menenggak sampanye di tangannya sambil menikmati musik yang diputar.

"Hi," sapa seorang pria tiba-tiba dari sebelah kirinya. Ah, pria berambut brunette yang tersenyum padanya tadi. Sapaan pria tersebut pada Lora membuat Nieva yang sibuk berbicara menjadi terdiam menatap pria itu.

"My name is Marshall Cooper," ucapnya ramah dan menadahkan tangan. Terlihat sekali tengah menggoda Lora dengan senyuman supermanisnya. "Are you sisters or bestfriend?"

Nieva menaikkan sebelah alis dan merangkul pinggang Lora. "She is my girl."

Pria bernama Marshall itu nampak terkejut, bingung ingin berbicara apa dan salah tingkah. Ia menggaruk tengkuknya. "Ah, a-aku hanya-"

"Go," usir Nieva mememotong ucapan pria itu dengan tenang.

"I'm sorry," ucapnya segera pergi dan menunduk awkward.

***

Pria berahang tegas itu menopang dagu pada tangan kekar di atas meja mahal ruang kerjanya, menatap lembaran di sebelah tangannya yang lain. Ia menghela napas berat seiring menyandarkan punggung ke sandaran kursi kantor elegannya. Lirikan netra biru itu mengarah pada sang asisten yang menunduk seakan memahami kekesalan bosnya. Pria tampan tersebut bertanya dengan nada tajam, "Mengapa anggota La Muerte terdapat 60% wanita?"

Asisten bernama Alfred itu buka suara, "Seminggu setelah Nieva dibebaskan dari penjara dia diangkat menjadi anggota dan dua bulan setelahnya dia menjadi tangan kanan Daniel. Dalam kurun waktu satu bulan Daniel mengizinkan rekrut anggota wanita atas usulan Nieva."

Sang bos menajamkan netra dan berdesis tajam, "Bagaimana bisa kita tidak tahu hal ini?" Melihat pria di hadapannya menunduk dalam, ia berucap lagi, "Ini bertentangan dengan The Greatest! Mafia wanita di The Greatest hanya seorang mawar!"

Alfred meneguk saliva. "Wanita itu benar-benar manipulatif-"

"Kau yang teledor!" potong Anver emosi. "Mulai sekarang aku ingin monitoring di setiap kelompok cabang setiap sebulan sekali dan itu menjadi tanggung jawabmu!"

"Baik Tuan," ucap Alfred menunduk patuh.

Anver mengisyaratkan tangannya mengusir asistennya itu, lalu bangkit dari kursi kantor berjalan dengan berkacak pinggang, seolah-olah sudah sangat pusing akan semua permasalahan kelompok mereka. Belum lagi permasalahannya dengan Ansell yang merenggang.

Bertepatan saat Anver mengusap wajahnya, mobile phone-nya berdering, membuatnya melirik ke arah benda pipih di atas meja, di mana nama Ansell tertera. Mengapa Ansell menghubunginya? Masalah apa lagi yang akan dibuat Ansell kali ini?

Dengan gerakan kasar Anver meraih mobile phone-nya dan menawab panggilan tersebut. Tidak ada suara, membuat Anver melirik layar, panggilan itu tersambung, tapi mengapa tidak ada suara? Apa Ansell sedang mengerjainya?

"Open up your fucking door or I'll burn it down."

Anver mengerutkan dahi. Apa Ansell ada di mansion The Greatest? Apa ia sudah kembali? Bukankah di depan ruangan Anver ada anak buahnya yang dapat membukakan pintu, lalu mengapa adik sialannya ini malah menyuruhnya membuka pintu? Entah sudah berapa tahun Anver dan Ansell tidak pernah menyentuh pintu karena pintu selalu terbuka ke mana pun mereka pergi.

Anver memutar mata muak dan membuka pintu ruangannya, di mana di baliknya terdapat Ansell mematikan panggilan dan langsung melengos masuk. Ansell duduk di kursi kerja milik Anver dan memerintah, "Close the door."

Anver menatap tajam adiknya itu, lalu mengodekan anak buahnya yang di luar untuk menutup pintu. Ia melirik kembali Ansell tanpa mengendurkan kerutan dahi. "Ke mana saja kau?"

"Sit," perintah Ansell lagi mengarahkan tangannya pada sofa, tempat di mana tamu Anver duduk.

Kali ini Anver semakin kesal dan membalas dengan suara beratnya, "That's my chair."

Ansell menyeringai, terhibur karena kakaknya mulai kesal karenanya. Ia menarik napas sebelum mengeluarkan senyum manis dan berucap, "Listen brother, I'll play your game if you play my game too."

Anver masih mengerutkan dahi dan menatap lurus adiknya. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini, namun berbicara setengah-setengah seperti itu membuat Anver muak. "Berbicara yang jelas, Ansell."

"Aku akan menikahi Lora dan kau akan menaklukkan Nieva," ucap Ansell masih tersenyum seolah-olah ucapannya bukanlah apa-apa. Ansell dapat melihat Anver tertawa yang lebih mirip helaan napas.

"Kau gila," makinya mengalihkan pandangan seolah-olah Ansell melontarkan candaan tidak lucu padanya.

"Kelompok itu dipimpin dua orang, sama seperti kita." Ansell menaikkan kakinya ke atas meja. "Jika ingin menghancurkan, harus keduanya. Lora memiliki ikatan dengan ketua kelompok sebelumnya dan Nieva adalah ketua kelompok sekarang."

"Dia hanya tertarik dengan wanita!" bentak Anver emosi. Ya, Nieva seorang lesbian sementara Lora seorang biseksual. Bagaimana bisa Anver yang buta akan wanita disuruh memacari seorang lesbian? Anver mengalihkan pandangan muak dan mengumpat, "Kau gila menyuruhku memacari seorang lesbian."

"Make her straight then," balas Ansell seolah-olah hal yang dikatakannya semudah mengatakannya.

"Omong kosong," umpat Anver merasa muak dengan ide gila saudara kembarnya itu, beranjak pergi dari ruangan.

"Anver," panggil Ansell dengan suara berat nan mencekamnya, membuat kakaknya sontak berhenti melangkah. "You play a dirty game to me and embarrass me. Don't you think I'll play your dirty game twice."

Anver mengepalkan tangannya menahan emosi, lalu berbalik menghadap adiknya yang menyeringai. Anver berucap sinis, "I'm not you, I have no idea about woman. How can I? Have you ever see I date someone like you date Isabel?"

Ucapan Anver sontak membuat Ansell menajamkan netra. "Don't say her name," desisnya tajam.

Anver memutar mata dan berdecak kesal. Ia tidak suka ini, tapi ia tahu bahwa dirinyalah yang salah karena bermain curang. Jika ia terus-menerus keras kepala maka kelompok mereka yang hancur. "What's your plan?"





#To be Continue...






231222 -Stylly Rybell-
Instagram : maulida_cy

Queen in SuitOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz