#5. Diskusi Yang Tidak Berujung

3.5K 461 34
                                    

Bandung, 2012

Malam itu, Dava hendak mengutarakan semua pemikirannya kepada Bapak dan Mama untuk yang pertama kalinya. Sebuah kebiasaan keluarga Bapak Cahyo, saat hendat mendiskusikan sesuatu semua anggota keluarga wajib ikut berkumpul. Terkecuali Rai dan Putra. Sehabis salat isya, keduanya diberi perintah untuk segera tidur.

Dava mengusap kedua lengannya, gugup. Didepannya ada Bapak dan Mama yang sedang menunggu Dava memulai diskusi. Disebelah kanan dan kiri ada Rendi dan Raga. Sedangkan Yoga dan iqbal ada dikursi pojok, asyik memakan keripik seperti tidak punya beban sama sekali.

"Abang mulai ya, Pak?"

Bapak mengangguk takzim, mempersilakan.

Rendi yang ada disebelahnya hanya bisa mengusap pelan pundak si sulung. Ia sendiri tidak tahu Dava akan mendiskusikan apa. Karena selama ini, meskipun keduanya satu kamar Dava tidak pernah bercerita tentang apapun.

"Begini.. Pak, perihal apa yang selalu Bapak bicarakan, Dava sebenarnya nggak mau daftar Tentara.." ucap Dava dengan penuh kehati-hatian.

Saat mengatakan itu, mata Dava berbinar. Ia berharap Bapak akan menerima, dan menanggapi dengan penuh kelembutan. Namun harapannya musnah saat ia melihat Bapak segera menggeleng dengan tegas.

Gagal sudah rencananya untuk berdiskusi dengan keadaan dingin.

"Kenapa begitu?" Bapak bertanya sarkas, nada bicaranya meninggi.

"Karena bukan itu mimpi Dava, Pak.."

"Lantas apa mimpi mu?"

Dava menggeleng, tidak tahu. Karena selama Bapak menuntut Dava untuk daftar Tentara, selama itu Dava tidak pernah keluar dari belenggu harapan Bapak. Sehingga Dava tidak bisa memikirkan, apa sebenarnya yang mau ia tuju. Tapi Dava tahu betul, bahwa ia benar-benar tidak ingin menjadi tentara.

"Belum tau mau jadi apa kok udah ngebantah saran dari Bapak.." Dava menatap kembali kearah Bapak yang sedang melipat kedua tangannya didada. Bapak kembali melanjutkan "Selama ini Bapak selalu terapkan apa yang Bapak dapat dari profesi Bapak ke kamu, ke kalian semua buat apa? Supaya kalian mudah, untuk daftar jadi tentara nantinya."

Raga mengangkat tangannya, menajukan pertanyaan. "Apa kita semua harus jadi tentara Pak? Apa itu sebuah kewajiban?"

Bapak terdiam.

"Apa Dava nggak berhak punya tujuan sendiri, Pak?" Dava balas mengajukan pertanyaan.

"Memangnya kamu sudah punya tujuan? Belum kan? Apa salahnya mencoba saran dari Bapak?"

Mama segera menenangkan Bapak saat nada bicaranya tiba-tiba naik beberapa oktaf. Mama mengusap pelan lengan Bapak, menyuruhnya untuk menarik nafas panjang. "Pak.. sesuatu yang dipaksakan itu nggak baik. Biarlah ikutin apa yang mereka mau.."

"Jadi tentara adalah yang terbaik Ma!" sentak Bapak.

Dava lekas berdiri, ia paling tidak suka ketika ada orang yang membentak Mama. Siapapun itu, tanpa kecuali. "Yang terbaik itu hanya versi Bapak! Bukan versi Dava! Kalau menurut Bapak itu terbaik, bagi Dava itu enggak!"

"Bang! Jangan begitu!" Rendi menarik tangan Dava untuk kembali duduk.

"Apa begitu susahnya kalian membuat Bapak bangga? Setidaknya Bapak minta satu orang saja, satu orang untuk meneruskan jejak Bapak!"

"Jadi selama ini kami belum membuat Bapak bangga?" Dava nyolot.

"Bang, pelankan suaramu.." tutur Mama dengan lembut.

Dava mengusap wajahnya dengan sarkas, kemudian berdiri dan beranjak pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Sesuai dengan apa yang Dava takutkan selama ini. Mendiskusikan pemikirannya dengan Bapak hanya akan memperkeruh suasana. Tidak ada hasil yang didapat pada diskusi kali ini. Bapak tetap teguh kepada pendiriannya, pun Dava begitu.

Dava Bahari - Kilas Balik 7 Prajurit BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang