PAST (7)

349 85 9
                                    

Sebuah kertas boarding pass terselip di antara jemari Monica ketika ia telah duduk di dalam pesawat. Ia memandang ke luar jendela, di mana bangunan bandara yang megah di malam hari tampak gemerlap. 

Lima menit lagi, pesawat akan take off. Malam semakin larut, dan tidak ada waktu lagi untuk menunggu siapa pun. Akan tetapi, Monica dibuat gelisah untuk kali pertama dalam situasi yang sedikit terkendali. Ia mencoba menyembunyikan raut wajah kekhawatiran itu, tetapi Peter Baren yang duduk di sebelahnya mampu sedikit menerka.

Peter menoleh pada Monica yang masih saja memandang ke luar jendela. "Kau seperti mengkhawatirkan sesuatu. Boleh aku tahu apa yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya.

"Kupikir aku telah menemukan harapan baru," balas Monica masih dengan tatapannya yang menerawang.

"Maksudmu?"

"Kau tahu? Enam tahun berada di penjara yang terisolasi. Kupikir wajar jika aku merindukan seseorang yang sangat kusayang." Kini Monica menatap wajah Peter. "Aku tidak tahu bagaimana nasib adikku. Felice, ketika ia jatuh dari atas gedung lima lantai." 

Peter mengerutkan kening ngeri.

"Menurutmu, apa mungkin Felice masih punya kesempatan untuk hidup setelah kecelakaan tragis itu?" Monica meminta pendapat Peter.

"Aku ... turut bersedih." jeda sebentar. "Ya, menurutku mustahil bila seseorang selamat setelah terjatuh dari tempat setinggi itu."

"Kau yakin Felice meninggal?"

"Chloe, kenapa kau bertanya seperti itu? Apa kau tidak diberitahu oleh pihak yang berwajib soal adikmu? Apa kau tidak melihat jasadnya?"

Monica menggeleng. Setitik air mata hampir tumpah dari kelopak matanya. "Mereka menelikungku bagai penjahat kanibal. Jangankan melihat Felice, bicara sedikitpun aku tidak diperkenankan. Tapi mereka memberitahuku kalau Felice meninggal di tempat."

"Dan kau percaya begitu saja dengan apa yang mereka katakan?"

Kedua mata Monica yang semula sendu langsung menegas. Bibirnya setengah menganga sembari menatap Peter. "Mustahil Felice bisa selamat. Aku tahu persis bagaimana peristiwa itu."

"Tapi kau tidak tahu setelahnya. Kau tidak melihat bahkan menyentuh denyut jantungnya. Kau tidak memeriksanya langsung, Chloe." 

Terdapat jeda beberapa detik setelah Peter membuatnya tampak seperti orang tolol. Monica menghela napas, matanya kembali mengawasi sekitar. Gadis itu, gadis yang ia temui di toilet tadi, seharusnya sudah ada di dalam pesawat. Seorang pramugari menutup pintu utama  pesawat lalu mengumumkan detail keberangkatan melalui mikrofon. 

Tanpa pikir panjang, Monica berdiri membungkuk hendak keluar dari deretan kursi penumpang. 

"Kau mau apa?" tanya Peter.

"Seperti yang kau katakan. Aku memang tidak memeriksa jasadnya langsung waktu itu, tapi kini, aku harus pastikan bahwa aku tidak salah bertemu dengan seseorang."

"Jangan bilang kau mau menunda keberangkatan pesawat ini!" Nada ancaman menerobos telinga Monica detik itu juga. Monica tidak menjawab, tetapi ia bersikeras untuk melewati Peter. "Jangan, Chloe! Kita punya urusan yang jauh lebih penting. Kita harus tiba di tujuan tepat waktu."

"Jangan menghalangiku, Garrick!"

"Jangan gunakan kekuatanmu untuk mempengaruhiku!"

Monica melirik ke bawah, Peter menempelkan pucuk pistol kecil di pahanya, ia menutupi senjata itu dengan majalah pesawat. Monica kembali melirik Peter, hendak bicara, tetapi seorang pramugari menghampiri dan memintanya untuk kembali ke kursi penumpang dengan sangat sopan. 

Under The MirageWhere stories live. Discover now