NOW (5)

353 64 11
                                    

Theodore meneguk birnya hingga tandas. Ia duduk bersandar pada lengan sofa dengan satu kaki berselonjor. Pandangannya lurus ke depan, melihat udara kosong di mana tirai jendela berwarna tosca seakan menjadi layar mati berliku. 

"Kalian berhasil," celetuk Anitha tiba-tiba. Wanita itu meletakkan kaleng bir kedua miliknya di meja, lantas berdiri melihat Theodore yang mendongak ke arahnya. "Aku tidak akan mengatakan kalau kalian telah menipu kami, itu  terdengar ... sedikit tidak adil."

"Yeah, kami tidak punya maksud buruk terhadap siapa pun. Aku hanya ingin menyelamatkan keluargaku, Anitha." Theodore menatap Anitha seakan rasa bersalah telah mengotori sebagian dirinya, tetapi lega di saat bersamaan sebab kini, Theodore bukan satu-satunya orang yang menyimpan rahasia itu semua.

Anitha mengangguk paham. Rasa iba di dalam dirinya tidak dapat diabaikan begitu saja. Ia berjalan pelan beberapa langkah menuju jendela bertirai tosca. Tangannya menyibak kain tersebut, memastikan bahwa mereka benar-benar hanya berdua di ruangan itu, tidak ada siapa-siapa bahkan di luar sana.

"Kalau aku boleh tau," katanya. "Siapa orang jahat yang sedang mengincar nyawa kalian itu?"

"Aku yakin kau tidak ingin mendengarnya," jawab Theodore.

Anitha masih mengintip ke luar jendela ketika ia menanggapi Thodore. "Maret tahun 2004." Wajahnya menoleh ke arah Theodore. Begitu serius dan hampir tanpa ekspresi. "Pada bulan itu ada kejadian menggemparkan. PBB meminta hampir seluruh negara untuk waspada terhadap satu orang buronan wanita asal Jerman. Aku tidak ingat siapa namanya, tapi yang kutahu. Sampai sekarang pihak keamanan PBB pun tidak bisa menangkapnya."

Wajah Theodore terangkat dan perlahan ia mengubah posisi bersandarnya menjadi berdiri. Ia hanya sedang berusaha untuk tidak tampak terkejut sedikitpun ketika Anitha kembali bertanya.

"Katakan padaku, Theodore Heoglir. Apa mungkin ada kaitannya dengan  wanita buronan itu?"

"Kau mengira terlalu jauh, Anitha," jawab Theodore. "Aku bahkan tidak ingat soal berita itu." Theodore berpikir bahwa tak sepatutnya Anitha tahu segala sesuatunya. Beberapa hal yang wajar mampu Theodore ungkapkan hanya supaya wanita itu tidak terus-terusan menuduhnya telah menyakiti Laura. 

Sesuatu di dalam dirinya bergejolak seperti anxietas yang bila dibiarkan bakal menjadi sesuatu yang meledakkan mentalnya. Theodore terhimpit oleh situasi yang diciptakannya sendiri. Namun, di sisi lain ia dibiarkan mencari jalan keluar atas menghilangnya Laura. Segunung rahasia runtuh sedikit demi sedikit setelah ia menceritakannya pada Anitha, tetapi itu jelas belum cukup menerangi gelapnya misteri yang dihadapi.

Pembicaraan kedua orang itu berakhir begitu saja tanpa adanya bantuan solusi. Anitha pergi seolah ia sudah cukup mendapatkan penjelasan mengenai bagaimana Laura kehilangan memori---yang tentunya lewat karangan singkat Theodore---hingga akhirnya mereka terdampar dan menetap di negara beriklim tropis.

***

Beberapa jam sejak pertama kali Laura ditipu mentah-mentah oleh seorang pria yang mengaku sebagai orang terdekat suaminya. Ia terbangun dalam keadaan gelap gulita. Kedua matanya tidak bisa terbuka. Sulit untuk membuka mata dalam keadaan ditutup rapat oleh sehelai kain. Kedua tangannya terikat di belakang menggunakan lakban ketat. Begitupun kedua pergelangan kaki yang membuatnya hampir mati rasa karena peredaran darahnya tidak mengalir lancar sebagaimana seharusnya. 

Laura meringkuk. Seluruh tubuhnya bertumpu pada bahu kanan dan itu membuatnya pegal. Napasnya sedikit sesak. Beruntung si penculik tidak membekap mulutnya dengan plester atau kain penyumpal mulut yang bisa saja membuatnya muntah. 

Entah berapa lama ia tidak sadarkan diri selama si penculik membawanya ke tempat terkutuk itu. Ia bisa merasakan permukaan lantainya kasar karena berpasir. Kotor dan bau pengap seperti ruangan yang sudah bertahun-tahun tidak dihuni. Ia menggerang, berteriak dengan nada memberontak, tidak sudi mengeluarkan permintaan tolong atau belas kasih kepada siapa pun yang dengan sengaja menyekapnya seperti ini.

Demi Tuhan, ia tidak pernah merasa sebegini mengenaskan. Ia begitu khawatir dengan keadaan putrinya yang ditinggalkan begitu saja di antara padang gurun. Binatang buas ada di balik pagar pembatas itu, burung pemakan bangkai juga bisa datang kapan saja dari atas langit. Laura berharap ia tidak lupa menutup pintu mobil. 

Saat ini, Laura tidak ingin banyak berharap tentang nasib. Dari yang ia ketahui tentang korban penculikan, si pelaku biasanya bakal melakukan tindakan tidak manusiawi seperti pelecehan seksual, meminta tebusan, penyiksaan fisik yang disasari dendam, atau ingin menjual korbannya ke pasar gelap. Semuanya tidak ada yang baik, tapi Laura harus bersiap menghadapi kenyataan di depan. Tanpa ancang-ancang, pasrah begitu saja.

Ia sedikit tersentak saat mendengar suara pintu terbuka. Hal yang paling membuatnya penasaran pertama kali adalah, apa yang hendak dilakukan orang itu? Apakah dia adalah orang yang sama dengan yang menculiknya di pinggir jalan? Laura merasakan pusing di kepalanya semakin jadi, tetapi ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan rasa takutnya di depan si penculik.

"Apa ada yang sakit?" tanya pria itu.

Laura tidak menanggapi, tidak ingin menjawab apa pun meski mulutnya terbuka. Suara pria itu terdengar berat dan aneh. Laura menerka kalau pria itu menggunakan kain penutup mulut untuk menyamarkan suara. Jika memang benar begitu, itu artinya ia mengenali si penculik, tetapi di samarkan agar Laura tidak tahu kebenarannya.

"Laura," sapa pria itu dengan suara yang terdengar semakin dekat. Aroma tubuh pria itu terasa pekat dan menyiksa hidung Laura. "Apa tidak ada yang ingin kau tanyakan dariku?"

Gigi Laura menggertak. Ia benci ditanya seperti itu, sangat benci. Secara langsung pria itu mengejeknya dengan keadaan serba terbatas begini. Ia sendiri tidak tahu seperti apa bentuk pakaiannya. Entah bagian depannya ada yang robek, atau bagian sensiif lain yang bisa saja terbuka ketika dia tidak sadarkan diri.

Tidak perlu tahu seperti apa wajah si penculik untuk meludahinya. Setidaknya ia bisa menunjukkan sikap memberontak. Ternyata tindakan Laura cukup membuat si penculik kesal hingga harus menyeka air liur Laura yang menempel di pelipisnya. 

Di saat bersamaan Laura merasakan sisa air liurnya di sudut bibir. Ia menggosokkan bibir menggunakan bahunya. Napasnya terhembus kasar, terus terang ia ingin mengumpat, tetapi entah kenapa rasanya diam dan dingin seperti ini justru membuatnya lebih tenang.

"Kau tahu? Inilah alasan kenapa aku menculikmu." Pria itu meletakkan semangkuk air di lantai tepat di depan Laura. "Kau boleh minum. Tapi hanya minum, kau mengerti apa artinya?"

Artinya Laura tidak diberi makan. Membiarkannya kelaparan sama saja dengan membunuhnya pelan-pelan. Pria itu berdiri, menatap Laura yang terduduk miris di bawahnya lalu keluar meninggalkan suara pintu yang tertutup kasar. 

Tampaknya bakal menjadi malapetaka selama beberapa hari ke depan. Laura berpikir untuk melakukan sesuatu agar bisa keluar dari tempat terkutuk itu. Akan tetapi, ia terlalu keras kepala untuk melunakkan hati sendiri demi memohon pada pria yang telah menculiknya. Hidup di Ghana selama beberapa tahun cukup membuat mentalnya terlatih. Ia bukan tipe orang yang bersedia merendahkan diri di depan orang lain yang berpotensi memberi pengaruh buruk pada ia dan keluarganya. Paham stoikisme menjadi prinsip penting agar hidupnya bisa tenang di antara kesulitan yang kerap mereka alami.

Theodore menjadi satu-satunya orang yang ia percaya mampu melindunginya dari berbagai ancaman. Ia sangat mencintai suaminya, tetapi enam bulan belakangan, Laura merasa bahwa sesuatu yang besar sedang disembunyikan oleh keluarga Heoglir. Ibu dan ayah mertuanya memiliki peran besar atas hilangnya masa lalu Laura. 

Sebisa mungkin Laura mencoba untuk tidak mengulik memori yang telah hilang. Laura tidak tahu. Ia tidak pernah tahu bagaimana caranya.  Namun, kejanggalannya tentang diri sendiri semakin kuat sejak pertemuan tak disengaja dengan seorang perempuan bernama Chloe Eldemar tiga minggu yang lalu. Untuk yang satu itu, Laura ingat. Mereka pernah bertemu di bandara Istanbul, Turki, dan berjanji untuk bertukar cerita dalam perjalanan yang sama menuju Jakarta. Sayangnya, pertemuan itu tidak pernah terjadi hingga takdir menemukan mereka kembali dalam suka cita yang penuh rahasia


BERSAMBUNG



Under The MirageWhere stories live. Discover now