Part 40

3.6K 171 3
                                    

Hujan lebat kali ini yang tak kunjung berhenti membuat kota Malang yang sudah terkenal dengan kota dingin menjadi semakin dingin. Suara hujan yang membuat irama beraturan ditambah tangis kencang anak laki-lakiku yang kini berumur 5 tahun membuat kepalaku semakin pening.

Semenjak mama mertuaku menghembuskan napas terakhir 3 tahun lalu, suamiku memutuskan untuk menjual beberapa aset yang dia miliki di Bogor dan memutuskan untuk tinggal di Kota kelahiranku ini. Dia membangun sebuah Rumah Sakit Ibu dan Anak cabang dari Rumah Sakit Puri Candra tempat kami bekerja dulu.

Setelah Rumah Sakit resmi beroprasi, dia memboyong aku dan anakku Narve Aditama ke Kota Malang. Kita tinggal di jantung kota tepatnya di Istana Dieng, dimana udaranya masih sejuk walaupun berada di pusat kota.

Perumahan disini berbentuk cluster yang dari jalan raya kita harus masuk dulu kemudian melewati jalanan paving. Keunggulan dari perumahan cluster ya memang nyaman dan tenang, lingkungan bermain anak lebih aman apalagi untuk usia anakku yang baru lancar berjalan suka lari-lari keluar gerbang rumah, lebih prestisius dan masih banyak lainnya.

Namun kekurangannya interaksi dengan tetangga jadi kurang ditambah dalam blok tidak ada teman seumuran dengan anakku, dampaknya dia menjadi sosok anak yang introvert karna terbiasa sendiri. Dia tumbuh jadi anak yang tertutup, berbicara seperlunya, lebih nyaman sendiri dan mandiri.

Dirumah yang tidak begitu besar ini kami hanya tinggal bertiga. Asisten rumah tangga kami hanya 2 kali dalam seminggu datang. Sedangkan suamiku mulai kumat dengan gila kerjanya, dia bekerja di 3 Rumah Sakit dan kuliah kembali di Universitas Airlangga. Surabaya. Sehingga harus bolak-balik Malang Surabaya.

Dengan kesibukannya itulah membuatku kadang merasa sendiri. "Why Women Do Household Worrying, (and how to get men to do more of it)". Dalam sebagian besar pengerjaan urusan rumah, aku melakukan pekerjaan rumah tangga lebih banyak karna dia sibuk belajar dan bekerja... walaupun ada asisten rumah tangga yang membantu kami, tetapi tetap saja beban mental [mental load] karna terkadang merasa berat saya pikul.

Ya gak papa, kodrat manusia yang bernama wanita adalah harus siap berperan ganda. Di saat wanita sudah menikah, bukan hanya berperan sebagai istri atau ibu bagi anaknya. Akan tetapi, sekaligus sebagai manajer keuangan, dokter di rumah, menjaga kebersihan maupun kerapian rumah, mainan anak yang berserakan, hingga bumbu-bumbu dapur dan baju-baju yang bertumpukan pun tak bisa lepas dari tangan seorang wanita.

Seperti sekarang ini, anakku sakit. Demamnya tinggi, sudah berobat di dokter anak dekat rumah tapi demamnya hanya turun sebentar di siang hari, malamnya dia akan menggigil dan memanggilku. Papanya? Tentu saja dia tidak tahu karna sibuk ujian di Surabaya dan bekerja.

Kodrat alamiah ini menjadi pembelajaran sepanjang masa yang aku pelajari dengan berjalannya waktu. Namun, tak mudah untuk mengkolaborasikannya karena aku juga sebagai wanita karier.

Beberapa kali aku telephone nomor handphonenya, untuk mengabarinya karna tidak tega melihat anakku seperti ini, tapi telephoneku tidak dia respon. Emosi, bingung dan panik campur jadi satu saat anakku mengeluh sakit.

"Mama, kepala narve sakit. Mama jangan pergi ma. Narve kedinginan kalau ndak dipeluk"

"Enggak sayang, mama disini gak kemana-mana. Narve cepat sembuh ya"
Dia mengangguk dam pelukanku.

Sebagai seorang ibu tentu sakit melihat anakku seperti ini. Jika bisa berikan sakit itu padaku saja jangan anakku. Aku gapai termometer yang berada di nakas meja kamar, kemudian aku selipkan di ketiak anakku, panasnya tinggi 37,8 C. Akhirnya aku angkat anakku dan membawanya ke Rumah Sakit karna panasnya sudah jalan 3 hari.

Menyetir sendiri ditengah-tengah hujan lebat Kota Malang. Beruntungnya aku punya mobil dan bisa nyetir sendiri. Keramaian di rumah sakit di musim hujan terisi penuh para pasien, aku langsung membawa ke IGD dan antri untuk pemeriksaan laboratorium. Hasil laboratorium menunjukkan rendahnya Hb dan trombosit buah hati yang di bawah rata-rata. Dokter menyarankan untuk di rawat inap. Si kecil akhirnya diinfus dan menunggu mendapatkan kamar.

Seharian itu begitu membuat kebingungan, memikirkan sendiri nasib si kecil sampai sedari pagi tidak makan sesuap pun dan belum mandi dan ganti baju dari kemarin. Tak hentinya menggendong si kecil dalam buaian yang terus menangis, sambil terus memeriksa kondisi suhu tubuhnya dengan termometer. Tanganku bergetar hingga menjalar, suhu tubuh si kecil menunjukkan angka 39 derajat celcius, seketika segala rasa melemaskan hati, pikiran dan sekujur tubuhku. Kuletakkan hati sejenak untuk menguatkan diri, kudiamkan sendiri pikiran agar lebih tenang.

Saat itu juga aku menghubungi suami dan keluarga. Paling tidak, beban yang sedari pagi hilang sedikit demi sedikit. Handphone yang sudah habis baterainya kini kuletakkan sembari menunggu keluarga datang.

Mengingat kejadian tersebut aku sadar bahwa seorang ibulah yang sedari mengandung hingga menyusui, dan sehari-hari dengan si kecil yang paling tahu kondisinya. Menjadi ibu benar-benar menguji mental, apalagi jika si kecil sakit yang mengkhawatirkan langsung kukumpulkan kekuatan dan kepercayaan diri bahwa aku mampu menghadapinya. Apalagi di situasi suami bekerja sambil kuliah. Ternyata, menjadi ibu harus berani bertindak di saat sendiri maupun tidak, ya karena wanita adalah a lady boss at home.

Berutungnya aku masih punya ibu yang sehat, beliau datang diantar saudara sambil membawakan baju ganti dan makanan.

"Sudah makan nduk? Makan dulu dan bersih-bersih. Biar ibuk yang jaga"

Aku menangis dipelukan ibu. Memang benar ya ternyata pepatah yang mengatakan kasih ibu sepanjang masa. Kasih sayang seorang ibu kepada anaknya tentu sudah tidak bisa diragukan lagi.

"Berat ya buk jadi seorang ibu. Maaf kalau dulu Lani sering nyakitin ibuk"
Aku eratkan pelukanku, dan menangis di pelukannya. Dia mengusap punggungku lembut dan menepuk-nepukku pelan.

"Kamu ndak pernah nyakitin ibuk nduk. Kamu anak ibuk yang paling baik dan selalu ibuk banggakan. Sudah jangan nangis, malu tuh dilihat anakmu. Kuat ya, ikhlas. Ini cobaan cuma sebentar kok"
Katanya melepas pelukanku sambil tersenyum.
***

SEPASANG TULIPWhere stories live. Discover now