BAB III - 3

9 3 1
                                    

Seiring kami berbincang, aku merasakan sesuatu mengganjal punggungku dari bersandar.

"Ahhh!"

Saat aku menoleh, aku mendapati Raihan sudah berdiri di belakangku menatap kami dengan menahan senyum. Tangan kirinya dia topangkan pada sandaran kursi yang aku duduk. Dan, dengan polosnya dia bertanya "Kenapa?"

"Asem, nanya 'kenapa?' pula. Jantungan aku bos!

"Macam mana kau bisa muncul tanpa suara?" tegurku sedikit kesal karena terkejut.

Dia hanya mengangkat bahu dan menahan senyum.

"Hhhoiiiih ni anak...," ucapku di dalam kepala. Aku ingin kesal kepadanya, namun apa yang bisa aku lakukan. Sudah bahasa tubuh dia untuk bergerak tanpa ada suara.

"Dah sehat?" tanya Raihan kepada Komang.

"Udah Rai, terima kasih.

"Ngomong-ngomong, terima kasih banget ya, Oni, Raihan. Kalian sudah membantu membawa aku ke Klinik Siswa," sampai dia dengan suara lemas kepada kami.

Raihan hanya bisa tersenyum diam. Namun, raut wajahnya dengan jelas mengatakan terima kasih kembali kepada Komang.

"Bukan apa-apa kok," balasku menenangkan Komang. "Kita kawan toh? Saling membantu harusnya udah macam insting lah."

Seiring kami berbincang, derapan langkah terdengar semu dari kamar Komang. Tiba-tiba suara besar menyusul.

BRAK!!!

"MANA ANAK ITU!!!"

"Siap, siapa bang?" salah satu penghuni wismaku.

Dia tidak menjawab.

Aku mengangkat alis kebingungan seiring aku memutar badanku dan menghadap kepada koridor wisma, berangan akan apa yang terjadi di lorong wisma. Komang dan Raihan pun menoleh kebingungan kepada koridor Wisma Macan III.

Kemudian, aku beranjak dari kursi belajar dan memunculkan sebagian tubuhku kepada anak-anak yang saling menatap kebingungan satu sama lain. Di tengah-tengah lorong, aku mendapati tiga orang senior berdiri tanpa dasi dan kerah terbuka.

"Gaharu..., kira-kira apa yang dia mau siang ini? Dia bawa dukungan pula," ucapku di dalam kepala seiring memindai ketiga orang ini. Mereka menatap dengan wajah garang dan memindai kami, kamar per kamar.

Gaharu berdiri merah padam di antara kedua senior itu. Aku pun dapat melihat nadinya berdenyut keras memompa darahnya yang kental. Uap mengepul dari telinga dan hidungnya, menghangatkan udara lembab Magelang.

Dia pun melihatku.

Di saat itu juga dia melangkah mendekat dengan langkah berat.

Aku dan idealisku menyambut dia sesuai dengan arahan panitia. Hormat dan mengucap, "Selamat siang bang!"

Namun, ucapan salamku tidak dibalas sewajarnya. Dia menarik kerahku dan menghempaskan badanku kepada lemari baju milik kamar yang paling dekat dari pintu koridor.

Suara pintu yang retak terdengar menderu di dalam dinding Wisma Macan III.

Seluruh mata menatap takut kepada Gaharu dan aku yang saling beradu tatap. Kedua kroninya membuang muka dan mengawasi pergerakan warga Wisma Macan III. Tensi mengisi ruangan.

Raihan bergegas keluar dari kamar Komang, disusul oleh Komang sendiri yang tertatih saat melangkah. Mereka berdua menatap khawatir kepadaku. Dan, dengan jelas tangan Raihan bergetar ingin meraihku.

Namun, aku melambaikan tangan kepada mereka untuk berdiam di tempat. Dan mereka pun melakukan, walau aku bisa melihat kegelisahan mereka dari tepian mata.

Kampus F.U.B.A.R.: Langkah BaruWhere stories live. Discover now