BAB V - 2

8 2 0
                                    

"GUA! Gua udah ingatin lu kan? Lu jangan lanjut mencari tahu? Tapi, masih aja lu keras kepala."

Aku hanya bisa berdiri terdiam. Dengan keras, aku mempertahankan ketenanganku. Tetapi, pembuluh darahku mengkhianatiku. Mereka memaksa keningku untuk mengerenyit, keningku bergaris, dan alis ku menjepit kulit-kulit yang berada di pangkal hidungku. Aku terlihat kesal dan marah.

"Kenapa? Kaget? Kesal? Lu ga tau apa kalau dinding SMA ini berbicara?"

"Sekarang, lu nekat nemuin lo**te itu. Guru ga guna.

"Sepertinya lu memang minta gua –"

BUGH!!!

Gaharu melontarkan pukulan pertama ke perutku.

Pukulan kedua menyusul kepada wajahku yang terbungkuk.

Gaharu terus melemparkan pukulannya kepadaku. Dia mengayunkan kedua tangannya begitu cepat, tidak memberikan kesempatan bagiku untuk memantapkan kedua kakiku untuk membentuk kuda-kuda.

Memar mulai menjalar kepada permukaan kulitku, kepada tempat-tempat pukulan Gaharu mendarat.

"Mengapa refleksku begitu lambat?" kesalku di dalam batin.

Gaharu kembali mengayunkan lengan kirinya. Tangannya melesat kencang kepada wajahku dan aku pun terhempas.

Darah mulai meluap di dalam mulutku dan aku membukanya agar darah itu mengalir ke permukaan aspal.

Aku kembali menatap dia diam. Aku merasakan kedua kakiku bergetar, tetapi aku berupaya keras untuk memantapkan mereka berdua.

"Lu masih bisa berdiri?" hina dia. "Muka lu masih nyolot lagi. Sepertinya gua memang harus benar-benar nanam pelajaran kua ke dalam kepala elu tikus tanah!"

Gaharu pun berlari seiring dia menyiapkan pukulan susulan.

Aku merasa langkahku lengah, tetapi aku mempertahankan fokus. Aku menghitung langkah Gaharu, mengingat apa yang biasa aku lakukan saat ayahku meminta aku untuk menjaga kebun kami.

Saat ayaku meminta aku untuk menghadapi babi hutan yang ingin memakan buah-buah sawit kami.

Aku mengambil dua langkah mundur seiring Gaharu mengayunkan lengan kananya.

Dia terbungkuk lengah dan aku bergegas mengunci badannya. Kepala dia berada di belakang punggungku. Aku menghadap kepada punggung dan kakinya.

"LU NGELAWAN!?" sahutnya kesal dan terkejut. "BERANI JUGA LU TIKUS TANNAAAAH!!" bentak dia mengayunkan sikutnya kepada punggungku.

Aku menangguhkan diri dan menerima hantaman itu. Namun, genggamanku tetap kuat.

Aku memposisikan kakiku sempurna di bawah perutnya. Dengan sekuat tenaga aku mengangkat massa Gaharu.

Seluruh tenagaku mengalir kepada langkah kaki, tubuh, dan lenganku. Gaharu aku lontarkan dari tempat aku berdiri.

Dia terhempas hingga punggungnya menghantam tiang lampu jalanan.

BBBWAAANGG!!!

"AAAARRRGHH!!! KON**L!!!"

Gaharu yang terbaring di atas aspal, tertatih untuk berdiri. "Lancang juga lu ya. Kalau ini tanggapan lu terhadap pengajaran gua, gimana pas lu di kelas?"

Aku hanya diam.

Dia mengambil langkah dan bergegas untuk melontarkan dirinya kepadaku.

Aku menghitung langkah dia dan menumpahkan berat badanku kepada badannya yang terbungkuk. Aku dan dia kembali menghantam bebatuan hitam di bawah kaki kami.

Namun, tangan kirinya terbuka. Dia memutar badanya dan menghantamkan sikutnya kepada wajahku.

Sikut itu pun disusul oleh kepalan tangan kananya yang melesat laju kepada punggung bahuku.

"KENAPA LU HARUS TAHU BANGET SIH?!! HM!! BERLAGA JADI DETEKTIF ECEK-ECEK!!" tanya dia seiring memberikan pukulan ketiga.

Kuda-kuda kaki kananku kehilangan kekuatan. Aku menyandung diriku sendiri.

"GUA UDAH INGATIN... LU!" bentaknya, disusul dengan tendangan kepada tulang rusukku.

Amarah mulai meluap di dalam batinku. Jantungku berdebar, memompa darah panas. Badanku memberikan aku tenaga baru.

Aku tidak bisa mengendalikan emosiku lagi. Tanpa sengaja, kata-kata yang ingin aku batinkan keluar dari mulutku.

"Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi."

Dari pinggiran mataku, aku mendapati kedua tangannya dikepalkan secara bersamaan. Dia berusaha untuk menghantamku sebelum aku bisa berdiri.

Aku tidak akan memberikan kesempatan agar pukulan itu tiba padaku. Aku bergegas untuk mengayunkan lengan kananku kepada celah diantara kedua kakinya. Kuda-kudaku aku mantapkan.

Seketika...

Gaharu aku angkat di atas kedua bahuku. Perutnya di bahu kiri dan dada hingga kepalanya di atas bahu kiriku.

Dia berusaha untuk melepaskan dirinya dari genggamanku. Sikut, lutut, dan seluruh tubuhnya menggeliat untuk melepaskan diri.

Namun, aku tidak akan membiarkan dia lepas.

Dengan sekuat tenaga, aku mengangkat dia hingga mengudara. Kedua lenganku meraih ke udara dengan kedua telapak tangan menopang beban Gaharu.

Aku menekuk kuda-kuda kakiku dan memompanya hingga tegak. Gaharu terlempar ke udara. Dan, aku membiarkan gravitasi menariknya kembali ke permukaan aspal SMA Abdi Negeri.

BBBAAAGGH!!!

Aku melangkah mundur, menjauhi Gaharu yang merintih perih. Dia menarik kepalanya yang menghadap kepada langit malam dan kakinya menghantam permukaan aspal dengan perlahan.

Aku melangkah meninggalkan dia di sana dan meneruskan hingga mencapai rumah Bu Rohida.

Tiba-tiba...

GEDEBUGGH!!!

"LU MAU KE MANA ANJING!!!" teriak dia seiring menghempaskan badannya kepada punggungku.

Dia berhasil menumpukan badannya di atasku dan bergegas melemparkan berbagai pukulan kepada dada dan wajahku yang menghadap langit.

BBUGGH!! BUGGH!! BBBAGH!! DDAGH!!

Pukulan, demi pukulan, demi pukulan terus aku terima.

Saat dia tidak menyadarinya, aku mengangkat kedua kakiku dari belakang punggungnya dan mengaitkan pada leher dia.

Kembali, aku menggulingkan Gaharu hingga terbaring ke tanah.

Untuk pertama kali, aku mengangkat kedua lenganku dan mengayunkannya ke atas –

"BERHENTI SISWA! PERKELAHIAN KALIAN USAI!"

***

Raihan berlari di bawah atap koridor wisma perempuan. Di tangan kirinya, dia menggenggam catatan Otniel.

"Maaf," ucap Raihan seiring nafasnya berhembus kencang.

Kampus F.U.B.A.R.: Langkah BaruWhere stories live. Discover now